Gerakan Ayah Mengambil Raport: Kenangan Manis dan Trauma Gen Z Saat Ambil Rapor

3 days ago 7

Liputan6.com, Jakarta - Gerakan Ayah Mengambil Raport (GEMAR) yang diluncurkan Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN tidak hanya mendukung keterlibatan bapak dalam ranah pendidikan, tapi juga sebagai upaya memperbaiki pola asuh yang berpengaruh pada perkembangan Si Kecil.

Gen Z, sebagai generasi yang sedang mengalami fase pendewasaan, kembali mengenang masa-masa saat ayah dan ibu mereka mengambil rapor di sekolah. Ada yang manis, ada pula yang meninggalkan trauma.

Maklum saja, orang tua cenderung memiliki harapan setinggi langit terhadap nilai anak-anaknya. Namun, sekuat apapun usaha yang telah mereka lakukan, hasilnya masih saja jauh dari yang diharapkan. 

Seperti yang dialami Aca, yang mengaku sering kena omel orang tuanya gara-gara nilai rapornya kurang memuaskan. Perempuan 21 tahun itu, mengatakan, saat duduk di bangku kelas 3 SD nilainya memang sempat mengalami penurunan sehingga ekspektasi orangtuanya tidak dapat dipenuhi.

"Ngomong lah ke orangtua kalau nilai itu sudah keluar. Tiba saatnya namaku dipanggil guru, aku kabur. Jadinya, pas mereka ngebahas (nilai) itu, aku main kabur ke tempat lain," ujarnya kepada Tim Health Liputan6.com.

Dia, menambahkan, momen itu membekas bagi dirinya hingga sekarang. Sejak saat itu, Aca tidak pernah lagi ikut orangtuanya mengambil rapor di sekolah. Perasaan takut akan amarah orangtua memaksanya untuk diam dan menunggu di rumah.

Pengambilan Rapor Tidak Hanya Dilakukan Orangtua

Momen mendebarkan juga dilalui Inayah. Bedanya, bukan orangtua yang mengambil rapornya, melainkan sang kakak.

"Waktu itu nilai matematika aku jelek banget, terus yang ambil rapor Abang aku. Di situ aku diomelin abis-abisan dan uang jajanku dipotong," katanya.

Ada alur yang tidak terduga dari cerita perempuan berumur 22 tahun itu. Begitu ibunya tahu kejadian tersebut, dia langsung memarahi balik si anak tertua. Mulai dari situlah kakak Inayah tidak pernah lagi memarahinya pada hari pengambilan rapor.

Inayah juga menjelaskan bahwa prinsip sang ibu tidak sejalan dengan kakaknya. Hal ini karena menurut ibunya, nilai hanyalah angka dan tidak menentukan kesuksesan seseorang.

Setiap anak memiliki tingkat kecerdasannya masing-masing. Oleh karena itu, memusingkan nilai rapor bukan hal yang penting. "Karena aku ngerasa bersalah nilainya kecil, aku jadi berusaha lebih lagi. Dan, aku enggak diomelin, malah disemangatin," ujarnya.

Pengambilan Rapor yang Tertunda

Momen ambil rapor tidak selalu menegangkan. Bagi beberapa orang, ambil rapor juga menjadi momen penuh haru dan air mata. Seperti yang dialami Masni, 20 tahun, yang merasa sedih ketika mengenang masa-masa itu.

Sekolah swasta mengharuskan setiap siswanya rutin membayar biaya pendidikan sebelum mengambil rapor. Masni yang saat itu mengalami kesulitan keuangan, belum membayar biaya sehingga laporan hasil belajarnya belum bisa dibawa pulang.

"Aku tuh enggak pernah ambil rapor sama orangtua, selalu sama kakak. Saat itu cuma dikasih lihat nilainya, tapi rapornya belum bisa dikasih," ujarnya.

Keterbatasan itu tidak serta-merta membuat Masni patah semangat. Perempuan asal Bogor itu mengaku dirinya justru termotivasi untuk meneruskan pendidikan sehingga bisa meninggikan derajat keluarganya.

Meski berendam air mata dan kesedihan, Masni berusaha belajar dan mempertahankan nilainya di sekolah. "Karena aku yang masih sekolah, jadi aku usahain supaya aku yang sarjana di keluarga," ujarnya.

Pengambilan Rapor yang Tidak Terduga

Bagi Juventus, 22 tahun, momen berkesan saat ambil rapor menurutnya cukup membuat jengkel. Mengingat nilainya yang selalu di bawah rata-rata, sang ibunda menolak untuk mengambil rapornya.

Hal ini tidak hanya terjadi sekali, tapi selama SD, SMP, hingga SMA. Namun, ada satu momen yang berkesan dan menjadi pelajaran berharga baginya.

"Bunda saya tahu kalau saya enggak akan pernah dapet ranking. Tapi pernah waktu itu saya ranking lima besar, bunda malah enggak percaya. Padahal, ada buktinya saya juara lima, tapi dia tetap enggak percaya," katanya.

Momen itulah yang membuatnya merasa kesal saat mengenangnya. Juventus yang saat itu duduk di kelas 8 SMP mengharapkan apresiasi dari orangtua karena untuk pertama kalinya dia mendapatkan posisi tertinggi di sekolah.

Namun, hal sebaliknya malah terjadi. Alih-alih pujian, rapornya malah diambil sendiri. "Momen itu jadi pelajaran buat saya nanti kalau jadi orangtua. Mau bagaimana pun, nilai anak itu bukan sebuah tuntutan untuk dia menjadi lebih baik. Karena nilai itu hanyalah angka," ujarnya.

Read Entire Article
Helath | Pilkada |