Liputan6.com, Jakarta Masalah pertumbuhan yang tidak optimal merupakan isu penting karena dapat memengaruhi perkembangan anak dalam jangka panjang.
Masalah pertumbuhan terbanyak di Indonesia adalah stunting, yaitu panjang atau tinggi badan kurang dari -2 SD (Standar Deviasi) grafik WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) yang disebabkan oleh malnutrisi kronik.
Masalah gizi lainnya adalah weight faltering (gagal tumbuh), gizi kurang, dan gizi buruk. Semua masalah gizi tersebut akan menyebabkan dampak jangka pendek, yaitu menurunnya imunitas. Dan dampak jangka panjang, yaitu risiko sindrom metabolik dan gangguan perkembangan kognitif.
“Oleh karena itu, penting untuk mencegah stunting dengan cara mendeteksi weight faltering/berat badan kurang dan tata laksana segera,” kata dokter spesialis anak konsultan nutrisi dan penyakit metabolik, Klara Yuliarti, mengutip keterangan pers Danone, Rabu (4/12/2024).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/1928/2022 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana Stunting, maka pencegahan stunting dimulai dari tingkat Posyandu. Yaitu dengan pemberian makanan yang mengandung protein hewani yang cukup.
Penelitian di 54 negara berkembang pada 2001 menunjukkan bahwa weight faltering dan length deceleration (kenaikan panjang yang tidak adekuat/gagal tumbuh) banyak terjadi pada masa pemberian makanan pendamping air susu ibu (MPASI).
Anak yang telah mengalami weight faltering, berat badan kurang, atau gizi kurang harus ditangani di Puskesmas oleh dokter umum. Pada anak tersebut, dibutuhkan pemberian makanan terapeutik, misalnya susu formula pertumbuhan.
ASI eksklusif merupakan langkah penting dalam mencegah stunting sejak dini karena memberikan nutrisi yang optimal bagi pertumbuhan bayi. Dengan menyusui secara eksklusif selama enam bulan pertama, anak mendapatkan zat gizi yang diperlukan untuk perke...
Jika Anak Mengalami Stunting
Sementara, jika anak mengalami stunting maka penanganannya harus dilakukan dengan cepat sebelum usia 2 tahun.
“Anak yang telah mengalami stunting harus dirujuk ke rumah sakit untuk ditangani dokter anak segera, karena penatalaksanaan stunting memberikan hasil terbaik bila dilakukan sebelum usia 2 tahun,” ujar Klara.
Terapi untuk anak yang mengalami stunting meliputi pemberian makanan yang mengandung kalori, protein hewani, dan mikronutrien cukup serta pangan keperluan medis khusus (PKMK). Namun, penting untuk diperhatikan bahwa pemberian PKMK harus diresepkan oleh dokter anak karena dosis harus dihitung sesuai dengan kondisi klinis pasien.
5 Langkah Asuhan Nutrisi Pediatrik
Klara menambahkan, tatalaksana stunting dilakukan dokter dengan asuhan nutrisi pediatrik yang terdiri dari lima langkah.
“Tatalaksana stunting dilakukan dokter spesialis anak berupa asuhan nutrisi pediatrik, yang terdiri dari 5 langkah, yaitu penilaian adakah penyakit medis dan status gizi, penentuan kebutuhan kalori dan protein, penentuan rute pemberian nutrisi, pemilihan jenis nutrisi (makanan padat dan PKMK), serta pemantauan dan evaluasi.”
Terapi stunting membutuhkan asupan kalori yang cukup dengan protein energy ratio (PER) 10-15 persen. Pemilihan PKMK didasarkan pada kebutuhan pasien, densitas energi, protein-energy ratio, persyaratan kandungan sukrosa, dan palatabilitas (derajat kesukaan ternak pada pakannya).
Persyaratan Komposisi PKMK
Persyaratan komposisi PKMK diatur dalam Peraturan Kepala (Perka) Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) No. 24 tahun 2020 tentang perbaikan ke-2 Perka No. 1 tahun 2018 tentang PKMK.
“Densitas energi pada PKMK untuk dukungan nutrisi (disebut juga oral nutrition supplement, ONS) minimal 0,9 kkal/mL. Berdasarkan densitas energi, ONS dikategorikan menjadi ONS energi tinggi (1.5 kkal/mL atau lebih) dan ONS energi standar,” jelas Klara.
Seperti diketahui, PKMK adalah salah satu bentuk terapi yang direkomendasikan oleh WHO dan United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) sejak tahun 2009. Ini adalah pangan yang diformulasi khusus untuk pasien penyakit langka kelainan metabolisme bawaan yang membuat bayi tidak dapat mengonsumsi air susu ibu (ASI).