Liputan6.com, Jakarta - Anak muda bisa mengalami gangguan irama jantung atau aritmia meski kondisinya terlihat sehat.
Salah satu aritmia yang kerap muncul adalah Supraventricular Tachycardia (SVT). Pada kondisi ini, jantung tiba-tiba berdetak sangat cepat kemudian hilang sendiri, membuatnya sulit untuk terdeteksi.
“Detak jantung yang tiba-tiba berdebar tanpa sebab yang jelas, terutama saat tubuh dalam keadaan istirahat, dapat menjadi sinyal awal adanya gangguan irama jantung,” kata dokter spesialis jantung dan pembuluh darah subspesialis aritmia dari RS Siloam TB Simatupang, dr. Dony Yugo Hermanto, Sp.JP (K), FIHA, mengutip keterangan pers, Senin (19/5/2025).
Jika ini dibiarkan dalam waktu lama, lanjut Dony, komplikasinya dapat mengakibatkan gagal jantung, stroke, hingga kematian.
“Obat-obatan tidak bisa menuntaskan masalahnya, yang efektif mengatasi SVT adalah prosedur ablasi,” tambahnya.
Dony menjelaskan, gangguan yang bisa mengancam nyawa ini kerap dianggap sepele, terutama di usia muda yang tampaknya sehat. Kondisi ini berpotensi serius dan memerlukan penanganan medis yang tepat untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
“Gangguan jantung ini tidak hanya dialami kalangan lanjut usia, tetapi juga berpotensi terjadi pada orang yang masih muda.”
Dony mengutip Cleveland Clinic, sekitar 1,5 persen hingga 5 persen orang diperkirakan mengalami aritmia. Namun, karena sebagian pengidap tidak menunjukkan gejala, jumlah pasti kasus aritmia sulit untuk dipastikan.
Tahu merupakan makanan sehat tinggi protein yang tak bisa diabaikanjika menyangkut manfaatnya terhadap kesehatan. Bukan hanya rendah kalori dan tinggi serat sehingga sangat baik untuk menu diet menurunkan berat badan, makan tahu juga bisa mencegah pe...
Detak Jantung Normal Berdasarkan Usia
Dony memaparkan, aritmia merupakan gangguan irama jantung. Secara umum, aritmia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: irama jantung yang lebih cepat dari normal (tachycardia), lebih lambat dari normal (bradycardia), dan irama yang tidak beraturan (flutter).
“Jika Anda mencurigai adanya aritmia, detak jantung dapat diperiksa secara mandiri.”
Dalam kondisi tubuh beristirahat, berikut adalah kisaran detak jantung normal yang bisa dijadikan acuan:
- Bayi yang baru lahir: 100-160 denyut per menit (BPM).
- Bayi usia 0-5 bulan: 90-150 BPM.
- Bayi usia 6-12 bulan: 80-140 BPM.
- Balita usia 1-3 tahun: 80-130 BPM.
- Balita usia 3-4 tahun: 80-120 BPM.
- Anak usia 6-10 tahun: 70-110 BPM.
- Anak usia 11-14 tahun: 60-105 BPM.
- Remaja usia ≥15 tahun: 60-100 BPM.
- Dewasa usia 20-35 tahun: 95-170 BPM.
- Dewasa usia 35-50 tahun: 85-155 BPM.
- Lansia usia ≥60 tahun: 80-130 BPM.
Lebih jauh, Dony menjelaskan bahwa cara mengukur detak jantung per menit dapat dilakukan dengan meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada nadi di bagian dalam pergelangan tangan. Hitung denyut selama 15 detik, lalu kalikan hasilnya dengan 4 untuk memperoleh jumlah denyut jantung dalam satu menit.
Mengenal SVT
Dony pun memaparkan, Supraventricular tachycardia (SVT) adalah jenis aritmia yang sering terjadi, biasanya sudah ada sejak lahir tapi gejalanya baru muncul saat remaja atau dewasa muda.
“SVT ditandai dengan detak jantung yang sangat cepat, lebih dari 150 denyut per menit (BPM), yang bisa membuat penderita merasakan jantung berdebar kencang.”
Meskipun jantung berdebar saat berolahraga atau melakukan aktivitas fisik adalah hal yang normal, detak jantung yang cepat secara tiba-tiba saat sedang beristirahat atau duduk tenang harus diwaspadai. Jika ini terjadi, segera konsultasikan dengan dokter, karena bisa menjadi tanda adanya gangguan jantung yang serius.
Apa Penyebab Terjadinya SVT?
SVT dapat dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya adalah proses degeneratif akibat penuaan yang menyebabkan perubahan pada struktur jantung.
Struktur jantung bisa dianalogikan seperti sistem kelistrikan, yang terdiri dari satu generator dan satu jalur kabel. Dalam kondisi normal, sistem ini bekerja secara terkoordinasi. Namun, jika terdapat dua generator atau dua kabel penghantar sinyal, sistem akan mengalami gangguan. Kondisi inilah yang dapat memicu gangguan irama jantung, termasuk kelainan bawaan sejak lahir.
Gejala dan Diagnosis SVT
SVT biasanya ditandai dengan jantung yang berdebar kencang secara tiba-tiba. Beberapa pasien hanya merasakan ketidaknyamanan di dada, tanpa menyadari bahwa detak jantung mereka meningkat drastis, bahkan saat tubuh sedang beristirahat.
Misalnya, denyut nadi yang awalnya 60 BPM bisa melonjak menjadi 82 BPM, lalu tiba-tiba mencapai 150 BPM, sebelum akhirnya berhenti secara mendadak.
Gangguan irama ini sering kali berlangsung singkat, antara 2 hingga 3 jam, dan menghilang secara spontan. Selama episode berlangsung, pasien mungkin juga mengalami sensasi ingin muntah atau batuk. Namun, karena gejalanya sering sudah hilang saat pasien tiba di rumah sakit, pemeriksaan medis tidak selalu mendeteksi adanya kelainan, sehingga hasilnya tampak normal.
“Oleh karena itu, saat Anda mengalami jantung berdebar, segera ukur dan catat detaknya menggunakan smartwatch atau alat pemantau lainnya. Deteksi mandiri ini dapat menjadi data penting yang mendukung dokter dalam menentukan diagnosis secara tepat,” ucap Dony.
Dalam kasus SVT, dokter biasanya memerlukan pemantauan aktivitas jantung jangka panjang (cardiac monitoring). Untuk menegakkan diagnosis, pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan alat rekam jantung yang disebut elektrokardiogram (EKG).
Bagaimana Mencegah dan Menangani SVT?
Hingga kini, penyebab pasti SVT belum diketahui, sehingga belum ada langkah pencegahan yang spesifik.
Beberapa orang beranggapan bahwa konsumsi kopi bisa memicu SVT, karena kandungan kafein memang dapat menyebabkan jantung berdebar pada sebagian orang yang sensitif. Namun, biasanya debaran akibat kafein masih tergolong normal dan tidak termasuk gangguan jantung. Sementara itu, SVT memiliki spektrum gejala yang lebih luas. Langkah terbaik yang dapat dilakukan adalah menjalani pemeriksaan dini ke dokter untuk mendapatkan diagnosis yang tepat.
Lantas, bagaimana penanganan SVT?
Prosedur Ablasi
SVT terjadi akibat adanya generator atau jalur listrik tambahan di jantung yang memicu gangguan irama. Untuk mengatasi hal ini, dokter dapat melakukan prosedur ablasi, yaitu dengan mencari dan menonaktifkan jaringan listrik berlebih tersebut.
Proses ini dilakukan dengan pemanasan menggunakan energi frekuensi radio (radio-frequency/RF) untuk menghentikan aktivitas listrik abnormal di area yang bermasalah.
Prosedur ablasi memiliki tingkat efektivitas yang tinggi dalam mengatasi SVT, yakni sekitar 90-95 persen. Sementara itu, pengobatan dengan obat-obatan bertujuan untuk menekan aktivitas listrik dari jalur atau generator tambahan di jantung, namun tidak menghilangkan sumber gangguan tersebut.
Sementara, fungsi obat hanya mengontrol tapi tidak mengatasi masalah. Akibatnya, risiko kekambuhan tetap tinggi, dan efektivitas pengobatan dengan obat diperkirakan hanya sekitar 20 persen.
Jika pasien terdiagnosis positif mengidap SVT, ablasi menjadi pilihan utama sebagai pengobatan pertama. Prosedur ini lebih diutamakan karena memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengobatan menggunakan obat-obatan, yang biasanya diberikan sebagai langkah kedua.
“Keluhan SVT sering ditemui pada rentang usia 20-40 tahun, dengan banyak kasus terjadi pada kaum muda. Sayangnya, di Indonesia belum ada data statistik yang mencatat prevalensinya. Saat ini, belum ada pengukuran terkait jumlah kasus SVT dalam periode waktu tertentu.”
“Pasien yang dapat menjalani prosedur ablasi bervariasi, mulai dari anak-anak hingga lansia. Di RS Siloam TB Simatupang, prosedur ablasi bisa dilakukan pada anak berusia 5 tahun hingga pasien berusia lebih dari 70 tahun,” jelas Dony.
Ablasi bukanlah operasi dengan pembelahan dada (torakotomi). Pasien diharuskan untuk berpuasa selama delapan jam sebelum prosedur ablasi dilakukan. Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan bius lokal, sehingga pasien tetap dalam keadaan sadar selama tindakan ablasi. Namun, pada pasien balita, anestesi umum akan diterapkan.
Selama tindakan, kateter dimasukkan melalui pangkal paha. Kateter yang berukuran sebanding dengan diameter pulpen ini akan melewati pembuluh darah besar menuju jantung. Setelah itu, dokter akan mengidentifikasi dan mengatasi bagian yang bermasalah yang menyebabkan gangguan irama jantung. Prosedur ini biasanya berlangsung selama 2 hingga 3 jam.
Setelah prosedur ablasi, pasien akan menjalani observasi selama 12 hingga 24 jam. Keesokan harinya, pasien diperbolehkan pulang. Kemungkinan munculnya kembali gangguan irama jantung setelah prosedur sekitar 5 hingga 10 persen. Jika gejala kembali muncul, pasien dapat kembali kontrol ke dokter.