Liputan6.com, Jakarta Prevalensi persalinan dengan metode caesarean section (c-section) alias operasi caesar dalam skala nasional meningkat dari 17,6 persen tahun 2018 menjadi 25,9 persen pada 2023.
Persalinan caesar dikaitkan dengan gangguan komposisi mikrobiota usus pada bayi. Ini berpotensi memengaruhi kesehatan jangka panjang. Pasalnya, bayi yang lahir secara normal (vaginal) akan memiliki paparan mikroorganisme yang berbeda dengan bayi yang lahir melalui operasi caesar.
Mikrobiota usus bayi yang lahir caesar cenderung kurang beragam dan didominasi oleh bakteri yang kurang menguntungkan. Hal ini berisiko mengganggu keseimbangan bakteri di dalam usus (disbiosis) pada anak dan kesehatan anak di kemudian hari.
Dokter spesialis anak konsultan alergi imunologi, Profesor Anang Endaryanto, mengatakan, kondisi disbiosis dapat meningkatkan risiko bayi mengalami berbagai masalah alergi. Seperti pilek, batuk kronik berulang, dan asma. Serta gangguan imunitas tubuh seperti infeksi, autoimun, dan penyakit inflamasi.
Sementara, saat bayi lahir secara normal, akan terpapar mikroorganisme yang ada di jalan lahir dan saluran cerna ibunya. Paparan bakteri ini membantu membentuk mikrobiota usus bayi yang sehat dan beragam, didominasi oleh bakteri baik seperti Bifidobacterium dan Bacteroides.
“Mikrobiota usus yang sehat ini akan mendukung perkembangan sistem kekebalan tubuh bayi yang protektif dan seimbang. Sehingga, tubuh lebih tahan terhadap penyakit infeksi, kanker, alergi, dan autoimun, serta mendukung pertumbuhan yang optimal,” kata Anang dalam pertemuan ilmiah Expert Scientific Lecture di Pusat Riset dan Inovasi Global Danone, Utrecht, Belanda belum lama ini.
Bayi yang lahir melalui proses caesar rentan mengembangkan alergi seperti asma. Penyemaian vagina (vaginal seeding) menjadi tren ibu hamil karena dirancang untuk mengatasi terkait masalah alergi tersebut.
Persalinan Caesar dan Alergi Susu Sapi
Dampak penting pasca c-section adalah tantangan kesehatan yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak seperti alergi.
Alergi makanan berpotensi memengaruhi status nutrisi dan pertumbuhan buah hati. Salah satu contohnya adalah isu alergi susu sapi pada anak, yang mana kasus ini mencapai 0,5-7,5 persen per tahun dari jumlah kelahiran bayi di Indonesia. Alergi susu sapi (ASS) yang dimediasi IgE sering terjadi pada masa anak, memengaruhi sekitar 1,9-4,9 persen anak di seluruh dunia.
“Alergi protein susu sapi yang dimediasi IgE merupakan salah satu alergi makanan yang paling umum terjadi pada anak usia dini. Penatalaksanaan anak dengan alergi protein susu sapi yang terpenting adalah dengan menghindari alergen yaitu protein susu sapi dan memberikan penggantinya,” ujar Anang mengutip keterangan pers, Rabu (4/12/2024).
Para ibu yang menyusui juga disarankan menghindari konsumsi protein susu sapi dan turunannya. Faktor risiko terjadinya alergi protein susu sapi meliputi kelahiran prematur, alergi makanan pada ibu, pemberian antibiotik selama kehamilan, dan pengenalan makanan pendamping saat anak berusia kurang dari 4 bulan serta kelahiran melalui operasi caesar.
Minimalisasi Dampak Alergi
Sebagian besar dokter anak di Indonesia sudah cukup memahami alergi susu sapi dan rekomendasi yang disusun Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Namun, upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keakuratan dalam diagnosis alergi susu sapi akan terus dilakukan.
Untuk meminimalisasi dampak alergi ini, pedoman European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN) merekomendasikan eHF berbasis protein susu sapi sebagai pengobatan lini pertama untuk anak-anak dengan kondisi alergi protein susu sapi.
Bagi anak yang memiliki alergi susu sapi seperti ini, direkomendasikan untuk berkonsultasi dengan dokter dalam memberikan formula pengganti.
Pengganti ini berupa formula protein susu sapi yang terhidrolisis ekstensif (eHF), formula asam amino (AAF), atau formula isolat protein soya atau kedelai (SIF).
Stunting, Masalah Pertumbuhan Terbanyak di Indonesia
Di sisi lain, masalah pertumbuhan yang tidak optimal juga merupakan isu penting karena dapat memengaruhi perkembangan anak dalam jangka panjang.
Masalah pertumbuhan terbanyak di Indonesia adalah stunting, yaitu panjang/tinggi badan kurang dari -2 SD (Standar Deviasi) grafik WHO yang disebabkan oleh malnutrisi kronik.
Masalah gizi lainnya adalah weight faltering, gizi kurang, dan gizi buruk. Semua masalah gizi tersebut akan menyebabkan dampak jangka pendek, yaitu menurunnya imunitas dan dampak jangka panjang, yaitu risiko sindrom metabolik dan gangguan perkembangan kognitif.
Oleh karena itu, penting untuk mencegah stunting dengan cara mendeteksi weight faltering/berat badan kurang dan tata laksana segera.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/1928/2022 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana Stunting, maka pencegahan stunting dimulai dari tingkat Posyandu, yaitu dengan pemberian makanan yang mengandung protein hewani yang cukup.
Butuh Pemberian Makan Terapeutik
Penelitian di 54 negara berkembang pada 2001 menunjukkan bahwa weight faltering dan length deceleration (kenaikan panjang yang tidak adekuat) banyak terjadi pada masa pemberian makanan pendamping ASI (MPASI). Anak yang telah mengalami weight faltering, berat badan kurang, atau gizi kurang harus ditangani di Puskesmas oleh dokter umum.
Pada anak tersebut, dibutuhkan pemberian makanan terapeutik, misalnya susu formula pertumbuhan. Anak yang telah mengalami stunting harus dirujuk ke Rumah Sakit untuk ditangani dokter anak segera, karena penatalaksanaan stunting memberikan hasil terbaik bila dilakukan sebelum usia 2 tahun.
“Terapi untuk anak yang mengalami stunting meliputi pemberian makanan yang mengandung kalori, protein hewani, dan mikroutrien cukup serta pangan keperluan medis khusus (PKMK). Namun, penting untuk diperhatikan bahwa pemberian PKMK harus diresepkan oleh dokter anak karena dosis harus dihitung sesuai dengan kondisi klinis pasien,” jelas dokter spesialis anak konsultan nutrisi dan penyakit metabolik, Klara Yuliarti, dalam kesempatan yang sama.
Berbagai pembahasan isu kesehatan anak ini diusung oleh Danone Specialized Nutrition Indonesia dengan mengajak para healthcare professional Tanah Air untuk bertukar pikiran dan berdiskusi secara aktif melalui forum scientific.
“Kegiatan ini juga merupakan salah satu upaya kami untuk membangun sinergi antara healthcare professional ibu dan anak berbagi pengetahuan mengenai isu kesehatan yang memengaruhi pertumbuhan anak di masa depan, termasuk bagi anak-anak di Indonesia” kata Healthcare Nutrition Director Danone SN Indonesia, dr. Ashari Fitriyansyah.