Jamu Naik Kelas: Ramuan Herbal Kini Bertransformasi Jadi Herbal Nano Medicine

6 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Jamu dan ramuan herbal kini tidak lagi sekadar rebusan tradisional. Berkat kemajuan teknologi nano, seribu kali lebih kecil dari sehelai rambut, bahan alami ini telah bertransformasi menjadi Herbal Nano Medicine (HNM).

"Inovasi medis modern yang memadukan tradisi dan sains," tulis peneliti di Institut Molekul Indonesia, dr. Dito Anurogo, MSc.PhD., dalam laman ayosehat.kemkes.go.id dikutip pada Rabu, 5 November 2025.

Herbal Nano Medicine merupakan formulasi obat herbal dengan ukuran partikel sangat kecil, antara 10 hingga 200 nanometer. Dalam bentuk ini, senyawa aktif tanaman dapat diserap tubuh lebih optimal, mencapai sel target dengan presisi, serta bekerja lebih cepat dan efisien.

Contohnya, curcumin (zat aktif dalam kunyit) terkenal memiliki efek antiinflamasi dan antikanker. Namun, dalam bentuk alami, curcumin sulit diserap tubuh. Teknologi nano memungkinkan zat ini larut lebih baik, sehingga memberikan efek terapeutik yang lebih nyata.

Menurut Dito, meskipun obat herbal tradisional memiliki banyak manfaat, masih ada sejumlah tantangan seperti:

  • Tidak larut dalam air
  • Sulit diserap tubuh
  • Kandungan aktif tidak stabil
  • Sulit mengukur dosis secara konsisten.

"Teknologi nano mengatasi semua ini. Senyawa aktif herbal bisa diantar langsung ke lokasi penyakit (targeted delivery), bertahan lebih lama dalam tubuh, dan digunakan dalam dosis kecil tanpa mengurangi khasiat, bahkan sering kali justru meningkat," kata Dito.

Bukan Sepenuhnya Hal Baru

Menariknya, sambung Dito, prinsip nanoteknologi bukan sepenuhnya hal baru. Dalam pengobatan tradisional India (Ayurveda), telah lama dikenal Bhasma.

Ini adalah partikel logam seperti emas atau tembaga yang diolah hingga ukuran sangat kecil dan dicampur dengan herbal. Studi modern menunjukkan bahwa ukuran partikel Bhasma bisa mencapai skala nanometer, membuktikan bahwa nenek moyang telah lebih dahulu memahami efek partikel ultra-kecil ini, meski tanpa istilah ilmiah modern.

Meski begitu, tidak semua herbal cocok diolah dengan cara yang sama. Para ilmuwan kini mengembangkan berbagai sistem pengantar atau wadah (delivery system) seperti:

  • Nanopartikel polimerik, seperti kantong mini dari plastik ramah tubuh
  • Solid lipid nanoparticles (SLNPs): kantong dari lemak padat
  • Phytosomes: gabungan zat aktif dengan lemak fosfolipid
  • Nanoemulsi dan micelles: mirip butiran minyak dalam air
  • Liposomes dan dendrimers: kapsul bulat yang bisa diarahkan ke jaringan tertentu
  • Nanofiber: serat tipis yang larut di mulut.

Contohnya, piperine (dari lada hitam) dan berberine (dari tanaman Tiongkok) kini jauh lebih efektif setelah diformulasikan secara nano.

Efektivitas Herbal Nano Medicine

Efektivitasnya bukan sekadar teori, lanjut Dito. Penelitian menunjukkan bahwa formulasi nano dapat meningkatkan bioavailabilitas—jumlah zat yang benar-benar masuk ke darah—hingga ratusan kali lipat.

Bahkan, efek antioksidan, antivirus, hingga antikanker dari senyawa herbal menjadi lebih kuat dan cepat. Dosis pun bisa dikurangi drastis, sehingga lebih aman bagi pasien.

Seperti semua inovasi, HNM juga menghadapi hambatan, termasuk:

  • Tidak semua herbal cocok dengan semua jenis teknologi nano
  • Regulasi global belum seragam
  • Biaya riset dan produksi masih tinggi
  • Perlu lebih banyak uji klinis jangka panjang.

Indonesia Berpotensi Jadi Pionir Inovasi Herbal Dunia

Indonesia memiliki lebih dari 30.000 jenis tanaman obat, tapi masih sedikit yang dimanfaatkan secara maksimal. Padahal, dengan kekayaan ini, Indonesia berpotensi menjadi pionir dunia dalam inovasi herbal nano.

“Bayangkan, jika jamu beras kencur bisa diformulasikan secara nano untuk mengatasi radang lambung, atau sambiloto nano untuk demam tinggi. Ini bukan mimpi. Ini peluang strategis nasional,” kata Dito.

Herbal dan nanoteknologi bukanlah dua kutub yang bertentangan. Keduanya adalah pasangan ideal—memadukan kearifan lokal dan kemajuan sains. Dengan sentuhan teknologi, Indonesia bisa menyempurnakan pengobatan tradisional tanpa kehilangan jati dirinya.

“Indonesia tidak boleh hanya jadi konsumen. Kini saatnya kita menjadi pemimpin dalam riset, produksi, dan inovasi herbal nano. Masa depan kesehatan mungkin ada dalam laboratorium, tapi akarnya tetap di tanah dan budaya kita sendiri,” tutupnya.

Read Entire Article
Helath | Pilkada |