Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra, merespons kasus cacingan di Bengkulu.
Menurutnya, setiap dalam peristiwa seperti ini, negara terus diingatkan tentang Konstitusi Pasal 33 tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar seharusnya dipelihara oleh negara.
“Harusnya tidak ada anak-anak yang mengalami cacingan. Karena pasal konstitusi ini selalu jadi sumpah jabatan yang terpatri di jiwa para wakil Tuhan di muka bumi (pemerintah), yang telah berani bersumpah atas nama Tuhan,” kata Jasra dalam keterangan pers dikutip pada Kamis (18/9/2025).
Karena pemeliharaan adalah kata yang meliputi banyak hal dan makna. Sehingga amanat konstitusi ini diterjemahkan dalam UU Kesehatan, dengan tegak lurus, mengupayakan perlindungan anak melalui upaya sejak preventif, promotif, rehabilitatif, kuratif dan paliatif.
Bahkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak disampaikan derajat kesehatan yang optimal. Artinya ada upaya sungguh-sungguh negara dalam meningkatkan derajat kesehatan anak.
“Kalau ini tidak terjadi, maka tentu penghapusan kemiskinan, penghapusan pengabaian, penelantaran, dan penghapusan kasus cacingan akan sulit mendekati rakyat kecil, apalagi anak. Yang kita tahu, mereka belum dapat memperjuangkan haknya sendiri,” ujar Jasra.
Situasi keluarga miskin dan anaknya yang terlantar juga memerlukan intervensi dari dalam. Namun, Jasra menilai bahwa regulasi di Indonesia masih “bolong” khususnya soal siapa yang bisa melakukan intervensi terhadap anak dari dalam (lingkungan keluarga).
Ini mengakibatkan anak menjadi kelompok rentan yang selalu mengalami pengabaian, penelantaran, dan ketika ketidakmampuan terjadi, maka anak yang paling mudah dan menjadi korban berlapis dalam kekerasan tiada henti. Mereka juga kerap menjadi pelampiasan ruang kekerasan keluarga, baik verbal, non verbal, fisik, dan jiwa di ruang keluarga.
Butuh RUU Pengasuhan Anak
Untuk itulah, sambung Jasra, selain Undang-Undang Perlindungan Anak, KPAI mendorong adanya intervensi dari dalam dengan kehadiran RUU Pengasuhan Anak.
“Sudah 15 tahun diperjuangkan, masuk ke prolegnas, sampai keluar lagi dari prolegnas, namun kesadaran pengasuhan tersebut tak kunjung mendapat dukungan penuh pemerintah, sehingga lepas dari pengesahan DPR RI,” ucapnya.
“Kalau ditanya kenapa? Iya karena tadi, siapa yang bisa melihat situasi anak dalam keluarga rentan, dalam keluarga ODGJ, dalam keluarga yang memiliki hutang (offline dan online), dalam keluarga yang terjerat tali temali industri candu, dalam keluarga yang kecanduan gadget baik anak maupun orangtua (siapa yang bisa mengawasi situasi anak). Ini belum bunyi di kebijakan kita,” imbuhnya.
Tanggapan Wamenkes Soal Anak Cacingan di Bengkulu
Dalam kesempatan lain, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono telah menanggapi kasus dugaan kecacingan yang menimpa balita di Kabupaten Seluma, Bengkulu.
Terkait kasus ini, ia mengingatkan kembali kepada masyarakat soal pentingnya menjaga higienitas. Mengingat, penyakit cacingan berkaitan erat dengan kebersihan dan pola hidup bersih sehat (PHBS).
“Ini masalah higiene yang harus kita sosialisasikan kepada masyarakat, yang sangat penting memang higienitas, masalah ini akan menjadi masalah penting dan masalah gizi juga akan menjadi masalah penting,” kata Dante saat ditemui di Jakarta, Rabu (17/9/2025).
Sebelumnya, kasus dugaan cacingan kembali terjadi pada balita, kali ini menimpa Khaira Nur Sabrina, bocah usia 1,8 tahun asal Bengkulu.
Cacing keluar dari mulut Khaira yang merupakan warga Desa Sungai Petai, Kecamatan Talo Kecil, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Seluma Rudi Syawaludin mengatakan, balita tersebut telah dirawat secara intensif dengan analisis awal mengalami gejala gizi buruk serta penyakit cacing.
"Perlu penanganan khusus, selama ini kita intervensi gizi buruknya saja, ternyata ada gejala cacingan," ujar Rudi, Senin (15/9) mengutip Regional Liputan6.com.
Dinkes setempat sudah melakukan koordinasi lintas program dengan Puskesmas, dan Dinas Sosial untuk membuat klasterisasi penanganan. Sebab setelah ditelusuri ternyata orangtua pasien adalah keluarga miskin dan tinggal di tempat yang tidak layak huni.
Tinggal di Rumah Beralas Tanah
Dinkes Kabupaten Seluma tengah berupaya melakukan gerak cepat guna memperkuat klaster Integrasi Layanan Primer, terkait pemberian obat cacing dan juga dengan pemberian makanan tambahan kepada keluarga.
Tak hanya, Khaira, kakaknya yang baru menginjak usia empat tahun juga diduga mengalami penyakit serupa.
"Ada indikasi kakaknya juga berkemungkinan terkena penyakit serupa. Berumur empat tahun dan juga dirawat," lanjut Rudi.
Ini merupakan kasus perdana terjadi di Kabupaten Seluma. "Saat ini masih ditangani tim medis RSUD Seluma dan akan dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap," ujarnya.
Dalam beberapa video viral yang beredar, diperlihatkan bahwa kediaman keluarga Khaira terbilang tak layak.
Rumahnya berdinding papan dan beralaskan tanah dengan kondisi yang berantakan. Sementara, dapurnya berada di belakang rumah dengan perapian yang terbuat dari susunan batu tanpa alat masak memadai.
Dapur itu terletak tepat di sebelah saluran air, seperti selokan atau parit buatan yang mengalirkan air bekas pakai dari jamban. Kamar mandi atau jambannya sendiri terletak kurang lebih satu meter dari dapur tersebut, dengan sanitasi yang kotor dan tak memadai.