Jalin Asmara di Usia Belia, Ini Surga dan Petaka yang Mengintai Remaja

1 week ago 9

Liputan6.com, Jakarta - Masa remaja adalah momen peralihan dari usia anak-anak ke dewasa. Di masa ini, anak baru gede (ABG) mulai merasakan getar-getar cinta.

Tak jarang, kisah kasih di sekolah mulai merebak hingga terjalin hubungan asmara. Namun, di balik keindahan cinta, tersimpan petaka yang mengintai para remaja.

Seperti disampaikan Kepala SMKN 1 Dawuan, Subang, Jawa Barat R. Eris Garini yang baru-baru ini viral di media sosial.

Dalam video yang diunggah akun Tiktok SMKN 1 Dawuan, Eris membahas soal pacaran di usia remaja saat menjadi pembina upacara di depan para siswa. Menurutnya, pacaran di usia remaja adalah pilihan yang buruk. Pasalnya, pacaran yang tidak sehat dapat memicu berbagai masalah.

“Fokus nak yah punya cita-cita, kalau kalian sibuk pacaran tercapai enggak tuh cita-citamu? Enggak akan tercapai karena sejak pacaran aja udah dibelenggu oleh pacarmu, enggak boleh bergaul, selalu harus laporan, capek hidup begitu, paham sayang?” kata Eris kepada murid-muridnya dalam video yang telah ditonton 2,4 juta kali, dikutip Senin (25/11/2024).

Hal ini mendapat tanggapan dari psikolog anak Seto Mulyadi, menurutnya pacaran dapat dilihat dari beberapa sudut pandang.

“Dari sudut pandang mana, dalam Islam disebut pacaran itu tidak benar karena mendekatkan pada dosa dan sebagainya. Tetapi memang yang paling penting ada definisi, artinya kalau berteman secara khusus sih boleh-boleh saja,” kata pria yang akrab disapa Kak Seto kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Sabtu (23/11/2024).

Pria Pemalang Nekat Unggah Foto dan Video Porno Pacar Gara-gara Cemburu Buta

Pacaran sebagai Pertemanan Khusus yang Sehat dan Positif

Dengan kata lain, jika remaja mendefinisikan pacaran sebagai pertemanan khusus yang sehat dan positif, maka boleh saja dilakukan.

“Seseorang pada masa-masa remaja kan butuh teman dekat, butuh sahabat, tapi juga sahabat itu jadi tempat curhat yang mengurangi stres, membagi masalah. Asal itu dilakukan secara sehat dalam arti tidak melampaui batas atau melanggar norma-norma agama, itu ada unsur-unsur positifnya,” ujar Kak Seto.

Sementara, yang disampaikan Eris dalam video merupakan contoh pacaran yang tidak sehat, sambung Kak Seto.

“Nah yang disampaikan dalam video itu adalah contoh (pacaran) yang berlebihan, yang hanya tergantung pada satu orang terus, lalu tidak mau bergaul dengan yang lain, egois, melarang, harus lapor, akhirnya ketergantungan yang berlebihan itu memang menjadi negatif.”

Jadi, lanjut Kak Seto, selama hubungan itu didasari nuansa yang penuh persahabatan, ada batas-batasnya, ada norma-normanya, serta tetap bisa bergaul secara luas dengan teman lain, tidak saling melarang, itu tetap ada unsur sehatnya secara psikologis.

Ciri dan Manfaat Pacaran yang Sehat

Hubungan yang terjalin dengan sehat di antara remaja dapat membangun rasa percaya diri, mengurangi ketegangan atau stres, dan dapat memotivasi semangat belajar.

“Bahkan ada beberapa yang pacaran itu karena dimotivasi pacarnya dia jadi menjalani ibadah secara teratur, apakah dia salat, apakah puasa, sedekah, dan sebagainya, itu bisa-bisa saja.”

Senada dengan Kak Seto, praktisi parenting sekaligus kriminologi Haniva Hasna menyampaikan bahwa pacaran yang sehat memang bisa memiliki dampak positif.

Menurutnya, pacaran pada remaja memiliki sisi positif jika dilakukan dalam bimbingan dan pengawasan orangtua.

“Pacaran di kalangan remaja bisa berdampak positif jika dilakukan dengan sehat, dalam batasan yang jelas, dan mendapat bimbingan dan pengawasan orangtua. Sebetulnya dalam pacaran itu, remaja belajar menjalin hubungan interpersonal,” kata perempuan yang akrab disapa Iva kepada Health Liputan6.com melalui keterangan tertulis, Sabtu (23/11/2024).

Hubungan yang baik dan sehat menjadi sarana untuk remaja belajar membangun kepercayaan, kompromi dan saling menghormati. Kondisi ini membantu remaja dalam memahami dinamika hubungan manusia secara lebih mendalam.

Hubungan yang terjalin dengan baik dan saling mendukung juga bisa menjadi sarana mengembangkan kemampuan komunikasi, mengekspresikan perasaan, mendengarkan pendapat orang lain, serta menyelesaikan konflik.

“Keterampilan komunikasi ini berguna untuk kehidupan sosial mereka di masa depan,” kata Iva.

Sisi positif lainnya adalah dapat menumbuhkan empati dan kepedulian, serta motivasi untuk pengembangan diri. Karena dalam sebuah hubungan sehat akan terjadi saling support untuk mencapai tujuan baik dalam sisi prestasi akademik maupun hobi.

“Catatan, kondisi ini tetap sangat sulit karena biasanya remaja yang fokus dengan pendidikan dan pengembangan diri lebih memilih untuk tidak pacaran.”

“Sebaik-baik remaja adalah yang sibuk mencari jati diri dengan prestasi karena gagal dalam prestasi saja sudah membuat sakit hati, apalagi gagal dalam prestasi ditambah dengan konflik pasangan yang sangat mengganggu perasaan,” ujar Iva.

Pacaran Tak Sehat dan Dampak Negatifnya bagi Remaja

Sebaliknya, jika pacaran dilakukan secara tidak sehat maka berbagai dampak negatif pun dapat mengintai remaja.

Hal ini yang ditakutkan para orangtua dan guru serta menjadi alasan mengapa mereka menentang anak remajanya untuk pacaran.

Menurut Iva, masa remaja adalah masa perkembangan di mana emosi mereka belum matang dan rentan terhadap berbagai macam dampak negatif.

“Usia remaja adalah masa perkembangan di mana mereka masih mencari jati diri, belum matang secara emosional dan rentan terhadap berbagai macam dampak negatif,” jelas Iva.

Iva menambahkan, jika remaja mulai berpacaran, maka beberapa dampak yang bisa terjadi adalah:

Stres, depresi bahkan perilaku destruktif, akibat ketidakmatangan emosi.

Gangguan pada proses belajar, karena fokusnya menjadi teralihkan untuk menjalin hubungan, membangun kepercayaan, mengelola kecemburuan, sikap posesif serta drama pacaran yang tentunya menguras pikiran.

Akan terjadi perubahan peran sosial dan keseimbangan hidup, karena remaja yang terlalu fokus pada hubungan cenderung mengesampingkan keluarga, pertemanan, hobby, kondisi ini mempengaruhi keseimbangan hidup dan hubungan sosial.

Hubungan cinta yang dibangun di usia remaja sering kali tidak bertahan lama karena belum ada dasar yang kuat, tidak ada kedewasaan cara berpikir, emosional atau kesamaan visi.

Pacaran Tak Sehat Bisa Picu Tindak Kriminal

Selain belum cukup umur, pacaran juga dinilai dapat memicu tindak kriminal.

Menurut Iva, meskipun tidak selalu, tapi ada beberapa faktor yang berpotensi menciptakan situasi yang berujung pada perilaku kriminal, seperti:

Kekerasan dalam Pacaran

Kekerasan dalam pacaran atau dating violence dapat terjadi karena ketidakmatangan emosi. Pola komunikasi buruk atau pengaruh lingkungan negatif sehingga terjadi kekerasan (baik fisik, verbal maupun seksual).

“Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman tentang hubungan atau relasi yang sehat,” kata Iva.

Pemicu Emosi yang Tidak Terkontrol 

Pada hubungan yang melibatkan perasaan, pasti ada konflik yang diakibatkan oleh rasa cemburu atau bentuk ungkapan sayang yang tidak tepat. Hal ini bisa memicu pertengkaran, penganiayaan bahkan perusakan barang.

“Hal ini karena remaja belum mampu menyelesaikan konflik sehingga berpotensi melakukan tindakan agresif.”

Eksploitasi Seksual

Pacaran bisa menjadi media di mana salah satu pihak memaksa berhubungan seksual akibat hormon yang aktif dan keinginan mencoba hal baru.

“Bila tidak bisa dikendalikan akan mengarah pada pelecehan bahkan perkosaan. Nah, pada era digital ini, menjadi semakin mudah melakukan kejahatan seksual. Terbanyak saat ini adalah remaja yang melakukan sexting dan penyebaran konten pribadi.”

“Biasanya dilakukan ketika hubungan berakhir dengan cara yang buruk, pihak yang merasa terluka dapat menyebarkan foto atau video pribadi sebagai bentuk balas dendam, perilaku ini sudah termasuk dalam ranah kriminal,” jelas Iva.

Lebih lanjut, Kak Seto menyampaikan bahwa pacaran yang tidak sehat dapat membuat remaja tidak fokus belajar dan uring-uringan.

“Remaja jadi tidak fokus, uring-uringan, atau menjurus pada hal-hal yang lebih jauh, yang belum saatnya.”

Remaja yang Tidak Pacaran Mentalnya Lebih Sehat?

Dalam video viral, Eris juga menyebut bahwa anak-anak yang secara sadar memilih untuk tidak pacaran maka kondisi mentalnya lebih sehat ketimbang anak yang pacaran.

“Anak-anak yang memilih secara sadar untuk tidak berpacaran di usia sekolah, mentalnya lebih sehat. Lihat teman-teman kalian yang pacaran, bawaannya ngeluh saja. Mentalnya enggak sehat, jangan sayang ya, jangan bodoh seperti itu,” kata Eris.

Menanggapi hal ini, Kak Seto menyampaikan bahwa kondisi mental remaja terkait pacaran tidak dapat dipukul rata.

Menurutnya, jika remaja yang pacaran itu tetap bisa fokus belajar, tetap bersahabat dengan teman-teman secara luas maka mentalnya pun tetap baik.

“Artinya konteksnya bukan di pacarannya itu.”

Sebaliknya, remaja yang tidak pacaran pun kondisi mentalnya tidak selalu baik-baik saja. Misalnya, remaja tidak pacaran tapi tidak melakukan kegiatan apa-apa, cenderung mengurung diri, dan hanya menghabiskan waktu dengan gawai atau ponsel pintar, maka itu pun tidak baik.

“Kalau tidak melakukan kegiatan apa-apa berarti juga malah enggak sehat. Dia tetap egois, hanya sibuk dengan gadget-nya, tidak belajar, tidak mau berusaha untuk masa depannya ya sama saja. Jadi tidak begitu saja dibanding-bandingkan.”

“Kalau remaja belum punya pacar tapi tetap kreatif dan semangat belajar itu bagus. Sebaliknya, meski tidak punya pacar tapi malah mabuk-mabukan, narkoba, dan sebagainya ya apa bedanya jadi tidak bisa dipukul rata,” jelas Kak Seto.

Senada dengan Kak Seto, Iva juga mengatakan bahwa kondisi mental remaja tergantung pada banyak faktor.

“Remaja tidak pacaran bisa jadi memiliki kondisi mental yang lebih baik, tapi hal ini bergantung pada banyak faktor seperti pola asuh dan hubungan dengan orangtua, hubungan sosial, konsep diri dan kepercayaan diri yang baik,” kata Iva.

“Jadi, tidak semua remaja yang berpacaran mengalami gangguan mental dan tidak semua remaja yang tidak berpacaran otomatis memiliki mental yang sehat.”

Setidaknya, sambung Iva, remaja yang tidak berpacaran akan terhindar dari konflik emosional dengan pasangan, lebih fokus pada pengembangan diri, minim risiko patah hati, relasi sosial yang lebih beragam, serta fokus pada identitas diri.

Bagaimana Peran Orangtua Jika Anak Remajanya Sudah Mulai Pacaran?

Dalam mengarungi masa remaja, para ABG masih perlu mendapat bimbingan dari orangtua. Saat mereka sudah mulai mengenal rasa cinta pada lawan jenis, orangtua perlu hadir untuk menjadi sahabat terbaik bagi remaja.

“Orangtua memposisikan diri sebagai sahabat, ‘jadi selain kamu dekat dengan dia, kamu juga dekat dengan ayah dengan bunda juga. Jadi kalau ada masalah, segera ceritakan.’ Tidak justru menutup pintu pintu, setelah ada pacar tertutup sama ayahnya, tertutup sama ibunya, nah itu yang tidak baik,” terang Kak Seto.

“Pacaran yang dalam konteks positif itu bisa membuat mentalnya lebih sehat, memotivasi semangat belajar, meraih cita-citanya, mempersiapkan masa depan yang lebih gemilang, yang lebih mapan.”

Maka dari itu, sambungnya, orangtua berperan penting sebagai sahabat anak, tapi sahabat yang juga bisa memberikan pengarahan dengan cara diskusi dan cara-cara lain yang lebih demokratis.

“Tidak menekan, tidak memaksa, tetap perlu ada komunikasi yang efektif dalam keluarga,” pungkasnya.

Orang-orang berjalan di sekitar taman di tengah kondisi kabut asap tebal di Lahore pada Kamis 7 November 2024. (Arif ALI/AFP)
Read Entire Article
Helath | Pilkada |