Berkaca dari Film JUMBO, Psikolog Ulas Soal Adverse Childhood Experiences

9 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta - Film JUMBO telah ditonton 6.621.501 orang hingga 25 April 2025. Ini membuat animasi yang disutradarai komika Ryan Adriandhy menjadi film animasi terlaris di Indonesia.

Film ini mengangkat realita hubungan keluarga dan anak yang dikemas dalam kisah unik perjalanan Don dan kawan-kawan. Terkait film ini, Dosen Psikologi Klinis Universitas Gadjah Mada (UGM), Wulan Nur Jatmika, S.Psi., M.Sc., memberikan komentar dari sisi psikologi.

Menurutnya, JUMBO memuat pesan berlapis yang bisa ditangkap berbeda oleh penonton di segala usia. Terdapat moral tentang persahabatan, cara menjadi teman yang baik, saling tolong-menolong, dan cerita petualangan seru yang menghibur untuk anak-anak.

Sedangkan bagi penonton dewasa, ada perasaan nostalgia melalui alur cerita yang menyentuh sampai dinamika psikologis setiap karakternya.

“Secara pribadi, saya sangat mengapresiasi para seniman yang telah bekerja keras mewujudkan film ini dengan kualitas animasi, alur cerita, serta perkembangan karakter yang baik, diperkaya dengan banyak hikmah yang bisa dijadikan bahan refleksi,” tutur Wulan di Kampus UGM, Senin (21/4/2025).

Wulan menyebut sejumlah realita sosial dalam film JUMBO mencerminkan pengaruh keluarga dan lingkungan pada kondisi psikologis anak. Salah satunya adalah Adverse Childhood Experiences (ACEs) yakni kejadian atau peristiwa yang terjadi sebelum anak menginjak usia 18 tahun dan berpotensi menimbulkan trauma. Kejadian seperti kehilangan peran orangtua, diabaikan, menyaksikan atau mengalami kekerasan, dan disfungsi sosial keluarga dapat memberikan pengalaman traumatis bagi anak.

Film Jumbo mencatat prestasi gemilang dengan menembus angka 6 juta penonton, menjadikannya salah satu film Indonesia terlaris sepanjang masa. Di balik kesuksesan luar biasa ini, sang sutradara Ryan Adriandhy mengungkapkan bahwa biaya produksi yang di...

Cerminkan Realita Sosial Indonesia

Wulan menambahkan, refleksi ACEs dapat ditemukan pada latar belakang beberapa karakter film JUMBO.

Misalnya, Don yang kehilangan orangtua, Atta yang tumbuh tanpa orangtua dan dalam kondisi kemiskinan, serta Maesaroh dan Nurman yang dikisahkan hidup bersama kakek tanpa peran orangtua secara emosional.

“Kondisi ini mencerminkan realita sosial Indonesia, di mana anak-anak dengan ACEs bisa dengan mudah ditemukan di sekitar kita,” ungkap Wulan.

Isu Perundungan Anak 

Selain itu, Wulan juga menyoroti isu perundungan anak-anak yang diceritakan dalam hubungan antara Don dan Atta.

Menurutnya, perundungan adalah masalah nyata yang kompleks pada lingkungan anak-anak. Baik pelaku maupun korban perundungan berpotensi mengalami masalah kesehatan mental di kemudian hari.

“Anak yang menjadi pelaku perundungan biasanya juga bukan tanpa sebab, banyak faktor yang memengaruhi, mulai dari pola asuh negatif, pengalaman masa lalu sebagai korban, hingga lingkungan sosial yang tidak sehat,” jelas Wulan.

Uniknya, Don sebagai korban perundungan menerima dukungan emosional yang baik, sehingga tetap ceria dan percaya diri.

Kasus ini menunjukkan bahwa pencegahan perundungan tidak bisa dilakukan secara parsial. Perlu ada upaya untuk meminimalisasi faktor-faktor risiko seperti pola asuh negatif, lingkungan yang penuh tekanan, atau ketidaksetaraan sosial.

Sebagai upaya preventif, diperlukan juga penguatan faktor protektif, yakni kedekatan yang baik dengan orangtua atau pengasuh, dukungan sosial, lingkungan sekolah yang aman, dan sistem dukungan di masyarakat.

Ingatkan Soal Peran Keluarga dan Lingkungan bagi Perkembangan Karakter Anak 

Melalui film JUMBO, penonton dihadapkan pada realitas terhadap peran keluarga dan lingkungan bagi pengembangan karakter anak.

Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk membekali anak bukan hanya dengan apa yang mereka inginkan, tapi yang benar-benar mereka butuhkan.

“Orangtua perlu menyadari bahwa setiap hal yang dilakukan dalam proses pengasuhan, terutama di usia 0-5 tahun, bisa berdampak besar dan jangka panjang bagi masa depan anak,” terang Wulan.

Wulan menambahkan, anak membutuhkan bekal cinta dan kasih sayang yang tulus tanpa syarat, nilai-nilai kehidupan, dan panduan moral yang baik.

Kehadiran orangtua diperlukan untuk memberi arahan agar anak mampu mengenal dan mengatur emosi diri, serta mendapatkan ilmu dan wawasan yang luas.

“Dengan bekal-bekal itu, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang kuat, sehat, mandiri, dan siap menghadapi tantangan hidup,” tutup Wulan.

Read Entire Article
Helath | Pilkada |