Liputan6.com, Ende Musolaki adalah jabatan yang disematkan pada tokoh adat paling dihormati di desa-desa yang ada dalam cakupan wilayah Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Jabatan musolaki diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang. Biasanya diturunkan dari seorang musolaki ke anak laki-lakinya yang nomor tiga.
Musolaki di sebuah desa memiliki peran paling penting. Segala acara adat hingga berbagai program yang datang dari luar desa tidak dapat berjalan tanpa persetujuannya. Termasuk program pembangunan desa seperti yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Wahana Visi Indonesia (WVI).
Sejak 2014, WVI menjangkau desa-desa di Ende, termasuk desa di sekitar sumber air panas Sombulou Lasugolo. Butuh waktu lebih kurang tiga jam dari pusat Kota Ende untuk sampai ke desa yang dihuni 127-130 kepala keluarga (KK) itu. Medan bebatuan dan perbaikan jalan di sana-sini tidak memungkinkan kendaraan roda empat untuk lewat. Jalan kaki atau sepeda motor adalah alternatif yang bisa dipilih.
Jumat pagi, 7 Maret 2025, tim Liputan6.com berkesempatan untuk berkunjung ke desa penghasil kemiri untuk melihat geliat WVI di sana. Ibu-ibu posyandu, perangkat desa, dan musolaki sudah siaga di kantor desa untuk menyambut kedatangan tim yang mereka sebut sebagai “tamu dari Jakarta.”
Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana mengunjungi salah satu tempat yang menjadi bagian dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia pada hari Kelahiran Pancasila. Jokowi juga tampak mengenakan baju adat Ende dari Nusa Tenggara Timur.
Kenapa Musolaki Mantap Terima Masuknya Pengaruh WVI?
Tim Liputan6.com pun berjumpa langsung dengan musolaki Antonius. Pria paruh baya yang telah menyandang gelar musolaki sejak lebih dari 30 tahun silam.
Menurutnya, kepentingan warga desa adalah yang utama. Termasuk soal kesehatan, akses pendidikan, hingga lingkungan yang baik. Tak heran, ia menerima dengan baik keberadaan WVI karena sadar bahwa organisasi tersebut dapat membawa perubahan positif di desanya.
“Saya melihat mereka (WVI) punya program itu baik sekali bagi masyarakat saya,” kata pria yang akrab disapa Pak Anton kepada Health Liputan6.com, saat ditemui di desanya, Jumat (7/3/2025).
Anton pun melihat, warga desanya memiliki karakter yang terbuka dan bisa menerima hal-hal baru yang positif tanpa lupa untuk melestarikan adat istiadat.
Bawa Perubahan dalam Pengasuhan Anak
Pria usia 56 itu bekisah, dulu, warga desa kerap mendidik anak dengan keras. Kasus-kasus kekerasan terhadap anak banyak terjadi sebelum adanya pendampingan dari WVI.
“Sebelum WVI masuk, kekerasan itu banyak, ada kekerasan pada anak, ada tindakan begini, begitu, mungkin kasih makan juga hanya kasih ubi sepotong. Ibu asik ke kebun, bapak asik ke kebun.”
Dengan kata lain, para anak kerap mengalami tindak penelantaran. Tidak diurus dengan baik, termasuk tidak dimandikan karena sibuknya orangtua di kebun. Mendidik anak juga tak lepas dari pukulan fisik. Misalnya, ketika anak main kemudian dipanggil tapi tak menghiraukan panggilan orangtuanya, anak kerap kena pukul rotan.
“Dulu kekerasannya pakai lidi, pakai tangan, pakai suara. Dan datangnya WVI ini mengubah menjadi bagus, kekerasan menjadi turun karena diajarkan mendidik anak itu harusnya seperti apa,” jelasnya.
Yakin Bisa Jadi Desa Layak Anak
Anton memiliki keyakinan, kelak desanya akan menjadi desa layak anak. Kini, ia dan seluruh warga desa sedang berupaya membenahi berbagai aspek kehidupan anak agar berbagai indikasi desa layak anak bisa tercapai.
Beberapa hal yang telah dilakukan bersama WVI adalah edukasi kader posyandu terkait pengasuhan anak, pemenuhan gizi, pemerataan kepemilikan akta kelahiran, pembangunan sekolah yang lebih dekat, hingga penyediaan sanitasi dan air bersih untuk anak dan warga desa.
“Saya yakin, kalau dia orang bagus-bagus, ikut dengan program desa, program WVI yang ada saya yakin bisa (jadi desa ramah anak).”
Dia pun berharap agar dapat segera mendeklarasikan bahwa desanya adalah desa layak anak.
“Ya kalau menurut pikiran saya atau gambaran saja mungkin dua tahun, tiga tahun lagi itu bisa (deklarasi desa layak anak),” harapnya.