Liputan6.com, Jakarta - Tren untuk tidak memiliki anak, atau dikenal dengan istilah childfree, semakin banyak dianut oleh perempuan di Indonesia. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat sebanyak 71 ribu perempuan usia subur di Indonesia mengadopsi konsep ini.
Fenomena ini memicu perbincangan luas, terutama karena menyentuh aspek-aspek penting dalam kehidupan keluarga, sosial, dan bahkan pembangunan bangsa.
Menurut Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Veronica Tan, mayoritas perempuan yang memilih jalan childfree adalah mereka yang memiliki tingkat pendidikan tinggi.
Pengetahuan dan kesadaran yang lebih luas membuat perempuan ini memahami bahwa membesarkan anak membutuhkan komitmen besar, baik dari segi kualitas pengasuhan maupun sumber daya.
"Mereka sudah mengerti bahwa anak itu menjadi sebuah beban kalau kita tidak memberikan yang terbaik dengan kualitas. Akhirnya mereka memilih,'Saya aja enggak bisa kasih kualitas, ngapain saya punya anak'," ujar Veronica Tan.
Kenapa Setuju dengan Childfree?
Perempuan yang teredukasi menyadari pentingnya membesarkan anak yang berkualitas, bukan sekadar memenuhi kuantitas. Mereka memahami bahwa pengasuhan anak membutuhkan sumber daya finansial, emosional, dan waktu yang tidak sedikit.
Ketika merasa tidak mampu memberikan yang terbaik, sebagian perempuan memutuskan untuk tidak memiliki anak demi menghindari beban yang tidak perlu dan tekanan terhadap kesehatan mental mereka.
Di sisi lain, situasi ini berbanding terbalik dengan perempuan yang tidak mendapatkan edukasi yang memadai.
Menurut Veronica Tan, masih banyak perempuan muda yang memilih menikah dan memiliki banyak anak tanpa pemahaman tentang pentingnya pengasuhan berkualitas,"Kerap terjadi pernikahan dini di umur 19 tahun tanpa tahu jangka panjang punya anak."
Kurangnya edukasi juga sering kali berujung pada keputusan untuk tidak menggunakan metode kontrasepsi (KB), yang akhirnya memperbesar jumlah anak dalam keluarga dan menambah beban mental serta finansial orang tua.
Kenapa Pendidikan Berkualitas Itu Penting?
Di tengah perdebatan mengenai childfree, Veronica Tan menekankan bahwa fokus utama seharusnya adalah pada pengasuhan dan pendidikan anak berkualitas. "Bukan anak banyak rejeki, tapi bagaimana anak teredukasi, menjadi anak berkualitas," tambahnya.
Pemikiran ini sejalan dengan tuntutan zaman yang semakin kompleks. Anak-anak yang dididik dengan baik tidak hanya menjadi kebanggaan keluarga tetapi juga aset bagi pembangunan bangsa.
Oleh karena itu, pengasuhan anak tidak lagi bisa dianggap sebagai hal yang sederhana dan instan.
Apa yang Dimaksud Dengan Childfree?
Childfree adalah istilah yang semakin sering dibahas di masyarakat modern. Berdasarkan kajian dari Guru Besar Bidang Ekonomi Demografi Universitas Indonesia (UI), Prof. Dra. Omas B. Samosir, Ph.D., childfree merujuk pada individu dewasa atau pasangan yang secara sadar memilih untuk tidak memiliki anak, baik secara biologis maupun melalui adopsi.
Keputusan ini bukanlah akibat dari masalah kesehatan atau fertilitas, melainkan murni karena pilihan hidup yang dipertimbangkan secara matang.
Pilihan hidup childfree sering kali didasarkan pada berbagai pertimbangan, mulai dari aspek sosial, ekonomi, hingga psikologi. Banyak yang meyakini bahwa menjadi orang tua memerlukan pengorbanan besar, baik secara finansial maupun emosional.
Parenting dianggap sebagai komitmen panjang yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk waktu, tenaga, dan kebebasan pribadi.
Lebih jauh, konsep childfree sering dikaitkan dengan isu feminisme. Perempuan yang memilih tidak memiliki anak sering kali memanfaatkan kesempatan ini untuk lebih fokus pada pengembangan diri, seperti mengejar pendidikan tinggi, membangun karier, atau berkontribusi dalam peran sosial di luar lingkup keluarga tradisional.
Keputusan untuk hidup secara childfree adalah hak pribadi yang mencerminkan kebebasan individu dalam menentukan jalan hidupnya.
Apa Faktor Childfree?
Keputusan untuk memilih childfree, atau tidak memiliki anak, semakin menjadi topik yang menarik perhatian dalam diskusi sosial dan akademik. Pilihan ini tidak muncul begitu saja, melainkan merupakan hasil dari berbagai dinamika sosial, teknologi, dan budaya yang berkembang.
Penelitian Doyle et al. dalam Journal of Health Psychology (2013) mengungkapkan bahwa peningkatan jumlah perempuan yang memilih childfree dipengaruhi oleh berbagai faktor. Akses terhadap alat kontrasepsi yang aman memberi mereka kendali lebih besar atas keputusan reproduksi.
Selain itu, kesempatan pendidikan yang lebih luas mendorong perempuan untuk fokus pada karier dan pengembangan diri, sementara advokasi kesetaraan gender memperkuat kebebasan mereka dalam menentukan jalan hidup tanpa tekanan tradisional.
Crawford dan Solliday dalam Journal of Homosexuality (1996) menambahkan bahwa orientasi seksual juga berperan. Komunitas dengan orientasi homoseksual sering kali lebih cenderung memilih tidak memiliki anak, baik karena alasan biologis maupun preferensi gaya hidup.
Di Indonesia, fenomena childfree lebih sering dilihat melalui statistik fertilitas perempuan, yaitu rata-rata jumlah anak yang dilahirkan sepanjang hidup.
Namun, hingga kini belum ada data fertilitas laki-laki yang mampu merekam fenomena serupa, mencerminkan dominasi fokus pada perempuan dalam kajian reproduksi.