Menkes Mau Latih Tukang Gigi karena Krisis Dokter Gigi, PDGI: Mereka Bukan Tenaga Medis

2 days ago 11

Liputan6.com, Jakarta - Hasil Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang dilakukan pemerintah menunjukkan bahwa keluhan terbanyak masyarakat Indonesia berasal dari masalah gigi. Hal ini mengungkap betapa pentingnya peran dokter gigi dalam sistem layanan kesehatan, terutama karena jumlah tenaga profesional ini masih sangat terbatas.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI), Budi Gunadi Sadikin, dalam kunjungannya ke Solo, Jawa Tengah, pekan lalu, menyatakan keheranannya atas tingginya angka keluhan gigi.

"Nomor satu ternyata gigi," kata Menkes Budi sambil mengungkap fakta mengejutkan bahwa 50 persen puskesmas di Indonesia tidak memiliki dokter gigi yang memberikan pelayanan langsung.

Kondisi ini berdampak pada semakin tingginya kebutuhan akan layanan kesehatan gigi. Namun, ironisnya justru memunculkan wacana alternatif, yaitu melibatkan tukang gigi untuk menjembatani kekurangan tenaga profesional.

Menkes Budi menyebut sedang berdiskusi dengan institusi pendidikan kedokteran gigi, bahkan mempertimbangkan pelatihan keterampilan bagi tukang gigi agar dapat berkontribusi dalam pelayanan.

"Saya lagi ngomong sama kedokteran gigi. Ternyata, dokter gigi ini sekolahnya mahal, sekolahnya susah. Maka kami lobi supaya lebih banyak lagi. Kalau nggak, mendidik tukang gigi agar bisa ditingkatkan skill-nya," katanya.

Pernyataan ini langsung memantik reaksi dari Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI). Ketua Umum PB PDGI, Usman Sumantri, menekankan pentingnya menempatkan peran tukang gigi secara tepat dalam sistem kesehatan, tanpa mengorbankan standar keselamatan pasien yang menjadi tanggung jawab utama dokter gigi.

"Apakah pernyataan ini betul-betul disadari atau hanya slip tongue, PB PDGI yang mewadahi seluruh dokter gigi Indonesia memandang hal ini penting dan menarik untuk menjadi pembahasan bagaimana memposisikan tukang gigi di dalam pelayanan kesehatan gigi di Indonesia," kata Usman dalam temu media di Kantor PDGI, Jakarta, Selasa, 15 April 2025.

Sebagian orang mempunyai kebiasaan dalam menyikat gigi. Nah, kamu tim yang mana?

Tugas Dokter Gigi Tidak Seperti Tukang Gigi

Menurut Usman, kekurangan dokter gigi memang menjadi masalah serius, terutama di wilayah terpencil, kepulauan, dan perbatasan. Namun, menggantikan peran mereka dengan tukang gigi tanpa pendidikan medis formal justru bisa menurunkan kualitas pelayanan kesehatan gigi dan mulut secara keseluruhan.

Usman menegaskan bahwa menjadi dokter gigi tidak sekadar mampu mencabut gigi atau membuat gigi palsu. Profesi ini membutuhkan pendidikan tinggi, pelatihan klinis intensif, serta penguasaan ilmu medis seperti anatomi dan patologi yang tidak dimiliki oleh tukang gigi.

Dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 disebutkan bahwa hanya tenaga medis resmi yang memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) yang diperbolehkan memberikan layanan kesehatan. Jika tukang gigi melakukan praktik medis, hal tersebut termasuk pelanggaran hukum dan berisiko menimbulkan dampak buruk bagi keselamatan pasien.

"Pelanggaran terhadap ketentuan ini tidak hanya merugikan pasien, tetapi juga berpotensi dipidana. PB PDGI menegaskan bahwa memperbolehkan pihak non-profesional menjalankan praktik medis adalah tindakan yang melanggar hukum dan berisiko besar terhadap keselamatan masyarakat," tambah Usman.

Tukang Gigi Bukan Tenaga Medis

Lebih lanjut, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 39 Tahun 2014, tukang gigi hanya diizinkan membuat dan memasang gigi tiruan lepasan sederhana. Mereka bukan tenaga kesehatan resmi dan tidak memiliki latar belakang pendidikan kedokteran gigi, sehingga tidak diperkenankan melakukan tindakan medis.

PB PDGI menilai bahwa memperluas kewenangan tukang gigi untuk masuk ke ranah praktik medis bukanlah solusi, melainkan langkah mundur yang berpotensi membahayakan masyarakat. Peran dokter gigi tetap tak tergantikan dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut secara holistik.

Kesehatan gigi dan mulut, menurut Usman, tidak bisa dianggap sebagai isu sepele. Bahkan, kini terbukti secara ilmiah bahwa penyakit gigi berkaitan erat dengan penyakit sistemik lain seperti diabetes, penyakit jantung, hingga risiko kehamilan. Di sinilah letak pentingnya kehadiran dokter gigi dalam sistem kesehatan nasional.

Masalah Gigi di Indonesia

Fakta bahwa 57,6 persen penduduk Indonesia mengalami masalah gigi dan mulut. Namun, hanya 10,2 persen yang menerima layanan dari dokter gigi, menunjukkan adanya kesenjangan besar dalam akses terhadap pelayanan kesehatan gigi.

Peran tukang gigi, meski berkontribusi dalam masyarakat, tidak bisa dijadikan pengganti untuk solusi jangka panjang.

"Masalah kekurangan tenaga dokter gigi memang nyata. Saat ini, Indonesia kekurangan lebih dari 10.000 dokter gigi. Dari 32 fakultas kedokteran gigi yang aktif, hanya sekitar 2.650 lulusan dihasilkan per tahun," ujar Usman.

Bahkan, enam fakultas baru belum menghasilkan satu pun lulusan. Hal ini memperlihatkan bahwa solusi terhadap krisis ini harus dimulai dari peningkatan kapasitas pendidikan dokter gigi, bukan mengandalkan tukang gigi.

Distribusi tenaga medis juga menjadi tantangan besar. Satu dokter gigi umum rata-rata melayani lebih dari 5.000 penduduk, sedangkan untuk dokter gigi spesialis, angkanya bisa mencapai 55.000 penduduk. Di daerah terpencil, kehadiran tukang gigi memang masih ada, namun tetap harus dibatasi sesuai regulasi agar keselamatan masyarakat tidak dikompromikan.

Wujudkan Revolusi Kesehatan Gigi Nasional

Lebih lanjut, PB PDGI mengajak Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mewujudkan Revolusi Kesehatan Gigi Nasional untuk bersama-sama mengakselerasi integrasi dimensi oral health dalam kebijakan kesehatan nasional.

Dengan sinergi yang kuat, kesehatan gigi bisa menjadi entry point penguatan layanan primer yang lebih menyeluruh dan berdampak luas.

PB PDGI mengusulkan model integrasi yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada skrining, tapi juga pemberdayaan masyarakat melalui:

  • Peningkatan literasi kesehatan gigi dan mulut dengan pendekatan berbasis komunitas, bekerja sama dengan kader, perawat gigi, dan bidan.
  • Penugasan strategis dokter gigi pasca-internship di daerah prioritas dengan insentif dan jaminan karier.
  • Pemanfaatan teledentistry dan teknologi digital untuk menjangkau masyarakat terpencil secara efisien.
  • Menambah kuota dan fasilitas pendidikan dokter gigi spesialis dan meningkatkan kapasitas pendidikan kedokteran gigi dan mempercepat moratorium pembukaan FKG baru (sudah dilakukan moratorium oleh pemerintah).
  • Pendidikan berkelanjutan dan redistribusi tenaga spesialis secara adil dan berbasis kebutuhan.
  • Pelaksanaan SIP yang berbasis data kebutuhan tenaga kesehatan, seperti diatur dalam Pasal 263 UU No. 17/2023.
  • Pelatihan dasar promotif-preventif bagi kader dan tenaga pendukung, dengan pengawasan dokter gigi untuk memperluas jangkauan tanpa mengorbankan mutu.
  • Program pendidikan berkelanjutan, menyelenggarakan program pendidikan berkelanjutan untuk meningkatkan kompetensi dokter gigi yang sudah ada dengan kewenangan tambahan hanya pada daerah-daerah yang belum ada dokter gigi spesialis.
  • Dengan solusi yang berbasis regulasi, bukannya kompromi terhadap mutu, PB PDGI yakin pelayanan kesehatan gigi yang berkualitas dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, tanpa harus mengorbankan keselamatan pasien.

"Tukang gigi adalah bagian dari sejarah sosial kita, tapi bukan jawaban atas kebutuhan pelayanan kesehatan yang profesional. Jangan biarkan masyarakat menerima layanan setengah matang hanya karena alasan pragmatisme," tutup Usman.

Read Entire Article
Helath | Pilkada |