Psikolog Ungkap Dampak Pendidikan di Barak Militer untuk Remaja Bermasalah

6 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menggulirkan program pendidikan karakter ala militer untuk mengatasi siswa nakal. Program "menitipkan" siswa-siswa bermasalah tersebut ke barak militer telah dimulai pada 2 Mei 2025 di Kabupaten Purwakarta.

Sebanyak 39 siswa telah mengikuti pendidikan karakter di Barak Resimen 1 Sthira Yudha.

Anak-anak tersebut menjalani program Pendidikan Karakter, Disiplin dan Bela Negara Kekhususan yang dicanangkan Dedi Mulyadi. Gubernur Jawa Barat itu pun menjelaskan kriteria remaja atau siswa yang menjalani program di barak militer.

"Kriterianya adalah anak-anak yang sudah mengarah ke tindakan-tindakan kriminal. Dan orangtuanya tidak punya kesanggupan untuk mendidik. Artinya bahwa yang diserahkan itu adalah siswa yang orang-orangtuanya sudah tidak sanggup lagi, sudah tidak mampu lagi untuk mendidik. Jadi kalau orangtuanya tidak menyerahkan, kita tidak akan menerima," ungkap Dedi di Bandung, pada 2 Mei 2025, mengutip Kanal News-Liputan6.com.

Dalam hal perkembangan remaja, jika dilihat dari ilmu psikologi, pendekatan militeristik justru menyimpan risiko serius terhadap pembentukan identitas dan kesehatan mental jangka panjang para remaja.

Psikolog anak dan remaja dari PION Clinician, Madasaina Putri, M.Psi mengingatkan bahwa pendekatan keras dan penuh tekanan seperti di barak militer kureng tepat jika diterapkan secara seragam.

"Remaja ini memiliki latar belakang yang berbeda-beda, juga memiliki profil kepribadian sosial emosional yang berbeda. Misalnya remaja tersebut memiliki kecenderungan cemas, pendekatan keras dan penuh tekanan bisa memicu perasaan terancam, memperparah stres, dan bahkan bisa saja memperburuk kondisi cemasnya menjadi gangguan kecemasan klinis," jelas Madasaina kepada Health-Liputan6.com.

Sementara itu, remaja dengan kecenderungan perilaku oposisional justru bisa semakin menantang dan memperkuat sikap menentangnya.

“Alih-alih berubah menjadi lebih baik, mereka bisa merasa tidak dipahami dan makin sulit diarahkan,” tambah Madasaina.

Berisiko Memperkuat Label Negatif pada Remaja

Lebih jauh lagi, pendekatan militer ini berisiko memperkuat label negatif terhadap remaja.

“Ketika mereka dikirim ke barak militer sebagai hukuman, itu bisa menginternalisasi label bahwa mereka memang nakal dan bermasalah. Di usia yang sedang membentuk identitas diri, ini sangat berbahaya,” katanya.

Bahkan, pandangan lingkungan sosial pun bisa ikut membentuk persepsi negatif terhadap mereka, yang pada akhirnya membentuk identitas menyimpang yang justru dihindari.

Selain itu, jika pendekatan otoriter diberikan tanpa ruang dialog, hal tersebut berisiko meninggalkan dampak psikologis jangka panjang.

"Remaja bisa kehilangan kepercayaan pada figur otoritas maupun orang dewasa," ujarnya.

Rekomendasi Metode Komprehensif Berbasis Psikologi Pendidikan

Alih-alih menggunakan pendekatan hukuman yang kaku, Madasaina merekomendasikan metode yang lebih komprehensif berbasis psikologi pendidikan.

Salah satunya adalah pendekatan ekologi sistemik (Bronfenbrenner Theory) yang melihat perilaku anak sebagai hasil interaksi dari berbagai sistem di sekitarnya, mulai dari keluarga, sekolah, hingga konteks sosial dan ekonomi.

Selain itu, pendekatan relasional atau berbasis kelekatan (attachment) penting untuk mengeksplorasi kebutuhan psikologis anak yang mungkin tidak terpenuhi. “Remaja yang ‘nakal’ bisa jadi sedang menunjukkan ekspresi dari rasa kecewa, frustrasi, atau kebutuhan akan perhatian yang belum dipenuhi,” ujarnya.

Strategi lainnya adalah pendekatan behavioristik dan kognitif-behavioral (CBT), yang terbukti efektif untuk membentuk kebiasaan baru.

“Dengan reinforcement positif dan hukuman yang logis, perilaku menyimpang bisa diarahkan. CBT juga membantu remaja memahami pikiran dan emosi di balik perilaku mereka, serta mengembangkan keterampilan regulasi diri,” jelasnya.

Pentingnya Asesmen Psikologis Sebelum Intervensi

Madasaina menegaskan bahwa intervensi terhadap siswa bermasalah sebaiknya diawali dengan asesmen psikologis individual.

“Setiap anak punya cerita dan latar belakang yang berbeda. Maka perlu evaluasi menyeluruh sebelum mengambil tindakan,” ujarnya.

Jika ditemukan pola masalah yang serupa di antara beberapa siswa, pendekatan kelompok bisa digunakan, termasuk terapi kelompok atau program intervensi perilaku berbasis teman sebaya. Dalam banyak kasus, masalah berakar dari relasi dalam keluarga. Karena itu, konseling keluarga dan terapi relasional juga bisa menjadi bagian penting dalam proses pemulihan.

Sayangnya, masih banyak sekolah negeri yang belum memiliki akses ke psikolog atau layanan konseling profesional.

“Sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan yang menjamin siswa di sekolah negeri pun bisa mendapatkan akses asesmen dan intervensi psikologis, bukan sekadar hukuman,” tegasnya.

Read Entire Article
Helath | Pilkada |