Liputan6.com, Jakarta - Tak dimungkiri bahwa pola makan memiliki dampak pada berat badan. Seorang dokter dari Korea Selatan merancang program pemulihan metabolisme selama empat minggu yang diklaim dapat membantu penurunan berat badan dalam waktu singkat. Diet ini pun viral di media sosial.
Pola makan yang dinamai Diet Switch-On itu berfokus pada puasa berkala, makanan yang mengandung banyak protein, serta optimalisasi usus guna meningkatkan pembakaran lemak sekaligus menjaga massa otot.
“Pada akhir Minggu ke-1, saya merasakan perut kembung berkurang dan pencernaan menjadi lebih baik,” seorang blogger kesehatan usus baru-baru ini berbagi informasi, dilansir New York Post.
Lebih lanjut dia mengatakan, lemak tubuhnya turun pada minggu ke-4.
"Pada Minggu ke-4, lemak tubuh saya turun [4½ pon], merasa lebih berenergi, dan mengalami kejernihan mental yang mengejutkan.”
Cara Kerja Diet Switch-On
Masing-masing minggu dari durasi diet tersebut mewakili fase program yang berbeda.
Protein menjadi faktor utama karena dinilai sangat penting bagi pertumbuhan dan perbaikan otot. Sementara kafein, alkohol, makanan olahan, serta gula harus dihindari. Adapun karbohidrat boleh dikonsumsi dalam jumlah sedang.
Membatasi karbohidrat memungkinkan tubuh memasuki kondisi ketosis, yang berpotensi mengurangi peradangan usus.
Serat dalam sayuran menambah jumlah tinja, sehingga memudahkan buang air besar, sementara beberapa penelitian menunjukkan puasa intermiten dapat meningkatkan kadar energi.
Minggu Pertama
Sasaran minggu ini, dibagi menjadi dua bagian, yakni detoksifikasi dan mengatur ulang usus.
Peserta harus minum protein shake empat kali sehari selama tiga hari pertama, minum probiotik di pagi hari saat perut kosong, dan berjalan kaki setidaknya satu jam sehari.
Yogurt tawar tanpa pemanis, tahu, dan sayuran seperti kubis, mentimun, dan brokoli diperbolehkan jika rasa lapar terus berlanjut.
Rencana ini berlanjut selama empat hari berikutnya — kecuali makan siang rendah karbohidrat dan tinggi protein yang terdiri dari ikan, ayam, tahu, daging babi rebus, daging sapi rendah lemak, atau telur ditambahkan ke dalam menu. Tepung, susu, dan kopi tidak diperbolehkan.
Minggu kedua
Puasa intermiten yang melibatkan pembatasan makan pada rentang waktu tertentu dimulai pada minggu kedua.
Puasa selama satu periode 24 jam sebaiknya dimulail dengan makan malam lebih awal hingga mengonsumsi camilan sore pada hari berikutnya. Dengan demikian, puasa 24 jam bisa dihentikan dengan makan malam berprotein tinggi.
Setelah itu, menu hariannya adalah dua protein shake, mmakanan rendah karbohidrat seperti nasi, sayur, dan protein, serta makan malam tanpa karbohidrat seperti sayur dan protein.
Segenggam kacang, nasi putih, polong-polongan, dan secangkir kopi hitam di pagi hari sangat dianjurkan.
Tujuan utama adalah pemulihan otot — hindari olahraga intensitas tinggi pada hari puasa.
Minggu ketiga dan keempat
Dua minggu terakhir adalah tentang meningkatkan pembakaran lemak dengan memperpanjang periode puasa dan menambahkan fleksibilitas pada makanan rendah karbohidrat.
Minggu ke-3 mengharuskan dua periode puasa 24 jam yang tidak berurutan, sedangkan Minggu ke-4 mengharuskan tiga periode.
Terus konsumsi dua shake sehari dan dua makanan rendah karbohidrat. Labu, tomat ceri, kastanye, dan beri dapat dimakan — simpan ubi jalar dan pisang untuk pasca-olahraga.
Setelah menyelesaikan program, pertahankan hasilnya dengan dua kali puasa seminggu, satu selama 24 jam dan satu selama 14 jam.
Yang Harus Diperhatikan Sebelum Menjalani Switch-On Diet
Konsultasikan dengan dokter sebelum memulai rencana diet apa pun.
Karena Diet Switch-On membatasi asupan kafein, peserta mungkin merasakan gejala penarikan seperti sakit kepala, kelelahan, dan mudah tersinggung.
Makan makanan yang sama juga bisa menjadi hal yang repetitif. Seorang pengguna TikTok mengatakan bulan lalu bahwa ia berhenti mengikuti program tersebut setelah lima hari karena meskipun ia berhasil menurunkan berat badan, ia merasa bosan dengan protein shake.
Dan pro dan kontra puasa intermiten masih terus dibahas. Misalnya, sebuah penelitian dari tahun lalu menemukan bahwa membatasi makan kurang dari delapan jam sehari meningkatkan kemungkinan kematian akibat penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan makan dalam rentang waktu 12 hingga 16 jam.