Liputan6.com, Jakarta Korban keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) umumnya adalah anak-anak. Hal ini memicu keprihatinan berbagai pihak termasuk Aliansi Perempuan Indonesia (API).
Aliansi ini menilai, program yang seharusnya menjamin hak anak atas gizi, kesehatan, dan kesejahteraan, justru menimbulkan bahaya serius karena lemahnya perencanaan, pengawasan, dan standar pelaksanaan di lapangan.
“Meski Presiden Prabowo telah memanggil sejumlah menteri dan Pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Percepatan Penerbitan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) untuk Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) pada Program MBG, namun kami berposisi bahwa Program MBG ini harus dihentikan, bukan disempurnakan,” mengutip keterangan resmi API, Kamis (9/10/2025).
“Kami menilai, kebijakan MBG terlalu dipaksakan dan terkesan terburu-buru dijalankan tanpa kesiapan infrastruktur, tenaga pendukung, dan sistem pengawasan mutu yang memadai. Akibatnya, anak-anak yang seharusnya dilindungi, malah menjadi korban kebijakan yang ceroboh.”
Berdasarkan temuan di lapangan, menu MBG jauh dari standar makanan bergizi. Alih-alih menyediakan pangan lokal bergizi, MBG justru menyediakan menu burger hingga spaghetti atau makanan olahan lainnya yang jauh dari kata sehat atau bergizi.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana mengatakan, menu itu disajikan supaya anak-anak tidak bosan.
“Dalih ini justru menandakan bahwa penyelenggara MBG tidak peduli, abai dan ceroboh dalam memenuhi gizi anak-anak. MBG sudah tidak berfokus pada pemenuhan gizi anak dengan disajikannya makan-makanan nir gizi dan bahkan beracun,” kata API.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi akan segera memanggil kepala program Makan Bergizi Gratis (MBG) tingkat Jawa Barat buntut kasus keracunan massal yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat. Pertemuan tersebut rencananya akan dilakukan bersama pihak terk...
Makanan Rendah Gizi dalam MBG
Menu MBG di Tangerang Selatan juga sempat berisi makanan rendah gizi dan sarat gula. Seperti biskuit, roti cokelat, susu cokelat kemasan, minuman sereal rasa vanila, snack kentang, kacang atom, dan kacang kulit.
Temuan terkait rendahnya gizi menu MBG mengundang polemik dan saling lempar tanggung jawab antara BGN dan SPPG. Sementara, pemerintah daerah setempat mengeluhkan ketiadaan koordinasi antara pelaksana MBG dengan perangkat pemerintah daerah setempat. Sehingga, ketika keracunan melanda, pemerintah daerah mengaku kesulitan menangani dengan sigap.
Selain itu, mekanisme penyelenggaraan MBG dinilai tidak transparan dan tertutup sehingga Pemerintah Daerah kesulitan berkoordinasi. Mekanisme yang tidak akuntabel ini memperparah kondisi darurat keracunan MBG di berbagai tempat.
Ditangani Oleh yang Bukan Ahlinya
API melihat, salah satu akar persoalan carut marutnya pelaksanaan MBG adalah dikuasainya struktur BGN oleh purnawirawan militer, bukan ahli gizi.
BGN sendiri dibentuk melalui Perpres No.83, Tahun 2024 sebagai lembaga pelaksana teknis dalam melaksanakan pemenuhan gizi nasional seperti koordinasi, pengawasan, penyediaan dan penyaluran gizi. Namun, dengan meletakkan purnawirawan militer yang awam terkait gizi dan memiliki gaya kepemimpinan militeristik, maka keputusan yang diambil tidak berbasis data lapangan.
“Artinya, keputusan diambil secara top down tanpa mendengar dan mempertimbangkan situasi di lapangan atau melalui diskusi dengan pelaku lapangan, apalagi para ahli gizi.”
Tuntutan Aliansi Perempuan Indonesia
Aliansi Perempuan Indonesia menuntut:
- Hentikan program MBG secara nasional sampai ada evaluasi menyeluruh atas sistem, mekanisme distribusi, dan standar mutu gizi serta keamanan pangan.
- Bentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki kasus-kasus jatuhnya korban anak, serta tindak tegas pihak-pihak yang bertanggung jawab.
- Libatkan organisasi masyarakat sipil, tenaga kesehatan, dan komunitas perempuan dalam penyusunan ulang kebijakan agar program gizi untuk anak benar-benar aman, bermutu, dan berpihak pada kepentingan terbaik anak.
- Alihkan sementara anggaran MBG untuk memperkuat fasilitas sekolah, layanan kesehatan anak, dan dukungan gizi berbasis keluarga serta komunitas.
“Kami menegaskan bahwa hak atas gizi dan kesehatan tidak boleh dijadikan eksperimen politik. Anak-anak Indonesia bukan objek coba-coba kebijakan, melainkan generasi penerus bangsa yang wajib dijamin hak hidup dan tumbuh kembangnya.”