Liputan6.com, Jakarta - Kecerdasan artifisial alias AI kini dimanfaatkan dalam membantu diagnosis penyakit tropis seperti malaria.
Malaria adalah penyakit yang menyebar lewat gigitan nyamuk Anopheles betina dan masih menjadi ancaman serius di beberapa wilayah Indonesia.
Peneliti Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Anto Satriyo Nugroho, memaparkan potensi teknologi AI dalam mempercepat dan meningkatkan akurasi diagnosis malaria melalui analisis citra mikroskopis apusan darah.
Selama ini, diagnosis malaria umumnya dilakukan secara manual melalui pemeriksaan mikroskopis. Proses tersebut tidak hanya memakan waktu, tetapi juga sangat bergantung pada keahlian dan ketelitian tenaga kesehatan. Tantangan seperti kelelahan, keterbatasan jumlah tenaga ahli, serta variasi morfologi parasit dalam berbagai tahap siklus hidupnya, kerap menjadi kendala dalam memastikan diagnosis yang tepat.
Menjawab tantangan tersebut, BRIN mengembangkan sistem diagnosis berbasis AI untuk membantu tenaga kesehatan mengidentifikasi keberadaan parasit malaria. Sistem ini bekerja dengan menganalisis foto mikroskopis apusan darah tipis dan tebal untuk mengenali tanda-tanda infeksi.
“Tujuan utama kami adalah menciptakan sistem Computer Aided Diagnosis yang dapat mengenali status malaria secara otomatis dari citra apusan darah,” jelas Anto dalam Media Lounge Discussion (MELODI) yang digelar di Jakarta pada Rabu (7/5/2025).
Inggris menciptakan teknologi baru untuk mengatasi penyakit malaria yang merenggut nyawa sekitar 400 ribu jiwa setiap tahunnya. Mereka menggunakan drone yang dikendalikan oleh satelit yang dapat mendeteksi nyamuk berkembang biak.
Gunakan Data Dari Berbagai Daerah Endemik Malaria
Anto menambahkan, sistem deteksi malaria dengan AI menggunakan dataset berisi 1.388 mikrofoto apusan darah yang dikumpulkan dari berbagai daerah endemik di Indonesia.
“Data penelitian diperoleh dari berbagai daerah endemik di Indonesia, seperti Kalimantan, Papua, dan Sumba, bekerja sama dengan Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN,” jelas Kepala PR-KAKS BRIN itu.
Sampel tersebut meliputi berbagai jenis parasit malaria, seperti Plasmodium falciparum, P. vivax, P. malariae, dan P. ovale, termasuk satu kasus infeksi campuran dan satu sampel negatif.
“Berdasarkan analisis terhadap 35 mikrograf dari kasus nyata di daerah endemis Indonesia (mencakup 3.362 sel), sistem ini menunjukkan kemampuan yang signifikan dalam mengidentifikasi parasit malaria,” jelas Anto.
Hasil Uji Tunjukkan Performa Menjanjikan
Dalam pengembangan sistem diagnosis malaria berbasis kecerdasan buatan (AI) ini, hasil pengujian awal menunjukkan performa yang menjanjikan.
“Sensitivitas sistem mencapai 84,37 persen dalam membedakan sel sehat dan terinfeksi, dengan nilai akurasi (F1-score) sebesar 80,60 persen dan nilai positive predictive value (PPV) sebesar 77,14 persen dalam mengidentifikasi spesies dan tahapan parasit,” kata Anto.
Artinya, sistem ini cukup andal dalam membedakan sel darah sehat dari yang terinfeksi.
Buka Peluang Diagnosis Jarak Jauh
Sistem diagnosis ini juga dirancang untuk mendukung pelaksanaan survei darah massal di lapangan.
“Dalam kondisi endemis, satu apusan darah bisa memerlukan pengamatan terhadap 500 hingga 1.000 eritrosit atau 200 leukosit. AI dapat mempercepat proses ini tanpa mengorbankan akurasi,” ujar periset dengan latar belakang penelitian di bidang pengolahan citra dan biometrik ini.
Selain efisiensi, sistem ini juga membuka peluang untuk diagnosis jarak jauh (remote diagnostics) sehingga sangat relevan digunakan di daerah terpencil.
Pengetahuan dan pengalaman mikroskopis juga disimpan dalam sistem AI sehingga dapat membantu tenaga kesehatan dengan pelatihan terbatas.
Anto juga menekankan bahwa pengembangan AI dalam bidang biomedis memerlukan perhatian khusus terhadap karakteristik dataset, kualitas data, pemilihan model, serta metode evaluasi performa yang tepat. Dengan kata lain, AI tidak bisa bekerja sendiri. Kolaborasi antara ahli komputasi dan peneliti biomedis adalah syarat mutlak agar teknologi ini dapat diandalkan.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan komputasi. Pemahaman atas konteks medis adalah kunci agar hasil diagnosis benar-benar bermanfaat bagi pasien,” ujarnya.
Dengan potensi besar untuk meningkatkan ketepatan diagnosis dan efisiensi layanan kesehatan di wilayah endemis, BRIN optimistis teknologi AI akan menjadi mitra strategis dalam upaya pengendalian malaria nasional. BRIN berupaya terus menyempurnakan sistem melalui riset kolaboratif dan uji coba lapangan yang lebih komprehensif, sebagai bagian dari upaya mendukung program eliminasi malaria di Indonesia.