Menurunkan Berat Badan Lebih Efektif dengan Kurangi Asupan Makanan, Bukan Olahraga Saja

Liputan6.com, Jakarta - Upaya menurunkan berat badan tidak harus dimulai dari olahraga intens. Pada banyak kasus obesitas, langkah paling efektif justru berasal dari pengurangan asupan makanan. Pengaturan makan tetap menjadi kunci utama penurunan berat badan.

"Paling mudah sebenarnya mengurangi asupan makanan, karena dampaknya paling besar. Misalnya kita kurangi satu gorengan saja, itu bisa menghemat sekitar 200 kalori," kata Ketua Bidang Organisasi Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) sekaligus Ketua Klaster MVA IMERI FKUI, dr. Dicky Tahapary, Sp.PD-KEMD, PhD.

Untuk membakar 200 kalori lewat olahraga, seseorang harus berlari sekitar 5 kilometer. Oleh sebab itu, defisit kalori lewat makanan jauh lebih efisien dibanding mengandalkan olahraga semata.

Meski begitu, Dicky menegaskan olahraga tetap penting untuk kesehatan tubuh secara keseluruhan. "Olahraga jangan ditinggalkan, tapi jangan lupa inti penurunan berat badan ada pada pengaturan makan," ujarnya.

Menurut Dicky, olahraga tetap dibutuhkan untuk menjaga kebugaran, terutama olahraga aerobik berdurasi panjang. "Kalau kita cuma olahraga 20 menit, bagus juga, tapi efek pembakaran lemak belum maksimal. Minimal 30 hingga 60 menit per hari," katanya.

Durasi olahraga sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. "Kalau baru mulai, cukup 15 menit dulu. Jangan dipaksakan langsung satu jam. Yang penting konsisten dan bertahap," tambahnya.

Secara umum, seseorang membutuhkan 150 menit olahraga per minggu untuk menjaga kesehatan, sementara untuk menurunkan berat badan dibutuhkan hingga 300 menit per minggu.

Jenis olahraga pun tidak harus lari. Jalan cepat atau treadmill bisa menjadi pilihan, terutama bagi penderita obesitas yang memiliki masalah pada lutut. "Kalau lututnya sakit, jangan dipaksa lari. Yang penting bergerak teratur," ujar Dicky.

Selain olahraga dan pola makan, lingkungan keluarga juga berperan besar dalam menjaga berat badan ideal. Dicky menilai bahwa perubahan gaya hidup tidak bisa dilakukan sendirian.

"Kalau ada pasien obesitas atau diabetes di keluarga, seluruh anggota keluarga sebaiknya ikut berubah. Nggak adil kalau pasiennya makan sehat, tapi yang lain makan martabak," ujarnya.

Menurutnya, pola makan sehat sebenarnya sederhana dan tidak mahal. Cukup mengikuti prinsip Isi Piringku dengan cara menambah porsi sayur dan protein, serta mengurangi nasi dan makanan berlemak.

"Yang penting kurangi gorengan dan makanan tinggi karbohidrat olahan. Makan ayam goreng tepung kalorinya bisa dua sampai tiga kali lipat dibanding ayam rebus," katanya.

Dengan dukungan keluarga dan lingkungan yang sejalan, pasien akan lebih mudah menjaga pola makan sehat dan aktif bergerak setiap hari.

Dicky menekankan bahwa penanganan obesitas harus komprehensif, tidak cukup hanya satu pendekatan. Selain aerobik, latihan beban atau resistance training juga penting untuk menjaga massa otot.

"Kalau hanya menurunkan berat badan tanpa latihan otot, massa otot bisa ikut berkurang. Padahal, otot membantu metabolisme dan pengendalian gula darah," ujarnya.

Menurutnya, latihan otot bisa dilakukan dua hingga tiga kali seminggu, disertai olahraga aerobik lima kali seminggu. "Kombinasi ini membantu pembakaran lemak dan menjaga metabolisme tetap optimal," ujarnya.

Dicky juga menegaskan bahwa obat-obatan penurun berat badan, seperti GLP-1 agonist, hanya bersifat tambahan, bukan pengganti gaya hidup sehat. "Obat itu hanya membantu menekan rasa lapar. Tapi kalau makan dan olahraganya tidak diperbaiki, berat badan bisa naik lagi, pondasinya tetap pada pola makan sehat dan olahraga teratur," pungkasnya.