Liputan6.com, Jakarta - Kasus bunuh diri di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri mencatat bahwa dalam kurun empat tahun terakhir, jumlah kasus bunuh diri melonjak hingga 60 persen.
Pada 2020, Polri menangani lebih dari 640 kasus bunuh diri. Angka ini sempat sedikit menurun menjadi 629 kasus pada 2021.
Namun, tren kemudian kembali naik tajam. Pada 2022 tercatat 887 kasus, lalu melonjak signifikan menjadi 1.288 kasus pada 2023.
Tren tersebut berlanjut pada 2024. Hingga Oktober saja, jumlah kasus sudah mencapai 1.023 kejadian. Dari angka itu, 638 kasus terjadi di Bali.
Catatan ini menempatkan Bali di posisi ketiga tertinggi setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kondisi ini kontras dengan situasi sebelum pandemi COVID-19. Sebelum 2020, angka bunuh diri di Bali terbilang rendah.
Namun, sejak pandemi, jumlahnya meningkat drastis: 93 kasus pada 2020, 117 pada 2021, 144 pada 2022, dan 113 kasus pada 2023.
"Lebih memilukan lagi, tingkat bunuh diri atau suicide rate di Bali tercatat sebagai yang tertinggi di Indonesia, dengan angka 3,07. Jauh di atas rata-rata nasional," kata Perencana Ahli Madya sekaligus Ketua Tim Kerja Humas dan Informasi Publik Kemendukbangga/BKKBN Provinsi Bali, Ni Made Ari Listiani, SS, M.Hum, dalam keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Selasa, 16 September 2025.
Rentetan Kasus Bunuh Diri di Bali
Di balik barisan angka yang terlihat kaku, ada kisah-kisah manusia yang membuat dada sesak, tambahnya.
Di Gianyar, seorang pelajar yang mestinya masih sibuk menulis mimpi, justru memilih mengakhiri hidup dengan terjun dari jembatan.
Di Denpasar, pasangan suami-istri ditemukan tak bernyawa dalam pelukan terakhir di kamar rumahnya.
Malam Natal di Bangli yang seharusnya penuh doa dan sukacita berubah menjadi duka, ketika seorang lansia memilih menutup perjalanan hidupnya.
Sementara di jembatan Tukad Bangkung, dua saudara kandung melompat bersama, meninggalkan pertanyaan yang tak terjawab bagi keluarga yang ditinggalkan.
“Mereka datang dari berbagai rentang usia, anak-anak yang baru belajar mengeja kehidupan, remaja yang tengah mencari jati diri, orang dewasa muda yang bergulat dengan tekanan ekonomi dan pekerjaan, hingga orang tua yang mungkin merasa semakin ditinggalkan,” kata Ni Made Ari.
Cara mereka pun berbeda—ada yang memilih gantung diri, ada yang meneguk racun, ada pula yang melompat ke jurang.
“Namun benang merahnya sama, sebuah rasa putus asa yang tak tertolong, dan luka mendalam yang kini harus dipikul oleh keluarga, sahabat, dan komunitas yang ditinggalkan.”
Faktor Pendorong Bunuh Diri di Bali
Fenomena bunuh diri di Bali tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor yang saling terkait. Perubahan sosial-ekonomi yang drastis, tekanan dalam keluarga, dan renggangnya ikatan sosial membuat banyak orang merasa sendirian menghadapi hidup.
Di sisi lain, gangguan kesehatan mental seperti depresi dan bipolar kerap tidak terdeteksi karena minimnya akses layanan kesehatan jiwa.
Masalah asmara, beban pendidikan, tekanan pekerjaan, hingga kesulitan ekonomi juga ikut memperburuk keadaan. Semua ini menumpuk, membuat sebagian orang kehilangan harapan.
Bunuh Diri Bertentangan dengan Ajaran Hindu
Dalam kerangka ajaran Hindu, kehidupan dipandang bukan sekadar deretan hari, melainkan kesempatan berharga untuk menuntaskan tugas moral (dharma) dan mematangkan jiwa menuju pembebasan (moksha).
Mengakhiri hidup sebelum waktunya bukan hanya soal tindakan individual; secara teologis ia dipandang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar seperti dharma dan ahimsa — hidup harus dipelihara, dan kekerasan terhadap diri sendiri dianggap mengganjal siklus karmis yang seharusnya dijalani.
Referensi klasik seperti Manusmriti bahkan menegaskan konsekuensi spiritual bagi mereka yang memilih menutup hidupnya sendiri: bukan jalan menuju kedamaian, melainkan penderitaan yang berlanjut.
Tradisi Hindu bahkan menawarkan jalan-jalan pengobatan batin. Praktik-praktik spiritual seperti bhakti yoga — penyerahan dan pengabdian yang menenangkan hati — atau meditasi yang menata kembali napas dan pikiran, memberi ruang bagi jiwa yang gelisah untuk bernapas lagi.
Perjalanan suci (tirta yatra) dan ritual-ritual di pura memberi pengalaman kolektif. Berada bersama dalam doa dan upacara seringkali meredakan rasa keterasingan dan mengingatkan bahwa beban tak harus ditanggung sendirian.
Di ranah sosial, struktur adat Bali — banjar dan desa adat — berperan sebagai jaringan pengaman yang nyata. Banjar bukan hanya tempat pertemuan adat, ini adalah komunitas yang saling mengenal, mengurus, dan merawat.
Dalam situasi krisis, keberadaan tetangga yang peka, pemangku yang memberi arahan spiritual, atau keluarga adat yang tersambung kuat dapat menjadi perbedaan antara tetap terjebak dalam kesepian dan menerima uluran tangan. Tradisi gotong-royong dan upacara bersama memberi makna kolektif yang seringkali menguatkan mereka yang rapuh.
“Penting juga dicatat bahwa pendekatan spiritual dan adat ini paling efektif bila dipadu dengan layanan kesehatan jiwa modern. Ajaran dan ritual dapat memberi penghiburan, sementara psikoterapi, konseling, dan intervensi medis memberi penanganan praktis untuk gangguan seperti depresi atau gangguan bipolar,” kata Ni Made Ari.
Menggabungkan kebijaksanaan lokal dapat membuka peluang pencegahan yang sensitif budaya. Misalnya, menempatkan konselor di pusat komunitas atau melatih pemuka adat dan tokoh banjar untuk mengenali tanda bahaya.
Singkatnya, tradisi Hindu dan struktur komunitas Bali menyediakan landasan moral dan sarana spiritual untuk merawat jiwa. Namun, untuk benar-benar menurunkan angka bunuh diri diperlukan jembatan antara penghiburan spiritual dan akses layanan kesehatan mental profesional. Keduanya bukan lawan, melainkan mitra yang bisa saling menguatkan demi keselamatan dan kesejahteraan bersama.
KONTAK BANTUAN
Bunuh diri bukan jawaban apalagi solusi dari semua permasalahan hidup yang seringkali menghimpit. Bila Anda, teman, saudara, atau keluarga yang Anda kenal sedang mengalami masa sulit, dilanda depresi dan merasakan dorongan untuk bunuh diri, sangat disarankan menghubungi dokter kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan (Puskesmas atau Rumah Sakit) terdekat.
Bisa juga mengunduh aplikasi Sahabatku: https://play.google.com/store/apps/details?id=com.tldigital.sahabatku
Atau hubungi Call Center 24 jam Halo Kemenkes 1500-567 yang melayani berbagai pengaduan, permintaan, dan saran masyarakat.
Anda juga bisa mengirim pesan singkat ke 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat surat elektronik (surel) [email protected].