Liputan6.com, Jakarta - Kekerasan seksual oleh residen program pendidikan dokter spesialis atau PPDS Anestesi Unpad di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) menimbulkan sejumlah tanya soal akses dan pengawasan obat.
Apakah peserta PPDS Anestesi di RSHS Bandung memiliki akses bebas pada obat bius?
Terkait hal ini, Direktur Utama RSHS, Rachim Dinata Marsidi, menjelaskan bahwa pihaknya memiliki pengawasan ketat terhadap obat jenis narkotika termasuk obat bius.
“Kami di rumah sakit memiliki yang namanya prosedur operasional mengenai farmasi sesuai dengan akreditasi yang ditentukan oleh JCI (Joint Commission International). Jadi selama ini Alhamdulillah pengawasan berjalan dengan baik, sampai terjadinya kejadian ini,” kata Rachim dalam temu media di Gedung Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Jakarta, Senin (21/4/2025).
Rachim menambahkan, untuk obat-obatan yang tergolong dalam jenis narkotika, maka pengawasannya sangat ketat. Kunci untuk akses ke obat-obatan tersebut dipegang oleh dua orang. Riwayat keluar masuk obat pun dicatat dengan jelas.
“Mungkin karena ini tindakan kriminal murni, jadi yang bersangkutan ini di luar pengawasan kami. Untuk obat narkotika, pemegang kuncinya pun jelas ada dua orang, tidak sendirian. Dan itu pun jelas, berapa yang keluar dan berapa yang masuk,” jelas Rachim.
Sementara, obat yang digunakan oknum dokter PPDS anestesi berinisial PAP adalah obat sisa.
“Yang dilakukan oleh oknum PPDS anestesi ini adalah, dia mengambil sisa-sisa dari yang sudah dimasukkan ke pasien. Misalnya ada sisa setengah cc diambil, jadi dia punya sendiri akhirnya,” ucap Rachim.
Polda Jabar ungkap adanya korban baru dalam kasus pelecehan yang dilakukan dokter residen PPDS Unpad di RSHS Bandung. Namun sejauh ini belum ada laporan resmi dari para korban.
Kronologi Kejadian Menurut RSHS
Rachim pun memaparkan kronologi kasus kekerasan seksual yang terjadi di RSHS.
“Pada 17 Maret (2025) ada pasien yang datang ke rumah sakit, akan dilakukan operasi dan yang bersangkutan perlu darah. Nah, pasien ini punya anak dan diberitahukan ada kebutuhan darah untuk ayahnya.”
Pada 18 Maret, sekitar pukul 01.00 WIB, PAP mendekati korban dan mengatakan bahwa ia akan membantu pengambilan darahnya.
“Sebetulnya terkait darah, jika di bank darah tersedia, maka kami akan mengambil di bank darah (bukan pada pendamping pasien). Kalau kosong, kami minta yang bersangkutan atau keluarganya untuk diambil darahnya.”
Kemungkinan Tindakan Residen PPDS Anestesi Unpad Sudah Direncanakan
Rachim pun memiliki pandangan, dari bujukan yang dilayangkan PAP pada korban ada kemungkinan bahwa tindak kekerasan seksual yang terjadi sudah direncanakan sebelumnya.
“Sebetulnya kalau dilihat dari cara dia (PAP) membujuk, memang sudah direncanakan. Korban dibawa ke ruangan yang sedang tidak difungsikan karena sedang dalam perbaikan.”
“Tanggal 18 Maret jam 01.00 malam, diduga yang bersangkutan melakukan kekerasan seksual yang sebelumnya memang dibius dulu dan obatnya ya tadi, dia punya sendiri. Memang PPDS Anestesi kan kerjanya dengan obat bius,” jelas Rachim.
Aturan Baru Penguncian Ruang Kosong di RS
Mengingat kasus ini terjadi di ruangan kosong, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mendorong aturan baru tentang penguncian atau penyegelan ruangan di rumah sakit yang tidak atau belum digunakan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya penyalahgunaan fasilitas rumah sakit.
“Harus ada SOP terkait keberadaan ruang kosong di rumah sakit. Semua ruang kosong itu harus disegel dan dikunci tidak boleh bisa dimasuki oleh orang, siapapun, kalau kosong,” ujar Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Azhar Jaya, dalam kesempatan yang sama.
“Penguncian ruang kosong akan kami berlakukan sebagai standar di seluruh rumah sakit,” tambahnya.
Sementara itu, terkait keamanan pasien (patient safety), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan akan secara serius melakukan pengawasan dan perbaikan.
"Saya serius akan memperbaiki cara kerja dokter-dokter anestesi. Di seluruh dunia, demi patient safety, sejak pasien masuk ruang operasi sampai keluar, itu dokter anestesinya harus selalu ada di situ karena kalau terjadi apa-apa, pasiennya bisa celaka," ujarnya.
Menkes Budi Gunadi menyebut, masih menemukan praktik-praktik dokter konsulen dan peserta PPDS yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Temuan tersebut didapat setelah membekukan prodi Aestesi di RS Kariadi dan RS Hasan Sadikin.
"Jadi begitu kita hentikan PPDS Anestesi untuk hadir di rumah sakit Kemenkes, ketahuan bahwa banyak dokter anestesi yang tidak bekerja di rumah sakit. Saya mulai mengamati bahwa ternyata yang melakukan pekerjaan anestesi di rumah sakit, di ruang bedah adalah PPDS-nya. Ini bukan hanya buruk untuk pendidikan, ini sangat buruk untuk patient safety," tutur Menkes.
Menkes menekankan akan memperbaiki praktik pendidikan dan kerja dokter sesuai standar best practice yang berlaku di seluruh dunia demi keamanan pasien.
"Saya akan sangat serius memperbaiki pengawasan dan kerja dokter," tegas Menkes.