[Kolom Pakar] Dr Ray Wagiu Basrowi: Dualitas Jiwa Raga untuk Keadilan Sosial ODHIV di Indonesia

1 day ago 5

Liputan6.com, Jakarta - Sejatinya, tema 'Hak Setara untuk Semua, Bersama Kita Bisa' pada peringatan Hari AIDS Sedunia tahun ini tidak hanya soal akses universal terhadap layanan kesehatan. Maknanya juga menyentuh inti persoalan kemanusiaan, yaitu kesetaraan dalam martabat dan hak untuk hidup sehat, baik fisik maupun mental.

Tema kesetaraan ini menyasar langsung tentang keadilan distributif pada tingkat komunitas. Seperti argumen filsuf John Rawls, keadilan sosial harus memastikan distribusi sumber daya, termasuk layanan kesehatan, dengan memperhatikan kebutuhan individu yang paling rentan.

Orang yang hidup dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau ODHIV di Indonesia jelas masih berada dalam kelompok rentan dan marginal. Mereka rentan menghadapi stigma, diskriminasi, dan tentu saja termarginalkan akibat keterbatasan akses ke layanan kesehatan.

Kesetaraan dalam konteks ini berarti memberikan teman-teman ODHIV hak yang sama seperti seluruh rakyat Indonesia, tak hanya untuk mendapatkan pengobatan antiretroviral (ARV), tapi juga dukungan psikososial dan perlindungan dari stigma. Ini bukan hanya persoalan medis, tapi juga hak asasi manusia yang mendalam.

Namun, narasi terkait stigma sosial terhadap ODHIV masih menjadi dimensi yang terlupakan, padahal sering kali berdampak serius terhadap kesehatan jiwa mereka. Bisa kita refleksikan bersama, seberapa banyak teman-teman ODHIV di tanah air yang dengan kepala tegak mampu membuka status HIV positifnya ke publik? Hanya sedikit sekali, bukan?

Ini karena paradoks moralitas dan ketidaktahuan yang sedemikian kental di negeri ini. Masyarakat Indonesia masih mengaitkan HIV/AIDS dengan perilaku 'menyimpang' seperti penggunaan narkoba, hubungan seksual tidak sesuai kodrat, atau di luar nikah.

Ironisnya, meskipun masyarakat kita sangat religius dan beradab, masih banyak yang dengan cepat menghakimi ODHIV tanpa memahami kompleksitas penularan penyakit ini. Menurut data Kementerian Kesehatan, hingga Juni 2024 terdapat 543.100 ODHIV di Indonesia. Namun, stigma yang melekat membuat banyak dari mereka enggan mencari pengobatan atau dukungan sosial.

Studi Universitas Airlangga pada tahun 2019 membuktikan bahwa rendahnya tingkat keterbukaan ODHIV mengenai status mereka disebabkan oleh potensi stigma dan risiko diskriminasi dari keluarga serta lingkungan terdekat. Bahkan, penelitian ini menunjukkan bahwa risiko diskriminasi bisa mencapai 68 persen!

UNAIDS (2023) mencatat lebih dari 50 persen ODHIV mengalami depresi dan kecemasan. Survei ini menyebutkan penyebab utamanya adalah ketakutan akan stigma, diskriminasi, keterasingan, dan keputusasaan terhadap ancaman eksistensi di komunitasnya.

Kondisi Dilematis

Stigma sosial menjadi semakin kronis karena pilihannya tidak pernah mudah. Ketika membuka diri, konsekuensi keterasingan adalah keniscayaan. Sebaliknya, bila tetap memilih tertutup, maka ancaman emotional distress meningkat signifikan.

Studi longitudinal berbasis Puskesmas yang didanai USAID (2021) menunjukkan bahwa sekitar 40–50 persen pasien yang tidak mengungkapkan status HIV mereka terdiagnosis depresi sedang hingga berat, jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat prevalensi depresi pada populasi umum!

Dampak Kejiwaan

Individu ODHIV yang juga menderita gangguan kesehatan jiwa menghadapi hambatan ganda, yaitu virus yang siap menyerang imunitas sewaktu-waktu dan stigma yang menghancurkan mental mereka. Depresi dan kecemasan akibat kurangnya keterbukaan berdampak negatif pada tingkat keberhasilan terapi.

Mekanisme psikologisnya sangat jelas. Individu yang khawatir akan reaksi negatif dari orang lain jika ketahuan status penyakitnya akan memicu isolasi sosial, rasa kesepian, dan tekanan emosional konstan. Tekanan emosional ini bermanifestasi dalam gejala fisik, seperti sakit kepala atau kelelahan, hingga memunculkan gejala psikosomatis.

Di tahap ini saja, besaran masalah kesehatan jiwa seorang ODHIV sudah bereplikasi berlipat ganda, yang semakin memperburuk kondisinya. Studi di Journal of Affective Disorders (2018) menunjukkan bahwa isolasi sosial meningkatkan risiko depresi hingga dua kali lipat pada pasien dengan penyakit kronis, termasuk orang dengan HIV yang terkontrol sekalipun.

Hambatan Akses dan Diskriminasi

Stigma terhadap ODHIV juga berdampak pada layanan kesehatan. Penelitian di Bangka Belitung menemukan bahwa adanya stigma terhadap status HIV berhubungan signifikan dengan terhambatnya akses pelayanan kesehatan, bahkan meningkatkan risiko kegagalan terapi ARV hingga 4 kali lipat.

Di dunia kerja, diskriminasi semakin jelas terlihat. Survei Prodi Kedokteran Kerja FKUI menunjukkan 40 persen ODHIV menghadapi risiko diskriminasi di tempat kerja, mulai dari kehilangan pekerjaan hingga pengucilan sosial.

Stigma dan diskriminasi juga sering terjadi di lingkungan keluarga dan masyarakat. ODHIV seringkali dikucilkan, bahkan oleh orang-orang terdekat mereka, sehingga kehilangan dukungan sosial yang sangat mereka butuhkan. Kondisi ini sangat nyata dan memprihatinkan.

Sungguh menyedihkan melihat pemberitaan tentang sejumlah ODHIV di Probolinggo yang terpaksa hidup bersama di rumah singgah, atau inisiatif mulia dari Welhelminus Eduardus yang menyediakan tempat tinggal bagi ODHIV yang terusir dari kampungnya. Bahkan, dalam sebuah artikel di sebuah situs berita pada Hari AIDS beberapa tahun lalu, diceritakan tentang rumah perlindungan bagi anak-anak dengan HIV di Sukabumi, Medan, dan Ternate yang kondisinya jauh dari layak.

Dalam konteks kebangsaan, ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip keadilan distributif, yang seharusnya memastikan mereka yang paling membutuhkan mendapat perhatian lebih besar. Secara emosional, bangsa ini sedang membiarkan rakyatnya yang terstigma terluka, tanpa memberikan uluran tangan untuk membantu mereka bangkit.

Kedokteran Komunitas dan Pendekatan Solutif

Dari perspektif kedokteran komunitas, pentingnya pendekatan berbasis masyarakat (community-based approach) untuk menangani stigma dan dampaknya terhadap kesehatan jiwa ODHIV sangat jelas.

Kedokteran komunitas berlandaskan pada dua prinsip utama, yaitu kesetaraan (equity) dan pemberdayaan (empowerment) Kedua prinsip ini sangat tercermin dalam dua target global pengendalian HIV/AIDS, yaitu Triple Elimination dan Three Zeros yang ditargetkan tercapai pada 2030.

Triple Elimination bertujuan untuk menghilangkan penularan HIV, sifilis, dan hepatitis B demi mencapai generasi bebas dari penyakit menular. Sedangkan Three Zeros adalah kerangka kerja UNAIDS untuk memberantas HIV/AIDS secara global, dengan fokus pada 'nol infeksi baru', 'nol kematian terkait AIDS', dan 'nol diskriminasi'.

Namun, sejumlah kajian pesimistis memprediksi bahwa Indonesia akan kesulitan mencapai target global ini. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI (2022), Indonesia mencatatkan 27.233 kasus baru HIV pada tahun 2021, dengan kelompok rentan seperti pekerja seks, pengguna narkoba suntik, dan kelompok LGBT+ menjadi yang paling terstigma.

Stigma ini menyebabkan mereka merasa malu untuk melakukan tes, enggan diketahui mengonsumsi ARV, dan kekurangan dukungan psikososial, yang pada gilirannya berisiko menggagalkan upaya mencapai 'nol kasus baru' dan 'nol kematian terkait AIDS', karena diskriminasi masih ada.

Promosi Kesehatan yang Mendasar

Promosi kesehatan dan edukasi yang mendasar tentang HIV/AIDS adalah langkah penting yang harus terus digalakkan. Meskipun memerlukan waktu yang panjang untuk mengubah pandangan masyarakat yang menganggap HIV sebagai 'penyakit moral', kita perlu menekankan bahwa HIV adalah kondisi medis yang kompleks dan dapat dikontrol.

Media massa dan media sosial seharusnya menjadi sumber informasi yang akurat. Namun, perlu ada regulasi yang memastikan bahwa media tidak justru memperkuat stigma dengan pemberitaan sensasional yang kurang edukatif. Banyak influencer di media sosial yang lebih memilih mengejar popularitas dengan menampilkan ODHIV sebagai sosok yang patut dijauhi, alih-alih memberikan pencerahan yang bermanfaat.

Memperkuat kebijakan anti-diskriminasi sangat penting, salah satunya dengan memastikan penerapan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara ketat, untuk melindungi ODHIV dari perlakuan diskriminatif di berbagai sektor kehidupan.

Peraturan yang tegas, meskipun tampak radikal, terbukti efektif dalam mengubah persepsi sosial, seperti halnya dalam mengatasi perundungan. Penegakan hukum terhadap tindakan stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV dapat memberikan dampak yang positif.

Pada akhirnya, semangat kesetaraan yang bebas stigma terhadap ODHIV bukan hanya tentang keberpihakan pada isu kesehatan spesifik, melainkan tentang mempertahankan martabat manusia yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Paradigma dualitas jiwa dan raga yang sehat adalah hak universal setiap individu. Hari AIDS Sedunia menjadi kesempatan untuk menegaskan bahwa perjuangan melawan HIV/AIDS di Indonesia harus bermuara pada keadilan sosial, kesetaraan, dan tidak ada yang tertinggal.

Penulis: Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH (@ray.w.basrowi)

Peneliti dan Pendiri Health Collaborative Center (HCC), Inisiator Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa (Kaukus Keswa), Wakil Ketua Kemitraan Indonesia Sehat.

Petugas dari Pusat Kesehatan Masyarakat menyuntikkan vaksin Difteri Tetanus (DT) kepada murid kelas 5 Sekolah Dasar Islam Al Hidayah Cinere, Depok, Jawa Barat, Rabu (20/11/24). (merdeka.com/Arie Basuki)
Read Entire Article
Helath | Pilkada |