Liputan6.com, Depok - Di balik senyum cerianya, Ebenezer Zagani atau Eben, bocah 10 tahun asal Papua, membawa misi besar. Dia ingin teman-temannya di kampung memahami pentingnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Langkah kaki Eben membawanya jauh dari Papua Tengah menuju panggung UKS Final Champions 2025. Ajang yang digagas Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah ini didukung berbagai pihak, dengan tujuan melakukan rejuvenasi atau peremajaan UKS agar kembali menjadi gerakan penting di sekolah.
Mewakili regional Papua, Eben bercerita bahwa di kampungnya masih banyak anak yang belum mengenal kebiasaan sederhana seperti mencuci tangan sebelum makan atau menjaga makanan tetap bersih.
"Di kampung saya, teman-teman belum tahu apa itu perilaku hidup bersih dan sehat. Mereka biasanya mencari makan langsung dari tanah, dibakar, lalu dimakan. Jadi, kalau saya pulang ke Papua, saya mau mengajak mereka menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat," ujarnya kepada Health Liputan6.com, saat ditemui di Pusdiklat Kemendikbud, Depok pada Senin, 11 Agustus 2025.
Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto keluarkan kebijakan menetapkan tunjangan sebesar Rp30 juta per bulan bagi dokter spesialis, termasuk dokter spesialis anak, yang bertugas di daerah tertinggal. Bagaimana tanggapan dokter?
Peran UKS untuk Anak Papua yang Baru Pindah ke Bogor
Perjalanan Eben hingga bisa berdiri di panggung UKS Final Champions 2025 tidaklah mudah. Dia adalah penerima beasiswa yang kini bersekolah dan tinggal di asrama Sekolah Anak Indonesia (SAI) di Sentul, Bogor. Di sana, dia bertemu Ners Febby, perawat UKS yang selalu mendampinginya.
"Eben ini sekolahnya berasrama. Dari Papua, dia pindah ke sini dan tinggal di asrama. UKS di sekolahnya sangat aktif karena anak-anak seperti Eben biasanya datang dengan penyakit yang cukup banyak, apalagi harus beradaptasi dengan iklim yang berbeda," kata Febby.
Bagi Eben, UKS bukan sekadar ruangan berisi peralatan medis. Baginya, UKS adalah tempat belajar menjaga tubuh tetap sehat, berbagi pengetahuan, dan menanamkan kebiasaan yang bisa menyelamatkan masa depan banyak anak.
Kini, di usia yang masih belia, Eben memikul harapan besar. Ia ingin kembali ke Papua bukan hanya sebagai anak yang membawa piala, tapi sebagai pembawa perubahan.
Dia percaya bahwa kebiasaan kecil seperti mencuci tangan, menjaga kebersihan makanan, dan hidup sehat bisa menjadi langkah besar menuju masa depan yang lebih baik bagi anak-anak di kampungnya.
Febby, menambahkan, anak-anak Papua umumnya terbiasa hidup di alam, ketika mereka pindah ke kota, maka perlu beberapa penyesuaian.
"Nah, itulah yang menjadi penyebab mereka mengalami banyak sakit, jadi UKS di Sekolah Anak Indonesia itu sangat membantu anak-anak Papua," ujarnya.
Awal Mula Ikut UKS Final Champions 2025
Eben bukan satu-satunya anak Papua yang mendapatkan beasiswa untuk sekolah di SAI. Ada beberapa anak lain dari berbagai daerah di Papua.
"Di sekolah kami itu tidak hanya dari Papua Tengah, tapi memang kebetulan tahun ini lebih banyaknya dari Papua Tengah dari kampungnya Eben. Jadi, Yayasan kita tuh kerja sama dengan Pemerintah Papua kemudian anak-anak ini dipilih dari pemerintahnya, dibawa untuk sekolah di Sekolah Anak Indonesia di Bogor," katanya.
Setahun sudah Eben menghirup udara Bogor dan merasakan pendidikan yang lebih baik. Kini, dia duduk di kelas lima hingga suatu ketika, Ners Febby melihat pengumuman ajang UKS Final Champions 2025.
"Saya didaftarkan sama ibu UKS (Febby), tapi saya juga senang mengikuti ajang ini. Saya ikut ini juga ingin membuktikan bahwa anak Papua juga sebenarnya bisa bersaing di tingkat nasional seperti ini," kata Eben.
Febby, berkisah, awal mula mengikuti ajang ini, ia mendapat informasi dari teman dan kepala sekolah,"Kita daftar di dua hari terakhir, jadi kita langsung panggil Eben, kita kasih motivasi dia kalau ikut ini nanti bisa dapat beasiswa kedokteran, bisa jadi dokter, dia kan cita-citanya mau jadi dokter."
Pendaftaran ajang ini salah satunya menggunakan video, Eben, Febby dan kepala sekolah pun bekerja sama membuat video tersebut.
"Sejak awal kita tidak ada ekspektasi (lolos) karena pesertanya kan 3 ribu, tapi syukurnya semua berjalan dengan baik sampai ke babak final ini saya juga rasanya tidak percaya karena peserta lain juga bagus-bagus," ujarnya.
Kini, Eben menjadi salah satu dari 18 finalis yang melenggang ke babak final.
Mengenal UKS Final Champions
Dalam kesempatan yang sama, Pembina UKS Final Champions, dr. Alif Noeriyanto Rahman, Sp. OT mengatakan, ajang ini diinisiasi Kementerian Pendidikan Dasar Menengah dan didukung berbagai pihak yang ingin melakukan rejuvenasi (peremajaan) UKS.
Ajang ini berawal dari keprihatinan bahwa dalam 5 tahun terakhir, UKS tidak berjalan optimal.
"Hanya sekitar 30 persen dari UKS dan program dokter kecil di Indonesia itu aktif," ujar Alif.
"Sehingga, ada kekhawatiran di kalangan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan teman-teman kolaborator yaitu Artikular Klinik, EMTEK, United Tractors, Semen Indonesia, dan Biofarma untuk bagaimana kita bisa mengaktifkan UKS ini," tambahnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa kerja sama antar pihak pun dilakukan selama tiga tahun sehingga yang mengikuti ajang ini ke depannya tidak hanya anak sekolah dasar (SD) tapi juga sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA).
Berangkat dari keprihatinan akan tantangan yang dihadapi dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia, acara ini hadir dengan harapan dapat memupuk potensi-potensi muda sejak usia dini.
"Kita prihatin, karena kan banyak masalah di dunia kesehatan Indonesia ya khususnya di kedokteran. Solusinya jelas, pembangunan karakter dan character building itu kan tidak sesederhana itu, enggak semudah itu, character building itu kan dibangun dari ketika masih kecil," jelasnya.
Lantas, mengapa menghidupkan kembali geliat UKS menjadi hal penting?
"UKS ini adalah salah satu yang paling tua di Indonesia, dia itu berdiri sejak 1956 dan ini original dari Indonesia, kalau Pramuka kan enggak, dari luar. UKS itu murni dari Indonesia, Indonesia banget lah, itu pertama."
Kedua, UKS ada di semua desa. Hampir setiap SD memiliki UKS, tapi hanya 30 persen yang aktif. "Sebab itulah kita yang bukan bagian dari pemerintahan membantu pemerintah untuk membuat UKS jauh lebih aktif," ucapnya.