Ligaolahraga.com -
Liga Olahraga : Suasana di dalam Stadion Negara pada malam 16 Mei 1992 dipenuhi ketegangan; dipenuhi harapan, tekanan, dan keinginan kolektif suatu bangsa. Bagi Datuk Rashid Sidek, tokoh kunci dalam kemenangan Malaysia 3-2 atas Indonesia di final Piala Thomas hari itu, kenangan itu masih membekas.
Kini, 33 tahun kemudian, Rashid membantu membawa momen ikonik dalam sejarah olahraga Malaysia itu ke layar lebar.
Sebagai konsultan film Sentuhan Wira, ia bertekad bahwa film itu tidak hanya sekadar menceritakan peristiwa film itu harus menangkap jiwa kemenangan terakhir di Piala Thomas dan membagikan pelajaran tentang persatuan, pengorbanan, dan kebanggaan kepada generasi baru.
Sebagai pemain tunggal pertama, Rashid mengemban beban untuk menentukan arah di final di Stadion Negara. Menghadapi pemain nomor 1 dunia saat itu Ardy Wiranata, ia menjalani pertandingan yang sangat melelahkan.
"Kenangan yang paling membekas dalam ingatan saya adalah pertandingan saya sendiri, yang berubah menjadi perjuangan nyata," kata Rashid.
"Di atas kertas, seharusnya ini adalah kemenangan straight-set, tetapi berakhir dengan rubber game. Tekanannya sangat besar."
Meski menghadapi salah satu nama terbesar saat itu, Rashid memasuki pertarungan dengan percaya diri. Rekor pertemuan langsung kami menguntungkan saya. Saya memahami gayanya dan tahu cara mengatasinya. Meskipun sulit, saya yakin saya bisa menang."
Kemenangan Rashid yang diperoleh dengan susah payah membuat Malaysia unggul 1-0, yang memicu kegembiraan di antara penonton.
Namun kegembiraan itu dengan cepat berubah menjadi ketegangan saat pertandingan berlangsung. Pertandingan ganda pertama menampilkan kakak laki-laki Rashid, Razif dan Jalani yang sedang berjuang melawan demam.
"Situasi dengan Jalani kritis," ungkap Rashid.
"Dia tidak sehat, tetapi tidak ada pilihan lain, dia harus bermain. Itu tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri. Rencananya adalah pasangan terkuat kami, Cheah Soon Kit-Soo Beng Kiang, akan memenangkan pertandingan di ganda kedua. Razif-Jalani membawa pulang satu poin untuk tim. Kami kehilangan poin itu, tetapi strategi yang lebih besar tetap utuh."
Semangat berkorban ini membentuk tim. Budaya ini dibentuk oleh pelatih hebat Tiongkok Han Jian dan Yang Yang — mantan juara dunia yang berperan sebagai mentor sekaligus penasihat teknis.
"Kami mendapat dukungan yang luar biasa," kata Rashid.
"Para pelatih kami pernah ada di sana sebelumnya. Mereka membimbing kami melewati tekanan, mengadakan sesi motivasi secara berkala, dan memberikan saran berdasarkan pengalaman. Kehadiran mereka sangat berharga."
Dengan kedudukan imbang 1-1, ketegangan meningkat. Datuk Foo Kok Keong memenangkan nomor tunggal kedua dengan mengalahkan juara Olimpiade 1992 Alan Budi Kusuma 15-6, 15-12 sehingga membawa Malaysia unggul 2-1.
Pertandingan berakhir dengan pertandingan ganda putra kedua dan Soon Kit-Beng Kiang mencetak poin kemenangan.
Kwan Yoke Meng kalah pada pertandingan tunggal putra ketiga melawan Joko Suprianto dengan skor akhir 3-2, tetapi hasil itu tidak relevan karena rakyat Malaysia dari semua lapisan masyarakat sudah merayakannya jauh sebelum pertandingan final dimulai.
"Momen yang paling tak terlupakan adalah saat Soon Kit-Beng Kiang meraih poin terakhir," kata Rashid sembari tersenyum mengingat kenangan itu.
"Kami langsung berlari ke lapangan emosi yang murni. Kami mengangkat mereka ke pundak kami. Pada saat itu, kita semua merayakan bersama adalah hal yang paling saya sayangi. Itu adalah kemenangan bagi setiap warga Malaysia."
Rasa persatuan itulah yang ingin diwujudkan Sentuhan Wira.
Setelah bertahun-tahun menunda rencana, Rashid yakin waktu untuk film ini akhirnya tepat.
"Film ini menunjukkan bagaimana olahraga dapat mempersatukan kita," katanya. "Ketika ada pertandingan besar, orang Melayu, Cina, India semua orang mendukung Malaysia. Semua perbedaan kita sirna. Itulah kekuatan olahraga."
Peran Rashid dalam film ini bukan sekadar penasihat. Ia memastikan keaslian, dari adegan teknis bulu tangkis hingga dinamika emosional di balik layar.
Ia berharap film ini mengingatkan atlet muda tentang arti sebenarnya mengenakan seragam nasional.
"Karier di bidang olahraga adalah sebuah profesi, dan ya, stabilitas keuangan itu penting. Namun, kita tidak boleh melupakan gambaran yang lebih besar. Mengenakan kostum Malaysia adalah sebuah kehormatan, bukan hak."
Melihat prospek Malaysia saat ini, Rashid tetap optimis.
"Tim kami saat ini tidak lemah. Kami memiliki dua pasangan ganda kelas dunia. Jika kami dapat mengembangkan dua pemain tunggal yang konsisten untuk mengimbangi, kami akan berada dalam posisi yang kuat. Tiongkok, Indonesia, Jepang, mereka bagus, tetapi bukan tidak terkalahkan. Malaysia memiliki peluang."
Sentuhan Wira lebih dari sekadar film biografi olahraga. Film ini adalah kapsul waktu, pelajaran sejarah, dan seruan untuk bangkit. Rashid berharap film ini dapat menciptakan kembali rasa merinding yang ia dan rekan-rekannya rasakan saat Negaraku bergema di Stadion Negara.
"Saat Anda mendengar lagu kebangsaan di podium, Anda merasakan kebanggaan luar biasa," katanya.
"Anda menyadari bahwa Anda tidak bermain untuk diri sendiri, tetapi untuk jutaan orang. Itulah perasaan yang ingin kami berikan melalui film ini kepada setiap orang Malaysia."
Rashid berharap kisah sekelompok saudara yang memiliki mimpi besar pada tahun 1992 ini tidak hanya akan menghibur, tetapi juga akan menginspirasi generasi baru untuk mengejar mimpi mereka dan mengabdi kepada negara dengan sepenuh hati.
Sentuhan Wira, yang diterjemahkan sebagai "Sentuhan para pahlawan", secara harfiah adalah film yang luar biasa, dengan semua emosi dan aksi yang nyata di lapangan. Film ini akan mulai diproduksi akhir tahun ini.
Artikel Tag: Piala Thomas 1992, Malaysia, rashid sidek, Indonesia
Published by Ligaolahraga.com at https://www.ligaolahraga.com/badminton/kemenangan-malaysia-atas-indonesia-di-piala-thomas-1992-diabadikan-dalam-sebuah-film