Indonesia Darurat Obesitas Anak, Wamenkes Siapkan Sugar Tax untuk Minuman Manis

19 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Unicef mencatat satu dari 10 anak di dunia mengalami obesitas. Salah satu penyebab utamanya adalah konsumsi makanan ultra-proses dan minuman tinggi gula.

Menanggapi kondisi tersebut, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono mengungkap rencana pemerintah untuk memberlakukan pajak gula atau sugar tax.

"Kita sedang melakukan regulasi untuk melakukan sugar tax (pajak gula) pada makanan. Ini akan memberlakukan pajak kepada sejumlah tertentu gula, tapi masih dalam pembahasan masih dalam proses. Nanti akan kita luncurkan kalau memang sudah siap," kata Dante dalam ASEAN Car Free Day (ACFD 2025) di Jakarta, Minggu, 14 September 2025.

Dante menegaskan bahwa Indonesia kini menghadapi masalah gizi ganda atau double burden. "Di satu sisi kita menghadapi kekurangan gizi yang menyebabkan stunting, di sisi lain angka obesitas anak juga meningkat," tambahnya.

Data, menunjukkan, kasus obesitas anak lebih banyak ditemukan di kota-kota besar. "Satu dari 10 anak obesitas, bahkan di kota besar jumlahnya lebih tinggi. Survei di Jakarta menunjukkan 30 persen anak sekolah mengalami obesitas," katanya.

Muhammad Kenzi Alvaro, balita 16 bulan yang viral akibat bobotnya mencapai 27 kilogram, Jumat (24/02) siang, akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Hermina Kota Bekasi, Jawa Barat. Di rumah sakit, Kenzi akan menjalani observasi terkait kegemukan yang dialam...

Terkait Cukai Minuman Manis

Melihat tren tersebut, Dante mengingatkan orangtua untuk tidak salah kaprah dalam menilai kesehatan anak.

"Gemuk belum berarti sehat. Kadang-kadang orang tua khawatir kalau anaknya kurus, padahal yang lebih penting adalah menjaga kesehatannya," ujarnya.

Dante juga meminta orangtua membiasakan pola hidup sehat sejak dini, salah satunya dengan mengatur asupan gula dan memilih makanan bergizi seimbang.

"Ini bagian dari pendidikan sejak dini agar anak-anak terbiasa makan sehat dan terhindar dari obesitas," katanya.

Pajak atau cukai gula tepatnya minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) telah lama menjadi pembahasan.

Baru-baru ini, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) memiliki pandangan bahwa cukai MBDK sebaiknya tidak diperlakukan seperti pajak baru.

Melainkan dilihat sebagai instrumen fiskal berbasis kesehatan yang terbukti efektif dan telah diterapkan di 99 negara.

"Cukai MBDK tidak semata-mata soal penerimaan negara. Cukai MBDK harus dipandang sebagai instrumen kesehatan publik berbasis bukti. Tujuan utama penerapan cukai adalah mengendalikan konsumsi produk yang menjadi faktor risiko obesitas, diabetes, dan penyakit tidak menular lainnya," kata Chief Research & Policy CISDI, Olivia Herlinda, mengutip keterangan pers pada Rabu, 10 September 2025.

"Karenanya, cukai MBDK memiliki fungsi berbeda dari pajak konvensional yang berorientasi pada penerimaan negara," tambahnya.

Pentingnya Penurunan Konsumsi Gula

Penurunan konsumsi gula termasuk yang terkandung dalam MBDK menjadi penting lantaran Indonesia kini menempati peringkat kelima dunia dalam jumlah pengidap diabetes dewasa terbanyak. Ada 20,4 juta orang Indonesia yang mengidap diabetes menurut International Diabetes Federation 2024.

Studi CISDI pada 2024 memperkirakan keterlambatan penerapan cukai MBDK berpotensi menimbulkan 8,9 juta kasus baru diabetes tipe 2 dan 1,3 juta kematian akibat penyakit tersebut pada 2034. Ini dapat terjadi jika tidak ada intervensi.

Quantitative Research Officer CISDI, Salsabil Rifqi Qatrunnada, memaparkan empat temuan kunci dalam ringkasan kebijakan CISDI (2025), antara lain kenaikan harga akan menurunkan permintaan produk MBDK dan beralihnya konsumen dari produk MBDK akibat dampak penerapan cukai.

“Cukai MBDK tidak hanya menekan konsumsi melalui mekanisme harga, tetapi juga berfungsi mendelegitimasi MBDK sebagai produk sehari-hari yang merugikan kesehatan masyarakat,” kata Salsabil.

Cukai 20 Persen Bisa Turunkan Konsumsi MBDK 18 Persen

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan data kependudukan 2024 menunjukkan sebanyak 63,7 juta (sekitar 68,1 persen rumah tangga di Indonesia) rutin mengkonsumsi MBDK setiap minggu.

Studi CISDI (2025) menunjukkan penerapan cukai yang meningkatkan harga produk sebesar 20 persen dapat menurunkan konsumsi MBDK hingga 18 persen secara rata-rata.

Penurunan konsumsi ini sekaligus mendorong peralihan konsumsi MBDK ke air mineral dan minuman tidak berpemanis.

Health Economics Research Associate CISDI, Muhammad Zulfiqar Firdaus, menegaskan penundaan cukai MBDK akan memperburuk krisis kesehatan masyarakat dan menambah beban ekonomi negara.

“Dengan adanya bukti ilmiah yang kuat, praktik baik internasional, dan komitmen lintas sektor, CISDI berharap pemerintah dapat segera menerapkan cukai MBDK paling lambat tahun 2026 sebagai bagian investasi kesehatan jangka panjang bagi masyarakat Indonesia,” ujar Zulfiqar.

Read Entire Article
Helath | Pilkada |