Liputan6.com, Tangerang Seorang dengan masalah obesitas, terlebih dia adalah perokok, ternyata memiliki resiko besar untuk mengalami hernia nukleus pulposus (HNP) atau saraf kejepit pada tulang belakang, yang menjalar hingga ke pinggang, paha dan kaki.
Saraf kejepit adalah kondisi saat saraf mengalami penekanan oleh jaringan sekitarnya, seperti tendon, ligamen, otot, tulang, tulang rawan, atau jaringan lunak abnormal seperti tumor. Lalu, saraf kejepit banyak macamnya, tergantung dimana letaknya.
Misalnya saja pada kasus HNP (Hernia Nukleus Pulposus), bantalan atau cakram yang berada di antara tulang belakang (soft gel disc atau nucleus pulposus), keluar dari cincinnya, dari posisi semula atau robek dan menjepit cabang saraf di sekitarnya. Namun, kebanyakan orang menyebut HNP dengan saraf kejepit.
Jika sudah terkena saraf kejepit, rasanya akan linu, baal dan sakit yang menjalar mulai dari pinggang, bokong, menjalar ke kaki, bisa sampai ke telapak.
Dokter spesialis ortopedi konsultan tulang belakang Jephtah Tobing dari Siloam Hospital Lippo Village menjelaskan, ada beberapa faktor risiko yang bisa menyebabkan seseorang mengalami HNP.
"Ada beberapa faktor risiko, yang pertama kegemukan atau obesitas. Jadi mulai sekarang harus mencari tahu sendiri berapa berat badan ideal, sesuai dengan tinggi badan dan usia," kata Jephtah.
Perokok dan Si Mager
Faktor risiko kedua yakni perokok. Bila perokok terkena HNP kemudian dioperasi, maka pasca-operasi penangananya akan lebih lama daripada bukan perokok.
"Pasien-pasien perokok kalau dioperasi, hasilnya akan selalu lebih jelek. Karena pembuluh darahnya sudah terganggu, padahal pembuluh darah itu yang mengantarkan nutrisi ke daerah cidera, jadi kalau jalan tolnya saja sudah terganggu, nutrisinya enggak nyampe," ungkap Jephtah.
Faktor risiko ketiga bagi yang jarang berolahraga. Menurut Jephtah, olahraga rutin bukanlah pilihan melainkan keharusan untuk melatih otot. Kenapa begitu? Sebab, penopang tulang manusia itu adalah otot, sehingga harus dibangun masa ototnya.
"Padahal yang menjaga tulang belakang itu ada peran otot perut, sekarang yang jadi permasalahan adalah masyarakat kurang melatih otot perutnya," tuturnya.
Kapan Mulai Waspada Jika Tulang Belakang Dirasa Bermasalah?
Jephtah pun mengungkapkan, nyeri pada tulang belakang bukan melulu karena HNP ataupun penyakit kronis lainnya. Sebab, 97 persen diantaranya karena permasalahan otot.
Namun, nyeri-nyeri pada punggung bisa jadi itu adalah sinyal tubuh untuk memberi tahu kalau badan ada masalah. Seperti kelamaan duduk, kurang aktifitas fisik, hingga dipicu melakukan aktifitas di luar kebiasaan.
"Misal, mengangkat beban berat, lalu salah posisi melangkah atau memuter badan. Itu bisa jadi membuat HNP,"katanya.
Jika sudah dirasa ada masalah dalam tulang punggung, sebaiknya segera datangi dokter ortopedi terdekat, untuk mendapat penanganan. Sebab, kalau penanganan cepat dan tepat, pengobatan HNP tidak melulu harus berakhir di meja operasi.
"Bisa dengan obat dan fisioterapi. Rutin dan dilakukan juga di rumah, hindari larangannya, maka hitungan bulan bisa sembuh," katanya.
Kenalkan Penanganan Biportal Endoscopic Spine Surgery (BESS)
Di kesempatan yang sama, Siloam Hospitals Lippo Village memperkenalkam perawatan tulang belakang dengan memperkenalkan Biportal Endoscopic Spine Surgery (BESS), sebuah metode operasi minimal invasif yang canggih untuk mengatasi masalah tulang belakang.
Menurut Jephtah, prosedur ini menawarkan solusi inovatif bagi pasien dengan waktu pemulihan yang lebih singkat dan ketidaknyamanan yang minimal.
BESS ini dianggap telah merevolusi prosedur bedah tulang belakang, menggunakan pendekatan minimal invasif untuk menangani kondisi seperti hernia nukleus pulposus, stenosis atau penyempitan lubang saraf di tulang belakang, dan gangguan penuaan tulang belakang lainnya.
"Tidak seperti operasi tulang belakang konvensional yang memerlukan sayatan besar, BESS hanya memerlukan dua sayatan kecil seukuran lubang kunci, yang memungkinkan dokter bedah memasukkan alat endoskopi khusus untuk menargetkan dan mengobati area yang terkena dengan presisi," katanya.
Lalu, pasien juga mengalami rasa sakit yang lebih sedikit pascaoperasi, waktu pemulihan yang lebih cepat, dan masa rawat inap yang lebih singkat. Sifat minimal invasif dari prosedur ini juga mengurangi risiko yang terkait dengan operasi tulang belakang konvensional.