[Kolom Pakar] Prof Raymond Tjandrawinata: Bias Negatif dan Budaya Menyalahkan

4 days ago 10

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena yang mengiringi hidup manusia dalam masyarakat selalu penuh dengan paradoks. Antara keinginan untuk dihargai dan kenyataan bahwa yang sering muncul justru kritik, antara harapan untuk menerima apresiasi atas kebaikan dan fakta bahwa yang mengemuka adalah penghakiman terhadap kesalahan.

Sejarah, psikologi, dan budaya sama-sama menunjukkan bahwa manusia lebih peka terhadap kesalahan daripada kebaikan.

Fenomena ini disebut sebagai bias negatif, yaitu kecenderungan psikologis manusia untuk lebih memperhatikan, mengingat, dan merespons hal negatif daripada hal positif.

Akibatnya, dalam kehidupan sehari-hari kebaikan dianggap biasa, bahkan sesuatu yang sudah sepatutnya dilakukan, sementara kesalahan kecil sekalipun segera menjadi sorotan. Masyarakat lebih cepat bertepuk tangan atas kegagalan orang lain ketimbang mengangkat tangan untuk memberi penghargaan atas keberhasilan.

Inilah realitas yang sering kita rasakan, baik dalam lingkup pergaulan sempit maupun di jagat digital yang semakin memperbesar gema peristiwa buruk. Fenomena yang tampak sederhana ini ternyata membawa konsekuensi luas, karena bukan hanya menyangkut perasaan individu, tetapi juga membentuk wajah budaya dan orientasi moral suatu masyarakat.

Pertanyaan mendasar segera timbul: mengapa manusia cenderung menonjolkan sisi negatif dibanding sisi positif? Apakah kecenderungan ini sekadar refleksi biologis dari insting bertahan hidup, ataukah ia merupakan struktur sosial yang terbentuk karena norma dan budaya? Apakah bias negatif adalah cacat dalam psikologi manusia, atau justru bagian tak terhindarkan dari mekanisme sosial?

Pertanyaan ini tidak bisa dijawab secara hitam putih, sebab bias negatif menyentuh dimensi biologis, psikologis, sosial, hingga filosofis.

Di satu sisi, ia adalah refleksi dari cara kerja otak dan insting survival yang diwariskan sejak manusia purba. Di sisi lain, ia diperkuat oleh norma sosial yang lebih menekankan hukuman daripada penghargaan. Diperparah oleh budaya menyalahkan, dan dipertajam oleh logika media digital.

Rumusan masalah akademis yang muncul adalah bagaimana bias negatif bekerja dalam kesadaran individu dan kolektif, bagaimana ia terinternalisasi dalam norma sosial, bagaimana ia membentuk budaya publik, dan bagaimana implikasinya bagi keadilan serta harmoni masyarakat.

Dari rumusan itu pula muncul kebutuhan untuk mencari jalan keluar: apakah bias negatif dapat diimbangi, dan bagaimana caranya?

Psikologi Evolusioner

Secara teoretis, bias negatif telah lama diamati dalam psikologi evolusioner. Manusia purba yang selamat adalah mereka yang lebih cepat mengenali bahaya dibanding mereka yang sibuk menikmati keindahan.

Reaksi cepat terhadap suara ranting patah atau gerakan bayangan gelap di hutan lebih menentukan keselamatan daripada rasa syukur atas makanan lezat.

Evolusi menyeleksi manusia dengan insting kewaspadaan tinggi terhadap ancaman. Dari sini lahir bias negatif sebagai mekanisme bertahan hidup.

Neurosains modern menegaskan hal ini: amigdala di otak bereaksi lebih intens terhadap stimulus negatif. Kortisol, hormon stres, bertahan lebih lama dalam tubuh daripada dopamin yang membawa kegembiraan. Akibatnya, pengalaman buruk membekas lebih lama, sedangkan pengalaman baik cepat hilang.

Psikologi kognitif menunjukkan bahwa manusia lebih mudah mengingat penghinaan daripada pujian. Bahkan dalam relasi sosial sehari-hari, satu kalimat kritik dapat menghapus sepuluh kalimat apresiasi. Teori-teori ini menegaskan bahwa bias negatif bukan semata kelemahan moral, melainkan bagian dari cara kerja pikiran yang terprogram sejak lama.

Namun teori tidak pernah cukup tanpa filsafat yang mendasari. Aristoteles memandang kebajikan sebagai habitus, kebiasaan yang harus dipraktikkan hingga menjadi spontan. Karena kebajikan adalah kelaziman, ia tidak mencolok. Sebaliknya, deviasi dari kebajikan langsung tampak sebagai anomali.

Kant memandang tindakan buruk lebih cepat dikecam karena melawan imperatif kategoris, prinsip universal yang menjadi fondasi moralitas. Radbruch, filsuf hukum Jerman, menegaskan bahwa ketidakadilan kecil yang mencolok lebih mengusik rasa keadilan daripada keadilan besar yang sunyi.

Aquinas melihat kejahatan bukanlah substansi, melainkan privatio boni, ketiadaan kebaikan. Namun justru ketiadaan itu tampak jelas, seperti lubang kecil di kain putih.

Dalam teologi, dosa selalu dipandang lebih mencolok daripada kebajikan, sebab kebajikan dianggap jalan normal manusia, sedangkan dosa adalah deviasi. Maka bias negatif bukan sekadar fakta empiris, melainkan fakta normatif yang berakar dalam filsafat moral dan teologi: manusia melihat kesalahan sebagai sesuatu yang menonjol karena ia menyalahi struktur dasar keteraturan.

Media Sosial Sebagai Pengeras Bias Negatif

Studi kasus kontemporer memperlihatkan relevansi bias negatif dalam skala sosial. Masyarakat digital Indonesia adalah cermin paling gamblang. Seorang pejabat atau selebriti bisa berbuat baik selama bertahun-tahun, membangun reputasi dan kontribusi nyata. Namun satu kesalahan kecil, satu ucapan yang kurang tepat, atau satu foto yang disalahartikan segera menimbulkan gelombang hujatan.

Media sosial bekerja sebagai pengeras bias negatif: algoritme lebih suka konten kontroversial dan skandal karena memancing interaksi. Akibatnya, gosip dan kritik lebih cepat viral dibanding prestasi atau kebajikan.

Fenomena public shaming menjadi rutinitas. Warga biasa pun tidak luput. Seseorang yang selama ini dikenal santun bisa menjadi bulan-bulanan hanya karena satu tindakan keliru. Budaya menyalahkan dan mental bulan-bulanan lahir dari bias negatif yang diperbesar oleh teknologi. Sanksi sosial lebih keras daripada penghargaan. Inilah wajah nyata asimetri antara social punishment dan social reward.

Analisis akademis memperlihatkan asimetri itu dengan jelas. Hukuman sosial berupa gosip, kritik, dan pengucilan lebih kuat ketimbang penghargaan. Kebaikan dianggap kewajiban, sementara kesalahan dianggap pelanggaran.

Efek Norma Sosial

Efek norma sosial memperkuat bias negatif: masyarakat menegakkan aturan lebih dengan menghukum pelanggar daripada memberi hadiah pada yang taat.

Bullying sosial memperlihatkan betapa kesalahan kecil cukup untuk melahirkan penghakiman massal. Dari perspektif politik, bias negatif terkait dengan pembentukan rasa keadilan kolektif. Dari perspektif komunikasi, bias negatif adalah bahan bakar viralitas digital.

Dari perspektif budaya, bias negatif melahirkan budaya nyinyir, budaya menyalahkan, dan mental bulan-bulanan. Analisis ini menunjukkan bahwa bias negatif tidak lagi sekadar kecenderungan psikologis, tetapi sudah menjadi struktur sosial yang mapan.

Implikasi bias negatif sangat luas. Dalam ranah sosial, ia melahirkan masyarakat yang penuh ketegangan, di mana orang lebih takut salah daripada terdorong berbuat baik.

Dalam ranah hukum, ia menciptakan sistem yang menekankan represif, dengan sanksi lebih daripada penghargaan. Dalam ranah psikologis, ia menimbulkan kecemasan, depresi, dan trauma akibat perundungan. Dalam ranah digital, ia menciptakan ruang publik yang penuh skandal dan kontroversi, miskin apresiasi.

Akibatnya, generasi muda tumbuh dalam atmosfer minim penghargaan, namun kaya dalam penghakiman. Masyarakat menjadi sinis, kurang percaya, mudah terpecah. Bias negatif akhirnya menjadi ancaman bagi harmoni sosial dan keadilan publik. Ia bisa melumpuhkan etika publik, karena energi sosial dihabiskan untuk menyalahkan, bukan membangun.

Solusi yang Tidak Sederhana

Solusi tentu tidak sederhana. Pertama, pendidikan emosional diperlukan agar individu menyadari adanya bias kognitif. Kesadaran bahwa manusia cenderung fokus pada kesalahan membantu orang menahan diri.

Kedua, budaya apresiasi perlu dibangun dari keluarga, sekolah, hingga media. Pujian atas kebaikan kecil perlu mendapat tempat setara dengan kritik.

Ketiga, sistem hukum dan sosial perlu menyeimbangkan antara hukuman dan penghargaan. Norma sosial sebaiknya ditegakkan tidak hanya dengan sanksi, tetapi juga penghargaan.

Keempat, platform digital harus lebih bertanggung jawab dalam membatasi penyebaran konten negatif yang berlebihan.

Kelima, perlu ada etika publik baru: menghargai kebaikan sama pentingnya dengan mengoreksi kesalahan. Dari solusi-solusi ini diharapkan bias negatif bisa diimbangi, meski tidak mungkin dihapus sepenuhnya.

Filsafat kontemporer menambahkan kedalaman lebih lanjut. Foucault memperlihatkan bagaimana disiplin sosial bekerja bukan melalui pelanggaran besar, tetapi melalui pengawasan detail. Kesalahan kecil menjadi bahan untuk mendisiplinkan tubuh dan perilaku.

Media sosial adalah panoptikon digital: setiap orang diawasi, setiap kesalahan kecil segera terekspos. Bias negatif di sini bukan sekadar kecenderungan, melainkan mekanisme kuasa.

Derrida melalui dekonstruksi menunjukkan bahwa kategori salah dan benar bukan netral, melainkan konstruksi wacana. Kesalahan bisa diciptakan sebagai deviasi dari norma yang sebenarnya ditentukan oleh kekuasaan. Maka bias negatif juga adalah bias epistemologis: ia menegaskan kekuasaan melalui definisi salah.

Dari perspektif ini, melawan bias negatif bukan hanya soal mengatur emosi, melainkan soal mengkritik wacana yang membentuk definisi kesalahan. Dengan kata lain, bias negatif tidak hanya berakar pada otak manusia, tetapi juga pada struktur kuasa dan pengetahuan yang mendefinisikan realitas sosial.

Konklusi dari seluruh uraian ini adalah bahwa bias negatif adalah kenyataan multidimensi: biologis, psikologis, sosial, filosofis, dan politis. Ia tidak bisa dihapus, tetapi bisa diimbangi.

Manusia memang lebih peka terhadap kesalahan, tetapi manusia juga memiliki kapasitas reflektif untuk mengoreksi diri. Dengan kesadaran, pendidikan, budaya apresiasi, serta kritik terhadap struktur kuasa, masyarakat dapat mengurangi kecenderungan untuk selalu menyalahkan dan mulai belajar menghargai. Keseimbangan antara kritik dan apresiasi adalah syarat mutlak bagi keadilan sosial.

Tanpa keseimbangan itu, masyarakat akan terus terjebak dalam lingkaran menyalahkan. Dengan keseimbangan itu, masyarakat bisa lebih sehat dan manusiawi.

Dan akhirnya, ketika kita merenungkan fenomena ini, pertanyaannya kembali pada diri kita masing-masing: apakah kita ingin menjadi gema yang mengulang kesalahan orang lain, atau menjadi suara yang lirih namun tegas yang memberi apresiasi atas kebaikan yang sering terlupakan?

Hidup manusia bagaikan cermin. Jika yang kita cari hanya noda, maka wajah yang tampak selalu kotor. Tetapi jika kita berusaha melihat cahaya yang memantul, maka kita menemukan keindahan yang mungkin sederhana namun nyata.

Pada akhirnya, masyarakat akan menjadi seperti apa yang dipantulkan oleh setiap warganya. Jika yang kita soroti hanya kesalahan, maka kita hidup dalam bayangan. Tetapi jika kita belajar mengangkat kebaikan, maka kita bersama-sama berjalan dalam terang.

**Penulis adalah Profesor di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta

Read Entire Article
Helath | Pilkada |