Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi IX DPR RI Surya Utama mengungkapkan beberapa contoh kasus kekerasan dan pemerasan yang dialami peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Mulai dari ditampar, dipukul hingga keluar uang untuk kebutuhan senior di luar hal akademis.
Pria yang lebih dikenal dengan nama Uya Kuya ini mengungkapkan contoh kasus yang dialami Wildan. Wildan pernah menjadi peserta PPDS di RS Hasan Sadikin Bandung mengalami bullying semasa pendidikan. Kerasnya bullying yang Wildan rasakan selama masa studi dokter spesialis sampai membuat keluar dari PPDS orthopedi.
"Dia sampai harus keluar dari PPDS orthopedi karena mengalami perundungan fisik," kata Uya saat Komisi IX rapat dengan Kementerian Kesehatan RI pada Selasa, 29 April 2025.
Selama menjalani pendidikan calon dokter spesialis Wildan pernah mengalami hukuman berdiri sampai tiga jam, disuruh push up, jalan jongkok, merangkak, mengangkat kursi lipat yang ada mejanya hingga satu jam.
Saat semester satu Wildan pernah diminta selalu siap dengan tas berisi powerbank 20 buah untuk keperluan senior.
Bayar Biaya Entertainment Senior Rp500 Juta
Selain kekerasan fisik, selama studi dokter spesialis Wildan mengaku juga merogoh kocek yang tidak sedikit untuk menalangi kebutuhan senior. Mulai dari bayar servis mobil senior hingga biaya entertainment dengan total Rp500 juta
"Disuruh bayar clubbing dan biaya entertainment dikeluarkan dari seorang Wildan Rp 500 juta untuk tiga semester," kata Uya dalam rapat yang juga dihadiri Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Wildan pernah izin satu bulan karena mendampingi istri melahirkan saat program PPDS. Saat kembali, para senior menghukumya dengan diminta menginap di rumah sakit selama satu bulan. Ia juga mendapat kekerasan seperti didorong dan dipukul.
Wildan juga sudah pernah mengungkapkan hal tersebut ke kampus tapi sayang sampai saat ini tidak ada tindakan.
"Setelah dia speak up justru sampai sekarang tidak ada tindakan dari RS maupun kampus," sesal Uya Kuya.
Kasus Kedua, PPDS UGM
Uya Kuya juga mengungkapkan kisah lain kekerasan yang dialami mantan peserta PPDS ortopedi dari Universitas Gadjah Mada bernama Marcel. Saat studi, Marcel pernah dipukul hingga dilempari botol.
"Kurang lebih seperti ada parade tiap mala, dimana ada penghukuman seperti dilempar botol, ditampar, sampai dipersekusi di ruang sempit, lalu dipukul ramai-ramai atas perintah kepala residen," kata Uya.
Residen junior juga diminta untuk menyediakan mobil setara Innova untuk menjemput dokter spesialis. Lalu, di mobil harus sedia makanan untuk senior.
"Dokter Marcel juga terpaksa harus keluar (dari program PPDS)," cerita Uya.
Uya: Indonesia Butuh Dokter Spesialis tapi Pendidikannya Penuh Kekerasan
Uya menyayangkan kejadian kekerasan dan pemerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan kedokteran terlebih PPDS. Padahal Indonesia kekurangan dokter spesialis tapi saat calon dokter spesialis sekolah berhadapan dengan praktik perundungan dan pemerasan.
"Bayangkan, padahal Indonesia butuh sekali dokter spesialis tapi mereka yang ingin sekolah harus keluar setelah mengeluarkan ratusan juta tapi sia-sia," kata Uya.
Menkes Budi Pelaku Kekerasan di PPDS Terancam STR dan SIP Dicabut
Maraknya kekerasan dalam pendidikan PPDS tak ditampik oleh Menkes Budi Gunadi Sadikin. Ia mengakui bahwa memang ada masalah etika dalam lingkungan pendidikan kedokteran meski hal tersebut sulit diterima.
Namun, Budi mengatakan hal tersebut harus diperbaiki.
"Harus ada yang kita perbaiki secara etika, budaya di lingkungan pembelajaran klinik," kata Budi.
Penyebab kekerasan yang terjadi dalam dunia PPDS lantaran jumlah pendidik dalam hal ini dokter spesialis atau konsulen yang merupakan guru bagi para calon dokter spesialis terlampau sedikit. Sehingga yang mengajari peserta PPDS adalah para senior.
"Terlampau banyak jumlah peerta didik dibandingkan pendidik. Jadi gak mungkin pendidk bisa mendampingi. Akibatnya dikasih ke senior," kata Budi.
"Sekarang yang mendidik calon dokter spesialis itu kebanyakan senior bukan konsulen. Ya gimana bisa mendidik budaya atau etika," tutur Budi.
Guna memamngkas budaya kekerasan dalam lingkungan pendidikan kedokteran, maka bila terbukti bersalan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) dokter tersebut akan dicabut.
"Begitu terbukti salah dicabut (STR dan SIP) enggak bisa praktik seumur hidup," kata Budi.
Selain secara administratif, pelaku kekerasan juga akan diproses secara hukum sehingga terbuka kasusnya.
"Jangan sampai ratusan ribu dokter yang baik tercoreng gara-gara oknum. Ya tapi oknum ini juga jangan dibiarin," kata Budi.