Hari Anak Sedunia, UN Women Bagi 3 Cara agar Anak Mampu Melawan Kekerasan Seksual

3 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta - Pada tanggal 20 November 2025, Hari Anak Sedunia diperingati dengan tema ‘My Day, My Rights’. Tema ini digagas oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menjadi langkah perlindungan dan dukungan bagi hak anak seluruh dunia. Dengan begitu, PBB mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk mendengarkan anak agar hidupnya lebih sejahtera.

Sejalan dengan hal tersebut, Head of Programmes UN Women Indonesia, Dwi Yuliawati, membagikan tiga cara yang mampu membuat anak berani melawan kekerasan seksual. Tidak hanya perempuan, anak laki-laki juga kerap menjadi korban baik di ranah virtual maupun dunia nyata. Oleh karena itu, seluruh masyarakat perlu memperhatikan ruang aman korban kekerasan seksual.

Tiga cara tersebut meliputi pembekalan tentang consent atau perizinan atas badan sendiri, penerapan praktik 'No Go Tell', dan langkah utama dalam perlindungan korban. 

“Untuk anak perempuan maupun anak laki-laki ya, kalau untuk anak kayaknya sebenarnya sama. Bahwa setiap anak itu harus dibekali dengan pengetahuan mengenai consent. Apa yang boleh dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan dengan badannya. Dan itu oleh orang asing maupun orang yang sudah dikenal,” jelasnya di acara Kampanye Global UNiTE 2025 dalam Rangka 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada Kamis, 20 November 2025.

Dwi menyoroti banyaknya kasus kekerasan seksual yang pelakunya merupakan orang terdekat korban. Oleh sebab itu, pendidikan terkait consent atau perizinan atas tubuh diri sendiri menjadi pengenalan, penjagaan, dan perlawanan kekerasan seksual.

Dia memandang bahwa perlindungan anak dari kekerasan seksual bentuknya ekologis. Mulai dari ketika anak lahir, di sekolah, di lingkungan rumah tangga, hingga bermasyarakat dan bernegara. Sehingga perlindungan ini harus terlatih.

“Jadi yang pertama adalah di sekolah, kita juga kalau kita dasarnya sudah kuat bahwa anak perempuan itu dibekali atau anak laki-laki dibekali dengan consent bahwa tidak boleh ada yang menyentuh badannya selain yang disepakati,” ujarnya.

Dwi menambahkan, perlindungan ini tidak hanya menjadi fokus orangtua, tapi juga seluruh orang dewasa yang terlibat. Hal ini karena lingkungan sekolah membuat anak jauh dari kontrol orangtua sehingga peran guru dan teman menjadi sangat penting pada tahap ini.

Lebih lanjut, ia juga menjelaskan pada konteks lingkungan rumah. Orangtua harus terbiasa membuat ruang yang aman untuk anak bercerita. Hal ini dapat dilakukan dengan tidak membantah apapun yang diutarakan oleh anak.

Praktik ‘No, Go, Tell’

Dwi memperkenalkan langkah praktis yang bisa diajarkan kepada anak. Langkah ini disebut ‘No, Go, Tell’. Ketika anak sudah memahami konsep consent, tahap selanjutnya adalah mengajarkan anak untuk berani berkata ‘tidak’ pada tindak kekerasan seksual.

“Ide utama, no. Kalau kita udah mengajarkan consent kepada anak, bilang tidak, no,” ujarnya.

Setelah anak berani melakukan penolakan, tahap selanjutnya adalah mengajarkan anak untuk melakukan perlawanan yaitu 'Go'. Tahap ini dilakukan dengan pergi dari situasi tersebut untuk mendapat perlindungan.

Dwi menjelaskan tahap terakhir, yaitu ‘Tell’. Untuk mendapatkan perlindungan, anak harus berani memberitahukan kekerasan seksual yang dialami. Namun, hal itu tidak akan terwujud apabila lingkungannya tidak mendukung.

“Tapi kalau tadi ruangnya nggak aman buat anak bercerita, dia mau tell sama siapa? Mau go kemana?” tambahnya.

Langkah Utama Perlindungan Korban

Dwi menyampaikan bahwa setiap pintu yang diketuk korban adalah pintu yang tepat. Artinya, masyarakat yang berada di sekitar korban harus menerima dan mempercayai apa yang diceritakan. Hal ini menjadi satu langkah penting dalam upaya melindungi korban kekerasan seksual.

“Tapi itu tadi, step no dibekali dengan pengetahuan mengenai tidak, ini badan saya. Go, pergi cari layanannya atau pergi keluar dari situ. Tell anyone, yang harus kita lakukan adalah percayai apa yang dia laporkan,” jelasnya.

Dia menegaskan, menjadi seseorang yang dipercaya merupakan rumus utama dari perlindungan terhadap korban. Pembuktian terhadap peristiwa yang sebenarnya terjadi bisa diserahkan kepada pihak hukum.

Edukasi Kekerasan Seksual Berarti Menyelamatkan Nyawa

Pada kesempatan yang sama, Asisten Deputi Perumusan dan Koordinasi Kebijakan bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Margaret Robin Korwa, mengungkapkan peran penting orangtua dalam mendidik anaknya.

Dia menjelaskan, sebagian besar orangtua gagal menjadi lingkaran pelindung utama bagi anaknya. Hal ini tidak hanya terjadi pada konteks kekerasan seksual, tetapi juga pada konteks bullying atau perundungan.

“Sama di sekolah waktu mendapatkan perundungan, pulang ke rumah lah orangtuanya (merespons) 'Ah namanya juga teman itu cuma main. Pada akhirnya anak itu akan memilih hal yang lebih buruk ataupun bisa jadi mengakhiri hidupnya,” ujarnya.

Terakhir, Margaret menegaskan bahwa orangtua harus mawas akan isu masalah mental dan menciptakan ruang yang ramah untuk anak. Dengan begitu, hak anak dapat tersalurkan dan didengar sesuai dengan undang-undang.

Read Entire Article
Helath | Pilkada |