Upayakan Pendidikan Lebih Baik untuk Peserta PPDS, Pengamat: Konsulen Harus Hadir

1 day ago 8

Liputan6.com, Jakarta - Kasus kekerasan di dunia pendidikan kedokteran marak terjadi. Perundungan oleh senior dalam bentuk kekerasan fisik hingga psikis seolah menjadi hal yang dianggap biasa.

Selain kasus bullying yang menimpa peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip), banyak kasus lain yang terjadi. Salah satu yang terbaru adalah kekerasan fisik yang diduga dilakukan konsulen pada residen PPDS dari Universitas Sriwijaya (Unsri), Sumatera Selatan.

Alih-alih ikut merundung, seorang konsulen sudah sepatutnya menjadi contoh profesional yang baik bagi peserta PPDS. Hal ini diaminkan pengamat manajemen kesehatan dr. Puspita Wijayanti, MMRS.

Menurutnya, konsulen tak hanya berperan sebagai guru tapi juga tauladan. Sayangnya, peran konsulen kerap digantikan oleh senior yang semakin membuka lebar potensi perundungan.

“Konsulen itu bukan hanya guru teknis, tapi role model profesionalisme. Sayangnya, peran ini sering digantikan oleh kakak tingkat yang juga sedang belajar, sehingga muncul rantai tekanan yang panjang,” kata Puspita kepada Health Liputan6.com, Selasa (22/4/2025).

“Kita butuh konsulen yang benar-benar hadir, mendidik dengan pendekatan andragogi (budi pekerti). bukan hanya mengarahkan, tapi juga mendampingi secara etis,” tambahnya.

Informasi yang satu ini bukan untuk menginspirasi siapapun. Seorang mahasiswi peserta program dokter spesialis atau PPDS Anestesi di RSUP Kariadi Semarang ditemukan meninggal dunia, diduga bunuh diri di kamar kosnya.

Peran Konsulen Menurut Menkes Budi

Peran konsulen juga sempat dibahas oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat menekankan perlunya perbaikan yang serius di rumah sakit pendidikan.

“Memang harus ada perbaikan yang serius di rumah sakit pendidikan, PPDS ini saat belajar memang harus diawasi oleh gurunya. Jadi, tidak boleh dia dilepas begitu saja, nanti kami akan perketat,” kata Budi yang hadir secara daring dalam temu media di gedung Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Jakarta, Senin (21/4/2025).

Dia menambahkan, para peserta PPDS kerap diarahkan oleh senior, bukan konsulen. Sementara di banyak negara lain, PPDS diajarkan langsung oleh konsulen yang merupakan dokter spesialis profesional.

Perbaiki Cara Kerja Dokter

Budi pun menemukan, di banyak rumah sakit di Indonesia, pekerjaan dokter anestesi dapat dilakukan langsung oleh PPDS anestesi, yang mana mereka masih dalam tahap belajar untuk menjadi spesialis anestesi.

“Ini sangat buruk untuk patient safety (keamanan pasien) dan kejadian ini terjadi, saya serius akan memperbaiki cara kerja dokter-dokter anestesi,” ucapnya.

Budi juga menerangkan, di berbagai negara dokter anestesi bekerja dengan memerhatikan keamanan pasien. Dokter anestesi terus mendampingi pasien sejak disuntikkannya obat bius hingga selesai operasi.

“Di seluruh dunia, demi keamanan pasien, sejak pasien masuk ke ruang operasi sampai keluar itu dokter anestesinya harus selalu ada di situ. Karena ya kalau terjadi apa-apa pasiennya bisa celaka.”

Sayangnya, di Indonesia tidak demikian. Ketika pasien sudah tak sadar, dokter malah keluar.

“Di Indonesia ternyata praktiknya banyak yang keluar, begitu sudah tidur langsung keluar itu dokter anestesinya. Jadi praktik-praktik seperti ini sangat berbahaya dan tidak memenuhi standar best practices,” ucap Budi.

Hal ini ia temukan saat melakukan pembekuan sementara pada Prodi Anestesi RS Kariadi dan RSHS.

“Dan saya dengar ini terjadi hampir di seluruh rumah sakit pendidikan. Jadi yang mengerjakan pekerjaan dokter anestesi adalah PPDS-nya, adalah muridnya, jadi sangat berbahaya. Jadi saya akan sangat serius memperbaiki pengawasannya,” kata Budi.

Soal Keamanan Pasien

Terkait keamanan pasien, Puspita menyampaikan bahwa pasien hanya akan aman jika orang yang merawatnya merasa aman.

“Pasien hanya aman kalau orang yang merawatnya juga merasa aman. Artinya, keamanan kerja tenaga kesehatan itu bagian dari sistem mutu pelayanan. Rumah sakit perlu menjamin ruang kerja yang bebas dari intimidasi, pelecehan, dan overwork,” kata Puspita.

Dia menekankan, dalam melahirkan dokter dengan kualitas tinggi, maka sistem kerja dan pendidikannya harus manusiawi.

“Di dunia medis, burnout bukan cuma soal kesejahteraan sumber daya manusia (SDM). Itu juga soal keselamatan nyawa. Jika kita ingin melahirkan dokter yang mampu merawat manusia dengan utuh, maka sistemnya juga harus manusiawi. Kekerasan tidak pernah layak disebut sebagai bagian dari pendidikan,” pungkasnya.

Read Entire Article
Helath | Pilkada |