Liputan6.com, Jakarta - Pada 2014, Indonesia telah dinyatakan Bebas Polio (Eradikasi Polio) bersama dengan negara-negara anggota WHO di South East Asia Region (SEAR). Untuk mempertahankan keberhasilan tersebut serta menuju eradikasi polio global 2020, Indonesia melakukan berbagai rangkaian kegiatan yaitu Pekan Imunisasi Nasional (PIN) secara rutin di setiap tahunnya. Tetapi sejak 2022 hingga 2023, Indonesia kembali mencatat tujuh kasus Polio yang teridentifikasi di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur. Apa yang terjadi?
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, Polio adalah penyakit sangat menular yang disebabkan oleh infeksi virus. Selama masih ada seorang anak yang terinfeksi polio, seluruh anak di dunia berisiko terinfeksi Polio. Kegagalan dalam mengeradikasi Polio dapat mengakibatkan timbulnya 200.000 kasus baru tiap tahunnya dalam 10 tahun, di seluruh dunia.
Perlu diketahui bahwa Polio hanya dapat dicegah melalui vaksinasi, tidak ada pengobatan untuk infeksi penyakit ini. Vaksin Polio yang diberikan beberapa kali dapat melindungi seorang anak dari Polio seumur hidupnya, vaksin ini juga merupakan salah satu vaksin wajib dalam Program Imunisasi Pemerintah, serta dari tahun ke tahun selalu masuk dalam Jadwal Imunisasi Anak IDAI.
Kembali ke pertanyaan diatas, apa yang terjadi? Mengapa setelah hampir 10 tahun dinyatakan sudah terbebas Polio, muncul kembali kasus tersebut di Indonesia?
Guru Besar Bidang Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM Prof. dr. Mei Neni Sitaresmi, Sp.A(K)., Ph.D, mengatakan melalui program podcast yang diselenggarakan Pusat Kedokteran Tropis (PKT) UGM, Senin (15/1/2024,) cakupan vaksinasi yang rendah dan menurun, disertai dengan lingkungan yang tercemar merupakan salah satu penyebab muncul kembali kasus polio di Indonesia.
“Makanya penting sekali selain vaksinasi adalah kebersihan kita, termasuk MCK (mandi-cuci-kakus) yang betul-betul MCK," tutur Prof Mei Neni.
Apa penyebab cakupan vaksinasi rendah dan menurun?
Kita tidak dapat menutup mata bahwa pandemi COVID-19 menjadi salah satu penyebab turunnya cakupan vaksinasi dalam 3 tahun terakhir, pembatasan sosial membuat tingkat vaksinasi menurun.
Tetapi apakah hanya karena itu?
Perbedaan pendapat tentang vaksinasi bukan merupakan hal baru, dan tidak hanya terjadi di Indonesia. Di tingkat dunia, perdebatan tentang vaksinasi juga terjadi. Di Amerika Serikat, ketakutan terhadap vaksinasi muncul pada abad ke-18, ketika vaksin mulai diperkenalkan. Pada saat itu , pemuka agama sering mengatakan vaksin sebagai "the devil's work" (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia artinya adalah "hasil kerja iblis") dan mereka secara aktif menolak vaksinasi.
Pada abad ke-19, gerakan ini meningkat di tingkat dunia seiring dengan berlakunya Undang-Undang (UU) di Inggris yang mewajibkan pada orangtua untuk memvaksinasi anak mereka. UU ini, memicu aktivis anti-vaksin membentuk sebuah liga anti-vaksin yang memiliki misi untuk melindungi kebebasan individu dari paksaan pemerintah yang mewajibkan vaksinasi. (Benecke dan DeYoung, 2019:1)
Ketakutan Akan Efek Samping Setelah Vaksinasi
Di Indonesia, isu atau informasi keliru terkait vaksin pun banyak ditemukan di masyarakat, tak terkecuali di media sosial. Media sosial menawarkan kesempatan bagi orang-orang yang selama ini pendapatnya termarginalkan untuk bisa bersuara dan menyampaikan pendapat. Media sosial juga berperan sebagai ruang untuk membagikan atau menyimpan dokumentasi berbagai macam foto, poster kegiatan dan bukti-bukti yang bersangkutan dengan penolakan mereka terhadap vaksinasi.
Berbagai macam pendapat tentang vaksinasi banyak diperdebatkan oleh kelompok anti-vaksin di media sosial. Mereka mengatakan bahwa mereka ragu akan efektivitas dan keampuhan vaksin dalam mengatasi penyakit. Mereka berpendapat, anak yang vaksinasi maupun tidak vaksinasi kondisi fisiknya akan sama saja, vaksinasi tidak menjamin anak mereka kebal terhadap penyakit menular (Wahyunarni, 2016:283).
Selain itu, ketakutan akan efek samping setelah vaksinasi atau sering disebut dengan KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) juga menjadi momok bagi orangtua yang ragu akan efektivitas dan keampuhan vaksin. Mereka mengatakan bahwa anak yang sebelumnya sehat, malah menjadi sakit setelah vaksinasi. Karena hal tersebut, maka mereka meyakini bahwa anak yang tidak vaksinasi akan memiliki kondisi tubuh yang lebih sehat daripada anak yang vaksinasi.
Desain program vaksinasi yang bersifat wajib bagi bayi yang masih sangat muda dan rentan sudah harus diberikan obat-obatan kimia sejak baru lahir, sehingga mereka lebih memilih untuk tidak vaksinasi dan hanya memberikan ASI yang alami dan diyakini lebih aman sebagai cara memberikan kekebalan tubuh bagi bayi mereka (Meilani, 2017:90).
Teori Konspirasi dan Keraguan Berdasarkan Ajaran Agama
Keraguan terhadap vaksinasi juga tidak jarang dikaitkan dengan teori konspirasi. Teori konspirasi banyak disebarkan melalui media sosial seperti YouTube, X dan Facebook. Mereka yang percaya pada teori konspirasi mengatakan bahwa perusahaan farmasi membuat vaksin semata-mata untuk mencari keuntungan.
Selain teori konspirasi tersebut, banyak teori baru tentang vaksinasi muncul selama masa pandemi COVID-19. Salah satu teori konspirasi yang dapat ditemukan di platform berbagi video menyebut bahwa COVID-19 merupakan sebuah virus yang tidak berbahaya dan merupakan hasil modifikasi genetik. Teori tersebut juga melibatkan isu microchip yang dapat merekam segala pergerakan dan aktivitas individu dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.
Selain beberapa alasan di atas, pendapat yang juga cukup mempengaruhi keputusan seseorang terhadap vaksinasi adalah pendapat untuk menolak vaksinasi berdasarkan pada ajaran agama. Keraguan masyarakat terhadap vaksin yang berdasar pada ajaran agama diawali terhadap vaksin MMR (Measles, Mumps dan Rubella) yang dikabarkan dalam proses pembuatannya menggunakan unsur haram - gelatin dari kulit babi (Herlina, 2019:172). Keraguan pada vaksin MMR kemudian berimbas kepada keraguan pada jenis vaksin lainnya.
Pentingnya Bersikap Kritis Menyaring Informasi
Melihat bagaimana penolakan vaksinasi diperbincangkan dan diperdebatkan di media sosial, sehingga membentuk sebuah kebenaran tertentu dan mempengaruhi sikap dan tindakan individu atau kelompok di dunia nyata, dapat kita pahami bahwa vaksinasi tidak hanya menjadi permasalahan di dunia kesehatan, tetapi juga merupakan sebuah fenomena sosial.
Mencermati fenomena anti-vaksin tersebut, kita dapat melihat sudut pandang yang baru tentang bagaimana kompleksitas permasalahan penolakan vaksinasi berdasarkan pada imajinasi moral diperdebatkan serta bagaimana media sebagai tempat untuk menyuarakan penolakan tersebut mempengaruhi keputusan seseorang terhadap vaksinasi.
Perkembangan internet dan media sosial membuat masyarakat saat ini dibanjiri berbagai informasi. Namun, sebagian informasi justru tidak berdasar pada penelitian ilmiah dan kondisi empirik, bahkan cenderung membuat masyarakat menjadi ragu dan bingung.
Oleh sebab itu, dalam menyikapi berbagai macam informasi tentang vaksinasi yang beredar di media, kita harus bersikap kritis, menyaring semua informasi yang diterima, dan membekali diri dengan pengetahuan yang luas tentang vaksinasi dan ajaran agama. Sehingga ketika sebuah kebenaran untuk menolak vaksinasi dapat berakhir pada kerugian dan mencelakakan orang lain, sebaiknya perlu mempertanyakan kembali tentang kebenaran tersebut kepada para ahli di bidangnya. Sejatinya imajinasi moral dalam ajaran agama akan mengajak kita kepada kebaikan dan keselamatan diri dan juga orang lain.
Penulis:
dr. Kenya Leilani
Mahasiswa Hukum Kesehatan di Universitas Gadjah Mada
Pernah bertugas di RSUD Kanjuruhan, Kab Malang dan RSUD Bumi Sebalo, Kab. Bengkayang, KalBar.