Liputan6.com, Jakarta - Label bahwa perempuan lebih emosional atau hanya 'cocok' di bidang tertentu sudah lama melekat di masyarakat. Hal ini tentu tidak lepas dari konstruksi gender kaku yang lahir dari budaya patriarki.
Padahal, stereotip semacam itu sering kali membatasi ruang gerak perempuan. Kini, semakin banyak perempuan berhasil menduduki posisi penting di dunia, mulai dari kepala negara hingga pimpinan lembaga internasional.
Fakta ini membuktikan kemampuan perempuan tidak bisa diukur hanya dari pandangan sempit. Dilansir dari World Economic Forum, berbagai penelitian memang menunjukkan adanya perbedaan fisik antara otak perempuan dan laki-laki.
Beberapa studi dilakukan oleh Universitas McMaster, Universitas Pennsylvania, hingga Universitas Cambridge. Perbedaan tersebut terletak pada struktur, komposisi kimia, dan fungsi otak.
Contohnya, cara otak memproses stres atau mengingat peristiwa emosional. Namun, perbedaan ini kerap dibesar-besarkan hingga melahirkan mitos tentang siapa yang lebih unggul.
Para ilmuwan justru menekankan pentingnya melihat kemampuan manusia sebagai sesuatu yang bisa berkembang pada siapa saja, tidak terbatas pada jenis kelamin.
Salah satu klaim populer adalah perempuan lebih baik dalam multitasking karena sisi kiri dan kanan korteks serebralnya terhubung lebih rapat.
Namun, kenyataannya, tidak ada otak manusia yang benar-benar bekerja optimal saat melakukan banyak tugas sekaligus.
1. Perempuan Lebih Baik dalam Multitasking
Sebuah studi terhadap 120 perempuan dan 120 laki-laki menemukan bahwa multitasking menurunkan kinerja hingga 77 persen pada laki-laki dan 66 persen pada perempuan.
Jika dilakukan terus menerus, multitasking dapat meningkatkan stres, bahkan berbahaya dalam situasi tertentu seperti mengemudi atau operasi.
Klaim lain menyebut perempuan lebih suka kerja sama karena dipengaruhi kadar estrogen dan oksitosin yang lebih tinggi, serta testosteron yang lebih rendah.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa tingkat daya saing maupun kecenderungan kerja sama lebih banyak dipengaruhi lingkungan sosial.
2. Perempuan Kurang Kompetitif
Eksperimen di Swedia terhadap anak-anak umur 7 s.d 10 tahun membuktikan bahwa anak laki-laki maupun perempuan sama-sama kompetitif dalam berbagai aktivitas.
Hal ini menegaskan bahwa perbedaan gender bukanlah faktor penentu, melainkan stereotip yang terus ditanamkan sejak dini.
"Otak bayi laki-laki dan perempuan yang baru lahir sangat mirip. Perbedaan kecil apa pun dalam sirkuit otak muncul melalui stereotip gender yang 'menetes-netes' dari lingkungan, bukan biologi," kata Ahli Saraf Kognitif di Universitas Ashton, Gina Rippon.
3. Perempuan Lebih Cerdas Secara Emosional
Beberapa penelitian memang menemukan perbedaan ukuran korteks orbitofrontal dan sistem limbik pada otak perempuan.
Bagian otak ini berperan dalam memproses serta mengekspresikan emosi, sehingga muncul keyakinan bahwa perempuan lebih baik dalam memahami emosi dan empati. Namun, sifat-sifat seperti empati dan welas asih sejatinya sangat bervariasi tergantung situasi.
Menurut studi di Universitas Liege, Belgia, keterampilan emosional seperti empati dan kemampuan interpersonal merupakan kecerdasan yang bisa dipelajari dan dilatih seiring waktu.
Melalui pemahaman ini, sudah saatnya masyarakat meninggalkan cara pandang neuroseksisme, yakni keyakinan bahwa otak laki-laki dan perempuan memiliki 'takdir' yang berbeda.