Liputan6.com, Jakarta - Kanker prostat masih menjadi momok bagi banyak pria di Indonesia. Selain ancaman terhadap kesehatan, kekhawatiran terbesar pasien biasanya muncul setelah operasi, yaitu risiko inkontinensia atau ngompol pascaoperasi.
Namun, perkembangan teknologi bedah robotik kini membawa harapan baru. Risiko inkontinensia bisa ditekan, bahkan pemulihan pasien dapat berlangsung lebih cepat.
Teknologi robotik dalam dunia medis sudah digunakan lebih dari 15 tahun di berbagai negara. Di Indonesia, Siloam Hospitals menjadi salah satu pelopornya, khususnya di bidang urologi.
Prof. dr. Agus Rizal Ardy Hariandy Hamid, SpU(K), FICRS, PhD, yang berpraktik di Siloam Hospitals ASRI, menjelaskan bahwa bedah robotik kini menjadi gold standard atau standar emas dalam penanganan kanker prostat.
"Robotik memungkinkan pemotongan jaringan dilakukan sedikit demi sedikit dengan presisi tinggi, sehingga risiko komplikasi sangat minimal. Bahkan, dalam kasus kanker prostat, inkontinensia atau ngompol sebagai efek pascaoperasi, dapat pulih lebih cepat," kata Prof. Agus Rizal.
Keunggulan ini tentu menjadi kabar baik bagi pasien. Bagaimana tidak? Inkontinensia sering dianggap sebagai efek samping yang paling mengganggu kualitas hidup pascaoperasi kanker prostat.
Apa Bedanya dengan Operasi Konvensional?
Jika dibandingkan dengan operasi konvensional seperti bedah terbuka atau laparoskopi, operasi robotik memiliki banyak keuntungan nyata. Sayatan pada tubuh pasien lebih kecil, nyeri pascaoperasi berkurang, dan masa rawat inap juga lebih singkat.
"Berdasarkan pengalaman, pasien bisa pulang hanya dalam waktu dua hingga tiga hari setelah operasi," ujar Prof. Agus Rizal.
Lengan robot yang stabil juga mampu mengeliminasi risiko tremor pada tangan dokter bedah.
Hal ini memungkinkan prosedur berlangsung lebih aman, termasuk saat dokter harus memisahkan saraf-saraf penting yang memengaruhi fungsi kandung kemih maupun fungsi seksual pasien.
"Angka gangguan fungsi seksual seperti disfungsi ereksi jauh lebih rendah dengan teknik robotik dibanding metode lain. Ini menjadi pertimbangan besar bagi pasien kanker prostat yang ingin tetap menjaga kualitas hidupnya setelah operasi," tambahnya.
Teknologi Da Vinci Xi
Di Siloam Hospitals, teknologi yang digunakan adalah sistem Da Vinci Xi, generasi terbaru dari bedah robotik. Sistem ini menawarkan fleksibilitas yang lebih baik, termasuk bagi pasien dengan kondisi medis penyerta.
"Dulu, teknologi robotik generasi awal mengharuskan posisi kepala pasien lebih menukik, sehingga pasien dengan gangguan paru berat tidak bisa menjalani prosedur ini. Tapi sekarang, dengan sistem Da Vinci Xi, posisi pasien tidak perlu terlalu ekstrem. Hal ini membuat prosedur lebih fleksibel, bahkan untuk pasien dengan komorbid," kata Prof. Agus Rizal.
Dengan kemampuan ini, operasi kanker prostat bisa dilakukan lebih aman pada kelompok pasien yang sebelumnya sulit ditangani dengan metode robotik.
Meski teknologi robotik sudah terbukti bermanfaat, aksesnya di Indonesia masih terbatas. Prof. Agus Rizal menekankan perlunya edukasi dan pelatihan tenaga medis agar teknologi ini bisa menjangkau lebih banyak pasien.
"Banyak pasien Indonesia yang terpaksa harus ke luar negeri untuk menjalani operasi robotik. Tapi sekarang, dengan kerja sama dari berbagai pihak, seperti pemerintah, swasta, dan dokter, dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, teknologi ini bisa berkembang pesat di negeri sendiri," pungkasnya.