Liputan6.com, Jakarta Peneliti melihat potensi menjanjikan dari pendekatan berbasis ekologi untuk pengendalian hama di lahan pertanian.
Pendekatan ini mulai diadopsi secara luas agar pengendalian hama tak lagi hanya bergantung pada racun atau perburuan massal.
Pembasmian hama berbasis ekologi salah satunya melalui pemanfaatan predator alami, terutama dalam mengatasi serangan tikus di lahan pertanian. Salah satu solusi alami yang terbukti efektif dan efisien adalah pemanfaatan burung hantu Serak jawa atau Tyto alba sebagai predator alami utama serangan hama tikus.
Dalam kondisi populasi hama yang normal, kehadiran burung hantu Tyto alba mampu menjaga keseimbangan populasi tikus tanpa perlu penggunaan bahan kimia atau racun berbahaya yang dapat mencemari lingkungan.
Tyto alba adalah spesies burung hantu yang dikenal adaptif terhadap iklim tropis dan tidak agresif terhadap manusia. Tyto alba menjadi pilihan utama dalam strategi pengendalian hama yang lebih ramah lingkungan.
Peneliti Ahli Madya sekaligus Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yudhistira Nugraha, mengatakan bahwa Tyto alba memiliki kemampuan memangsa tikus dalam jumlah signifikan di alam terbuka. Seekor burung hantu dewasa mampu memakan beberapa ekor tikus per malam.
Ribuan hektar padi milik petani di nam kecamatan di Ngawi, Jawa Timur rusak diserang hama tikus. Mengantisipasi semakin parahnya serangan hewan pengerat tersebut, puluhan petani membakar sarang tikus, dan berupaya membuat rumah burung hantu.
Perlu Gabungan Berbagai Metode
Yudhistira menekankan bahwa predator alami tidak akan cukup efektif jika terjadi ledakan populasi tikus (outbreak).
Oleh karena itu, strategi pengendalian harus bersifat komprehensif dengan menggabungkan metode mekanik seperti gropyokan (berburu tikus bersama-sama), pengemposan sarang (memasukan bahan pembunuh tikus ke sarangnya), serta sistem trap barrier (sistem bubu perangkap) sebagai tindakan preventif.
“Pendekatan terpadu ini menjadi kunci agar populasi tikus bisa ditekan dengan cepat sebelum stabil kembali dengan bantuan predator alami,” ujarnya mengutip laman BRIN, Selasa (29/4/2025).
Perlu Pengelolaan yang Cermat
Penggunaan burung hantu sebagai pengendali hama juga memerlukan pengelolaan yang cermat. Jika populasi Tyto alba tidak dikendalikan dan makanan utama mereka menipis, mereka bisa memangsa spesies lain seperti burung kecil, kelelawar, bahkan ternak kecil.
“Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengganggu keseimbangan ekosistem lokal. Oleh karena itu, diperlukan pemantauan dan pengaturan populasi secara berkelanjutan,” kata Yudhistira.
Untuk mendukung konservasi dan efektivitas burung hantu, salah satu praktik terbaik yang dilakukan petani adalah menyediakan rumah burung hantu atau Rubuha. Rubuha berupa kotak sarang di atas tiang setinggi 4 hingga 5 meter di lahan pertanian.
Karena Tyto alba tidak membangun sarang sendiri, Rubuha menjadi kunci keberhasilan program konservasi ini sekaligus menjadi fasilitas penting bagi mereka untuk menetap dan berkembang biak. Setiap Rubuha biasanya diletakkan dengan jarak 100 hingga 200 meter, tergantung luas lahan. Hal ini juga agar wilayah jelajah antar burung (sekitar 12 hingga 25 hektar per pasang) tidak saling tumpang tindih.
Sebelum Lepas Burung Hantu ke Alam
Sebelum dilepas ke alam, burung hantu bisa ditangkarkan dan dilatih terlebih dahulu di kandang karantina. Dalam fase ini, mereka dikenalkan dengan tikus hidup sebagai pakan, lalu dilepas ke lingkungan pertanian secara bertahap.
Sistem ini tidak hanya memastikan adaptasi yang mulus, tetapi juga memungkinkan burung berburu tikus secara mandiri tanpa ketergantungan pada manusia.
“Pemantauan populasi juga tetap diperlukan agar tidak terjadi ketidakseimbangan. Misalnya, saat jumlah tikus menurun drastis dan burung hantu mulai memangsa satwa lain,” imbuh Yudhistira.
Keberhasilan pendekatan ini sangat bergantung pada keterlibatan petani, edukasi yang memadai, dan dukungan kebijakan dari pemerintah. Fasilitasi penyediaan Rubuha dan pemantauan populasi burung menjadi bagian penting dari pengelolaan ekosistem pertanian yang sehat dan berkelanjutan.
“Sinergi konservasi yang menyatu dengan strategi pengendalian hama terpadu adalah masa depan sistem pertanian modern yang aman dari hama tanpa merusak lingkungan,” pungkas Yudhistira.