Liputan6.com, Jakarta - Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB angkat bicara soal maraknya framing negatif terhadap pendidikan dokter spesialis di Indonesia.
Prof. Ari menyebut bahwa narasi tersebut diulang-ulang layaknya kaset rusak, tanpa melihat fakta dan konteks yang sebenarnya.
Menurut Prof. Ari, berbagai isu seperti bullying, tekanan senior ke junior, hingga mahalnya biaya pendidikan dokter spesialis terus diputar ulang dan dibesar-besarkan di masyarakat.
Padahal, narasi seperti itu justru merusak kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter dan sistem pendidikan kedokteran di Tanah Air.
"Masalah bullying itu diputar terus, sedemikian rupa sehingga pendidikan dokter spesialis itu begitu menakutkan," kata Prof. Ari dalam konferensi pers bersama Guru Besar FKUI di Salemba, Jakarta Pusat pada Jumat, 16 Mei 2025.
Dia menyayangkan narasi negatif tersebut terus diangkat. Menurutnya, jika terus digulirkan, framing semacam ini bisa memperburuk pandangan masyarakat terhadap para dokter.
"Kalau ini terus digulirkan, ini akan memperburuk pandangan masyarakat terhadap dokter-dokter kita," ujarnya.
Biaya Pendidikan Dokter Spesialis Dianggap Hanya untuk Orang Kaya
Framing lain yang juga disorot adalah anggapan bahwa hanya orang kaya yang bisa menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Menurut Prof. Ari, ini adalah kesalahpahaman yang telah berlangsung lama.
"Disebutkan bahwa hanya orang kaya saja yang bisa sekolah ke situ. Ini framing yang keliru dan sudah terjadi puluhan tahun," ujar Prof. Ari.
Dia menegaskan bahwa latar belakang ekonomi bukanlah penghalang untuk menjadi dokter spesialis.
Dia sendiri merupakan anak dari seorang pedagang, begitu juga dengan Guru Besar FKUI yang hadir dalam kesempatan tersebut berasal dari keluarga sederhana.
Bahkan, menurut data internal FKUI, jumlah peserta PPDS yang berasal dari keluarga dokter atau akademisi kurang dari 10 persen. "Artinya, mayoritas peserta justru berasal dari keluarga non-medis," tambahnya.
Kasus Lama yang Diputar Ulang
Prof. Ari juga menyinggung kecenderungan media dan publik yang kembali mengangkat berita lama, seolah-olah itu adalah kejadian terkini. Dia menyebut hal ini seperti 'kaset rusak yang diputar ulang'.
“Yang menyedihkan, berita yang tiga tahun lalu itu diangkat lagi, diputar ulang seperti kaset rusak," ujarnya.
Prof. Ari menilai bahwa pola ini hanya akan menciptakan kesan seolah dunia pendidikan dokter spesialis di Indonesia tidak pernah berubah dan selalu negatif.
Apresiasi untuk Pihak yang Meluruskan Narasi Buruk terhadap Pendidikan Dokter
Di tengah derasnya informasi yang beredar, Prof. Ari memberikan apresiasi kepada anggota Komisi IX DPR RI, Arzeti Bilbina, yang menyampaikan pandangan objektif dan menyejukkan dalam rapat dengar pendapat terkait isu ini.
"Saya mengapresiasi pernyataan Bu Arzeti. Ini yang kita harapkan, seruan kepada Kementerian Kesehatan agar membantu meredakan suasana, bukan memperburuknya," ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Prof. Ari mengajak masyarakat dan pemerintah bersama-sama membangun iklim pendidikan kedokteran yang sehat dan inklusif.
"Saatnya kita bangun kepercayaan publik terhadap pendidikan dokter di Indonesia," pungkasnya.