Saat Ketulusan Dipermainkan, Kenapa Sering Tertipu Oleh Orang Tersayang?

1 day ago 8

Liputan6.com, Jakarta - Tak sedikit dari kita yang merasa kesulitan untuk mengenali, atau bahkan menerima, bahwa kita telah dimanfaatkan oleh orang yang tidak tulus.

Padahal, ketulusan adalah salah satu kualitas penting dalam membangun hubungan dan menjaga kepercayaan.

Uniknya, ketidaktulusan justru lebih mudah dikenali dalam interaksi yang dangkal. Misalnya, ketika kita menyapa rekan kerja di lift dengan kalimat, “Hai, apa kabar?”—itu adalah bentuk kesopanan yang sudah menjadi pelumas sosial. Meski terdengar tidak tulus, sapaan semacam itu telah diterima sebagai norma dalam pergaulan sehari-hari.

Namun, ceritanya menjadi jauh lebih rumit saat ketidaktulusan muncul dalam hubungan yang lebih dalam dan bermakna. Dalam hubungan pribadi yang substansial, mengenali ketidaktulusan bukan lagi perkara sederhana.

Dalam artikel di Psychology Today, dua pengajar dari Keck School of Medicine, University of Southern California, Shoba Sreenivasan, Ph.D., dan Linda E. Weinberger, Ph.D., menulis:

“Orang yang mahir menipu akan tampak sangat meyakinkan bahwa mereka tulus dan peduli. Bahwa mereka adalah orang baik yang mengutamakan kepentingan orang lain. Mereka juga bisa sangat manipulatif—menggunakan sanjungan untuk menangkis kritik atau memanfaatkan simpati agar terhindar dari tanggung jawab.”

Menurut kedua pakar tersebut, kemampuan manipulatif ini adalah jebakan yang ditujukan kepada individu yang mudah percaya.

Untuk menghadapinya, mereka menekankan pentingnya mengenali titik buta psikologis dalam diri kita.

“Kebutuhan psikologis kita untuk percaya bahwa hubungan yang kita miliki adalah nyata dapat menghambat kemampuan kita mendeteksi ketidaktulusan,” ungkap keduanya.

Muncul dalam Hubungan dengan Orang Terdekat

Umumnya, titik buta ini muncul dalam hubungan dengan orang-orang yang kita yakini mencintai kita—pasangan, sahabat, orangtua, anak, atau rekan dekat.

“Kita berasumsi, bahkan membutuhkannya, bahwa orang-orang penting dalam hidup kita bersikap tulus. Namun kenyataannya, ada hubungan yang tampak dekat, tapi sejatinya tidak tulus.”

Dari semua jenis relasi, menurut mereka, titik buta psikologis paling kuat biasanya muncul dalam hubungan romantis. Banyak orang kesulitan mengenali—apalagi menerima—bahwa mereka sedang dimanfaatkan oleh orang yang mereka cintai dan percayai.

Contohnya, meski secara teori kita tahu bahwa tindakan lebih penting daripada kata-kata, saat orang terdekat bersikap tidak konsisten, kita justru cenderung mencari-cari alasan untuk memakluminya.

“Kita menerima tanpa pertimbangan yang matang mengapa mereka tidak menepati kata-katanya. Padahal, hubungan yang tidak jujur bukan membangun, melainkan mengeksploitasi,” tulis mereka.

Kenali Elemen Titik Buta Psikologis Diri

Ada beberapa elemen titik buta psikologis yang bisa menghambat kita mengenali ketidakjujuran dalam hubungan, antara lain:

  • Tingkat toleransi tinggi terhadap alasan
  • Terlalu murah hati terhadap kesalahan dan kekurangan orang lain
  • Takut menghadapi kenyataan dan takut ditinggalkan
  • Menolak menerima bahwa orang tersebut tidak jujur, meski banyak bukti
  • Meragukan insting sendiri karena orang tersebut terlihat meyakinkan
  • Kurang percaya diri dan mempertanyakan penilaian pribadi
  • Takut terlihat konyol jika mengkonfrontasi ketidakkonsistenan

Singkirkan Titik Buta Psikologis

Jika kita tidak menyadari ketidaktulusan seseorang yang kita sayangi, bagaimana mungkin kita bisa tahu kapan kita sedang dipermainkan? Kepalsuan atau tipu daya adalah tanda utama bahwa suatu hubungan tidak tulus.

Dalam penelitian oleh Jones dan Paulhus (2017), disebutkan adanya tingkatan dalam ketidakjujuran. Di ujung ekstremnya ada yang disebut Dark Triad atau "tiga serangkai gelap": narsisme patologis (fokus diri yang intens), Machiavellianisme (motivasi eksploitatif dalam hubungan interpersonal), dan psikopati (tipu daya kronis dan kurang empati).

Sayangnya, terkadang kita memang harus “tersandung” dulu untuk bisa mengenali dan menyingkirkan kebutaan ini.

"Sekolah kehidupan semacam ini memang menyakitkan. Namun, proses belajar bisa dipercepat melalui refleksi, seperti yang biasa dilakukan dalam dunia profesional melalui post-action review—evaluasi mendalam atas apa yang berjalan salah dalam sebuah proyek."

Dengan cara yang sama, melakukan evaluasi diri secara jujur terhadap hubungan kita bisa membantu menyadari pola yang tidak sehat—dan keluar dari lingkaran manipulasi yang menyamar dalam kemasan ketulusan.

Read Entire Article
Helath | Pilkada |