Liputan6.com, Jakarta Liburan sering dianggap sebagai solusi dari rasa lelah dan stres akibat pekerjaan maupun rutinitas harian. Tapi tahukah kamu, tidak semua rasa penat bisa hilang hanya dengan berlibur? Ada kalanya tubuh dan pikiran justru memberi sinyal bahwa kamu membutuhkan istirahat total (total rest), bukan sekadar cuti atau jalan-jalan ke tempat wisata.
Menurut The American Institute of Stress, burnout atau kelelahan emosional tidak akan hilang hanya dengan liburan singkat, karena masalah utamanya bukan sekadar kurang waktu rekreasi, melainkan kelelahan sistemik—fisik, mental, dan emosional. Istirahat total mencakup detoks dari produktivitas, stimulasi sosial, dan tekanan target yang terus-menerus. Berikut ciri-ciri bahwa kamu sedang butuh istirahat menyeluruh, disertai penjelasan dari jurnal dan pakar kesehatan mental.
Liburan Justru Bikin Tambah Lelah
Jika kamu merasa semakin capek setelah kembali dari liburan, itu bisa jadi tanda bahwa tubuhmu tidak sedang butuh perjalanan, tetapi pemulihan menyeluruh. Menurut Journal of Occupational Health Psychology (Sonnentag, 2010), liburan yang terlalu padat itinerary, banyak interaksi sosial, atau tetap membawa pekerjaan bisa memperburuk fatigue.
Banyak orang tidak sadar bahwa tubuh mereka tidak pernah benar-benar “off” meskipun sedang cuti. Bahkan di tengah liburan, notifikasi email, tekanan sosial media, dan ekspektasi produktivitas tetap aktif. Akibatnya, sistem saraf simpatis tetap bekerja, dan tubuh tidak masuk fase relaksasi.
Kalau kamu merasa tidak segar meskipun sudah liburan beberapa kali, itu sinyal bahwa kamu perlu total shutdown, tidak bepergian, tidak menunda tugas, tapi benar-benar mengistirahatkan tubuh di lingkungan aman dan minim stimulasi.
Sulit Fokus dan Mudah Lupa Hal-Hal Kecil
Kehilangan fokus dan ingatan jangka pendek bisa jadi bukan karena malas, tapi akibat mental fatigue. Ketika otak bekerja terus tanpa istirahat, kapasitas prefrontal cortex (bagian otak yang mengatur pengambilan keputusan dan konsentrasi) bisa menurun drastis.
Buku Rest: Why You Get More Done When You Work Less karya Alex Pang menjelaskan bahwa fokus manusia bukanlah sumber daya tak terbatas. Ketika sudah terkuras, liburan biasa tak akan memperbaikinya. Yang dibutuhkan adalah periode istirahat penuh dengan ritme perlahan, tidak multitasking, tidak dikejar jadwal.
Jika kamu mulai lupa menaruh barang, mengulang pekerjaan karena kesalahan kecil, atau merasa “kosong” di tengah aktivitas, tubuhmu sedang meminta rehat total, bukan eksplorasi destinasi wisata baru.
Emosi Naik Turun dan Mudah Tersinggung
Kondisi emosional yang tidak stabil, seperti mudah marah, cemas berlebihan, atau tiba-tiba menangis merupakan salah satu tanda tubuh kelelahan secara emosional. Ini disebut juga sebagai emotional exhaustion, salah satu komponen utama dari burnout.
Dalam Maslach Burnout Inventory (MBI)—alat ukur burnout yang diakui secara global dijelaskan bahwa fluktuasi emosi adalah gejala utama dari kelelahan kronis yang tidak ditangani dengan baik. Jika kamu merasa marah karena hal kecil, atau merasa “hampa” tanpa sebab, tubuhmu sudah sangat butuh pemulihan internal, bukan distraksi eksternal seperti liburan.
Restorasi emosional membutuhkan ketenangan, batasan sosial, dan kualitas tidur yang baik dan bukan keramaian tempat wisata atau perencanaan panjang yang justru menguras energi.
Tidur Panjang Tapi Tetap Lelah
Tidur panjang tidak selalu berarti tidur berkualitas. Jika kamu sudah tidur 7–9 jam namun tetap merasa lelah saat bangun, itu bisa jadi tanda sistem sarafmu masih dalam mode siaga (hyperarousal), yang sering terjadi saat tubuh kelelahan mental dan emosional.
Menurut National Sleep Foundation, stres kronis membuat tubuh memproduksi kortisol terus-menerus. Ini mengganggu fase tidur dalam (deep sleep) yang seharusnya menjadi waktu utama pemulihan. Akibatnya, tubuh secara fisiologis tidak pernah masuk mode istirahat sejati.
Solusinya bukan memperpanjang tidur, melainkan menurunkan stresor dengan cara total break: tidak memaksakan diri produktif, tidak menyentuh pekerjaan, dan fokus pada relaksasi aktif seperti journaling atau pernapasan dalam.
Merasa Mati Rasa terhadap Hal yang Dulu Kamu Suka
Jika kamu mulai merasa hambar atau tidak tertarik pada hobi yang dulu menyenangkan, itu bisa jadi tanda bahwa kamu mengalami anhedonia—hilangnya minat atau kesenangan. Ini sering kali terjadi pada individu yang mengalami burnout berat atau depresi ringan.
Dalam Burnout: The Secret to Unlocking the Stress Cycle oleh Emily Nagoski, dijelaskan bahwa hilangnya semangat terhadap hal-hal positif adalah sinyal tubuh dan otak yang terlalu lama terpapar tekanan tanpa pemulihan. Liburan tidak selalu bisa memulihkan, apalagi jika hanya dilakukan sebagai “pelarian”.
Saat kamu mulai merasa kosong atau tidak bergairah pada aktivitas favoritmu, cobalah ambil waktu untuk benar-benar beristirahat, tanpa ekspektasi, agenda, atau distraksi. Tubuhmu sedang butuh rekalibrasi, bukan sekadar reward.
Kamu Merasa Seperti Robot yang Hanya Menjalankan Rutinitas
Kehilangan makna dalam rutinitas sehari-hari, kerja, makan, tidur adalah tanda kamu terjebak dalam mode autopilot. Tubuhmu berfungsi, tetapi jiwamu tidak terlibat. Kamu tidak lagi merasakan koneksi dengan pekerjaan, hubungan, atau bahkan dirimu sendiri.
Psikolog Dr. Sherrie Bourg Carter dalam Psychology Today menyebut kondisi ini sebagai “emotional detachment”, di mana seseorang merasa terasing dari kehidupannya sendiri. Ini sering terjadi ketika istirahat tidak pernah benar-benar dilakukan secara sadar.
Istirahat total memberimu ruang untuk “menghubungkan kembali” dirimu dengan realita. Bukan hanya recharge tenaga, tapi juga menyadarkan kembali makna di balik semua aktivitas yang kamu jalani.
Tubuh Sering Sakit Tanpa Sebab Medis Jelas
Sakit kepala terus-menerus, nyeri otot, masalah pencernaan, dan imunitas menurun bisa jadi sinyal tubuh yang kelelahan. Jika sudah cek ke dokter tapi hasilnya normal, mungkin masalahnya bukan fisik, melainkan psikosomatis—reaksi tubuh terhadap stres mental yang tak disadari.
Menurut Harvard Health Publishing, stres kronis menyebabkan sistem imun melemah, peradangan meningkat, dan hormon tidak stabil. Ini membuat tubuh lebih mudah sakit meskipun tidak ada infeksi atau kerusakan jaringan.
Tubuh yang terus dipaksa berfungsi tanpa diberi ruang istirahat akan melawan dalam bentuk keluhan fisik. Istirahat total bisa menjadi terapi terbaik untuk memulihkan keseimbangan antara tubuh dan pikiran.
Seputar Istirahat Total dan Burnout
1. Berapa lama idealnya kita melakukan total rest?
Idealnya 2–3 hari penuh tanpa pekerjaan, gadget, atau interaksi sosial berat. Tapi durasinya bisa berbeda tergantung tingkat kelelahan masing-masing orang.
2. Apakah total rest berarti harus tidur seharian?
Tidak. Total rest mencakup kegiatan tenang dan minim stimulasi seperti membaca ringan, journaling, atau sekadar berdiam diri tanpa ekspektasi.
3. Apa tanda utama kamu butuh istirahat, bukan liburan?
Kelelahan mental, mudah marah, sulit fokus, tidur tidak nyenyak, dan kehilangan minat terhadap hobi adalah sinyal utamanya.
4. Apakah burnout bisa sembuh dengan istirahat total saja?
Istirahat total adalah awal yang penting, tapi pemulihan burnout juga butuh perubahan pola hidup, mengelola beban kerja, dan kadang dukungan profesional.