Liputan6.com, Jakarta - Kasus kekerasan seksual yang dilakukan dokter residen peserta didik PPDS anestesi di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad) di Jawa Barat belum usai, muncul kasus lain, kali ini melibatkan dokter kandungan yang diduga melakukan tindakan asusila terhadap pasien. Kebetulan, kasus juga terjadi di Jawa Barat, namun terjadi di Garut.
Kasus dugaan pelecehan yang dilakukan dokter kandungan di Garut terkuak karena sebuah unggahan narasi yang dilengkapi video rekaman CCTV di media sosial. Kedua kasus yang melibatkan oknum dokter tersebut sama-sama menggegerkan publik. Pihak kepolisian pun langsung bergerak.
Polda Jawa Barat mengungkap, dokter spesialis kandungan terduga pelaku pelecehan telah ditangkap oleh aparat penegak hukum setempat.
"Sudah diamankan dan ditangani oleh Polres Garut," tutur Dirreskrimum Polda Jabar Kombes Pol. Surawan, Selasa, dilansir ANTARA.
"Ditangani oleh Polres Garut saja. Sudah diamankan ya, diamankannya di Garut," imbuh Surawan.
Berdasarkan keterangan Kepolisian Resor Garut, dokter berinisial MSF itu ditangkap di wilayah Garut pada Selasa (15/4) malam. Kurang dari 24 usai video dugaan asusila beredar di media sosial. Polres Garut pun melakukan pemeriksaan intensif pada Rabu (16/4).
"Belum 24 jam, kita sudah amankan diduga pelaku, saat ini pelaku ada di ruangan khusus untuk dilakukan pemeriksaan intensif," ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Garut AKP Joko Prihatin.
Saat ini, Polres Garut tengah melakukan pendalaman pemeriksaan laporan, memeriksa terduga pelaku, serta akan meminta keterangan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Joko mengatakan, dokter tersebut masih berstatus saksi. Kepolisian masih melakukan pendalaman untuk menentukan langkah hukum berikutnya terkait Pasal 308 Undang-Undang Kesehatan yang harus mendapatkan rekomendasi dari majelis profesi dalam penanganan kasus dokter tersebut.
Hasil penyelidikan kepolisian menunjukkan, kejadian tersebut berlangsung pada 2024. "Tepatnya pada tanggal 20 Juni 2024, atau hampir 10 bulan yang lalu," ujar Kapolres Garut AKBP Mochammad Fajar Gemilang, dalam penyelidikan di lokasi kejadian, Selasa (15/4/2025).
Kejadian dugaan perbuatan tercela itu berlangsung di sebuah klinik kesehatan swasta, wilayah Kecamatan Garut Kota.
Kasus Dokter PPDS Lakukan Tindak Kekerasan Seksual pada Keluarga Pasien
Sementara itu, dokter PPDS Unpad berinisial PAP (31 tahun) yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual di Bandung diamankan oleh pihak berwajib pada 23 Maret 2025. Setelah menelusuri sejumlah bukti, kepolisian Jawa Barat menetapkan PAP sebagai tersangka dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan 21 tahun yang saat kejadian tengah mendampingi sang ayah yang kritis pada 18 Maret 2025.
Saat ini, pemeriksaan termasuk temuan sisa sperma di tubuh korban dan alat kontrasepsi. Tes DNA dilakukan untuk memastikan kecocokan.
PAP menyalahgunakan kedudukan dan kewenangannya sebagai dokter residen anestesi. Tersangka memperdaya korban dengan dalih akan mengambil darah korban untuk transfusi. Tersangka membawa korban dari ruang IGD ke ruang 711 Gedung MCHC RSHS sekitar pukul 01.00 dini hari. PAP juga melarang adik korban untuk ikut.
"Tersangka meminta korban mengganti pakaian dengan baju operasi dan melepas pakaian dalamnya. PAP kemudian melakukan pengambilan darah dengan sekitar 15 kali tusukan," kata Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Pol Hendra Rochmawan.
Lalu, PAP menyuntikkan cairan bening ke infus yang membuat korban pusing dan tak sadarkan diri. Saat korban bangun, merasakan sakit pada bagian sensitifnya kemudian melaporkan ke kepolisian.
Hingga Senin (14/4), polisi telah memeriksa 17 orang saksi, termasuk korban, ibu dan adik korban, beberapa perawat, dokter, serta pegawai rumah sakit lainnya.
Berdasarkan bukti dan keterangan saksi, penyidik menetapkan dokter PAP sebagai tersangka dan menjeratnya dengan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
"Ancaman hukumannya maksimal 12 tahun penjara," kata Kombes Hendra Rochmawan.
STR dan SIP Dicabut, Dokter PPDS Tak Bisa Praktik Seumur Hidup
Universitas Padjajaran (Unpad) sudah melakukan tindakan tegas terhadap dokter PAP. Pihak kampus telah memberhentikan terduga dari program PPDS Unpad Prodi Anestesi.
"Terduga merupakan PPDS yang dititipkan di RSHS dan bukan karyawan RSHS, maka penindakan tegas sudah dilakukan oleh Unpad dengan memberhentikan yang bersangkutan dari program PPDS," kata Unpad dalam keterangan tertulis pada Rabu, 9 April 2025.
Aksi satu peserta didik berdampak pada seluruh dokter residen PPDS Anestesi Unpad. Kemenkes menginstruksikan kepada Direktur Utama RSUP Hasan Sadikin untuk menghentikan satu bulan kegiatan residensi PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif di rumah sakit tersebut.
"Penghentian sementara waktu dilakukan untuk evaluasi dan perbaikan pengawasan serta tata kelola bersama FK Unpad," kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes RI Aji Muhawarman, ST, MKM.
PAP juga mendapatkan sanksi adminstrasi berat dari dalam profesi kedokteran di Indonesia. Pihak Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) telah mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) atas nama dokter Priguna Anugerah Pratama pada Kamis, 10 April 2025.
"Setelah SIP dicabut, yang bersangkutan tidak dapat lagi berpraktik sebagai dokter seumur hidup,” kata Ketua Konsil Kesehatan Indonesia, drg Arianti Anaya, MKM, pada Jumat, 11 April 2025 dalam keterangan tertulis.
Adapun terkait dokter kandungan di Garut, Kemenkes sudah mengirimkan surat ke KKI untuk meminta pencabutan STR yang otomatis akan menggugurkan SIP oknum dokter itu.
"Apabila dari hasil investigasi ditemukan pelanggaran etik dan disiplin profesi, KKI akan memberikan sanksi tegas berupa pencabutan sementara Surat Tanda Registrasi (STR) tenaga medis yang bersangkutan," kata Aji.
Tuai Respons Berbagai Pihak
Bukan hanya Kementerian Kesehatan, kementerian lain yang terkait juga ikut memberi respons atas rentetan kasus yang melibatkan tenaga medis sebagai terduga pelaku tindak asusila. Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menugaskan tim untuk mengecek dugaan kasus pelecehan seksual di Garut. Tim dari Kantor Wilayah Jawa Barat Kementerian HAM tersebut, kata Pigai, sebelumnya juga telah ditugaskan untuk menggali dan menghimpun fakta dari kasus kekerasan seksual di RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung yang melibatkan dokter peserta PPDS.
"Ya, ini informasi yang bagus untuk saya, supaya saya perintahkan staf saya turun lagi dari Bandung ke Garut. Makasih," ujar Pigai.
Merujuk pada gender korban yang merupakan perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) segera melakukan koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Barat serta UPTD PPA Kabupaten Garut.
Meski kejadiannya sudah terbilang lama, langkah ini diambil untuk memastikan bahwa korban mendapatkan pendampingan menyeluruh, termasuk di wilayah yang dikenal memiliki banyak pilihan dokter kandungan perempuan di Garut.
"KemenPPPA juga terus berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Barat dan (UPTD PPA) Kabupaten Garut untuk memberikan pendampingan kepada korban, baik secara psikologis maupun hukum," kata Asisten Deputi Penyediaan Layanan Perempuan Korban Kekerasan KPPPA, Ratna Oeni Cholifah, saat dihubungi Health Liputan6.com pada Rabu, 16 April 2025.
Kemen PPPA juga menyampaikan keprihatinan mendalam dan mengecam keras tindakan pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh oknum dokter obgyn di Garut tersebut.
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama ikut mengungkapkan keperihatinannya. "Rudapaksa tentu merupakan perbuatan keji dan pelakunya harus dihukum berat," ujar Tjandra melalui pesan tertulis pada Liputan6.com, Rabu (16/4).
Menurutnya, pelecehan seksual dalam bentuk lain juga harus dikecam dan pelakunya harus mendapat hukuman setimpal.
Terkait kejadian tindak asusila yang melibatkan dua orang dokter, Tjandra mengatakan hal itu amat merusak keluhuran profesi dokter.
"Amat merusak dan mengoyak keluhuran profesi dokter, dan mencabik cabik sumpah Hipocrates yang dibaca oleh seseorang yang lulus dokter. Profesi dokter memang menangani kesehatan manusia, dan itu yang harus diberikan prioritas utama, dan tidak boleh dicederai dengan bentuk pelecehan seksual dalam bentuk apapun," tegasnya.
Kejadian tersebut, menurut Tjandra dapat menjadi pengingat bagi ratusan ribu dokter Indonesia untuk selalu menjaga dan menjunjung tinggi keluhuran profesi dokter. "Kerja dokter di seluruh pelosok Nusantara perlu terus berjalan dengan baik."
Meski demikian, Guru Besar UI ini juga percaya bahwa masyarakat luas tidak akan serta merta menggebyah uyah kasus pada dua orang dokter ini dengan ratusan ribu dokter lainnya di Indonesia.
Dokter Lecehkan Pasien, Unsur Individu atau SOP yang Lemah?
Menyeruaknya kasus dokter yang melakukan tindakan asusila hal ini membuat tanya mengenai penyebabnya. Menurut praktisi kesehatan masyarakat dokter Ngabila Salama ada faktor individu serta lemahnya Standar Operasional Prosedur (SOP).
"Faktor ini bisa didalami selain yang utama ada masalah gangguan individu mungkin gangguan mental/kejiwaaan, bisa juga ada unsur lemahnya SOP di institusi baik pendidikan/fasilitas kesehatan," kata Ngabila dalam pesan tertulis kepada Health Liputan6.com.
Guna mencegah kejadian tak diinginkan dialami pasien, Ngabila mengingatkan agar memperketat pemberlakuan informed consent (IC). Informed consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan informasi yang jelas dan rinci mengenai tindakan medis yang akan dilakukan.
Penting juga melakukan sosialisasi ke masyarakat bahwa setiap tindakan medis baik wawancara, pemeriksaan fisik, tindakan itu semua butuh persetujuan dari pasien. Baik persetujuan secara verbal dan tulisan.
"Dengan informed consent pasien akan tahu langkah-langkah yang akan dilakukan dalam pemeriksaan apa saja, berhak kritis dan bertanya," katanya.
Kehadiran informed consent ini juga akan melindungi dokter dan faskes jika ada kejadian tidak diharapkan dan ternyata sudah terbukti prosedur dan IC sudah sesuai.
"Jadi pastikan pasien minimal melakukan persetujuan secara verbal, lalu saat melakukan pemeriksaan pasien bisa ditemani pasangan/keluarga/kerabat," saran Ngabila.
Kerapuhan Tata Kelola pada Kasus Dokter PPDS Unpad
Pengamat manajemen kesehatan dokter Puspita Wijayanti turut menyorot soal kasus kekerasan seksual oleh dokter PPDS Unpad. Menurutnya, tragedi yang terjadi di sana tidak hanya menjadi berita kriminal tapi pengingat sistemik bahwa di balik kekerasan dan penyalahgunaan wewenang, ada kerapuhan tata kelola yang dibiarkan terlalu lama.
"Karena itu, pembenahan yang dibutuhkan bukan hanya menyasar individu pelaku, tetapi struktur, sistem, dan kultur kelembagaan," kata Puspita dalam pesan tertulis.
Berikut adalah sejumlah rekomendasi sistemik yang mendesak dilakukan:
1. Penguatan tata kelola obat berisiko tinggi
Implementasi sistem distribusi berbasis teknologi untuk obat-obatan anestesi dan high alert lainnya. Pengawasan harus menjadi bagian dari budaya, bukan sekadar formalitas akreditasi.
2. Penegasan status peserta didik dalam sistem SDM rumah sakit
Peserta PPDS wajib diintegrasikan dalam struktur SDM terbimbing, dengan hak dan batasan akses yang disesuaikan dengan level kompetensi. Setiap tindakan medis harus berada dalam kerangka otorisasi dan supervisi.
3. Pemantauan kesehatan jiwa yang berkelanjutan
Institusi pendidikan dan rumah sakit harus membentuk sistem pemantauan psikososial aktif, bukan sekadar tes kejiwaan saat masuk. Evaluasi berkala, ruang aman untuk melapor, dan pelatihan kesehatan mental harus menjadi bagian dari kurikulum tersembunyi pendidikan dokter.
4. Kolaborasi regulatif antar kementerian dan lembaga profesi
Kementerian Kesehatan, institusi pendidikan kedokteran, organisasi profesi, serta lembaga akreditasi perlu bersinergi dalam menyusun pedoman bersama untuk menjembatani fungsi pelayanan dan pendidikan di rumah sakit, agar tidak lagi terjadi zona abu-abu yang penuh risiko.
Psikolog: Bukan Salah Korban
Terkait fenomena pelecehan atau kekerasan seksual yang marak terjadi, psikolog klinis Oktina Burlianti menjelaskan, tindakan asusila--khususnya rudapaksa-- bisa disebabkan oleh sejumlah faktor. Umumnya rudapaksa bukan semata-mata bersifat seksual melainkan upaya pelaku dalam menunjukkan kontrol dan dominasi.
"Jadi, ada pola yang sama bahwa rudapaksa itu sebenarnya bukan seksual semata, kebanyakan justru adalah mau menunjukkan kontrol dan dominasi. Lalu, adakah hubungannya dengan penyimpangan seksual? Bisa jadi kalau otak (pelaku) rusak karena paparan pornografi. Pornografi itu kan sama kayak kecanduan lainnya ya, bagian prefrontal korteks terendam dopamin yang efeknya jadi menciut," jelas Oktina.
Prefrontal korteks merupakan bagian otak yang kerap disebut akal, yang membantu manusia mampu membedakan salah dan benar. Ketika bagian tersebut rusak, akan berdampak pada perilaku individu.
Penyebab lainnya seseorang melakukan kekerasan seksual juga bisa dipicu oleh gangguan kepribadian seperti psikopat. "Perilakunya manipulatif, tidak punya empati," ujarnya pada Liputan6.com.
Selain itu, pengaruh lingkungan dan budaya juga bisa menjadi penyebab. Namun biasanya faktor ini melibatkan tindakan massal.
Untuk memastikan alasan dan penyebab individu melakukan tindakan asusila, perlu pemeriksaan oleh ahli sehingga tidak bisa sembarangan.
Lalu terkait korban pelecehan atau kekerasan seksual yang seringkali enggan melapor, psikolog yang juga Direktur Sekolah Citta Bangsa Cibubur ini menjelaskan bahwa setiap korban kekerasan akan mengalami trauma.
"Syok dan trauma ini merupakan reaksi normal atas situasi yang tidak normal," ujar Oktina.
Fase berikutnya, umumnya korban akan mengalami denial atau penyangkalan dan timbul rasa bersalah.
"Korban kekerasan seksual itu umumnya merasa bersalah. Dia merasa, 'jangan-jangan aku yang salah.' Jadi, kebanyakan menyalahkan diri sendiri, psikologisnya berbeda," jelas Oktina.
Itu sebabnya korban perlu mendapat bantuan, perlindungan dan pendampingan yang tepat dari lingkungan. Korban juga perlu diyakinkan bahwa apa yang menimpanya bukan merupakan keselahannya.
Dalam meminta bantuan, korban disarankan untuk berbicara pada sosok yang dinilai dapat dipercaya agar tidak menjadi korban reviktimisasi.
"Dia harus bercerita, tapi dia harus pilih teman cerita yang suportif dan mengerti. Atau bisa juga ke puskesmas yang menyediakan konsultasi psikologi. Nanti setelah itu pasti divisum, jadi akan diarahkan," kata Oktina.
Jangan Takut Melapor
Melihat banyaknya kasus kekerasan yang terjadi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) wanti-wanti masyarakat yang menyaksikan, mengetahui, atau mengalami adanya tindak kekerasan seksual agar dapat segera melapor.
Imbauan untuk berani lapor disampaikan Asisten Deputi Penyediaan Layanan Perempuan Korban Kekerasan KPPPA, Ratna Oeni Cholifah. Laporan dapat disampaikan melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak atau SAPA 129 atau WhatsApp 08111-129-129.
Sebagai bentuk sinergi dalam mengatasi kasus asusila ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padjadjaran pun membuka posko pengaduan terkait kasus dugaan pelecehan seksual oleh oknum dokter kandungan terhadap ibu hamil di Garut, Jawa Barat.
"Karena kemungkinan jumlah pasien yang menjadi korban banyak, maka dibuka lah posko pengaduan terkait kasus tersebut oleh LBH Padjadjaran," kata Asisten Deputi Penyediaan Layanan Perempuan Korban Kekerasan Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Oeni Cholifah, Rabu, dilansir ANTARA.
Menurut Ratna Oeni, hingga kini ada dua korban yang melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan ini.
"Sampai saat ini, sudah ada dua korban yang melapor ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Garut."
Sebelumnya, pihak Polda Jabar juga telah membuka posko aduan terkait kasus dokter PPDS. Warga masyarakat yang merasa menjadi korban dapat melapor ke Polda Jabar maupun ke RSHS.