Vasektomi sebagai Syarat Menerima Bansos, Ekonom UGM: Sangat Diskriminatif

3 days ago 13

Liputan6.com, Jakarta - Wacana vasektomi sebagai syarat untuk menerima bantuan sosial (bansos) yang disampaikan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menuai banyak komentar.

Dari sisi ekonomi, ekonom UGM, Wisnu Setiadi Nugroho, Ph.D., menilai bahwa menjadikan vasektomi sebagai persyaratan menerima bansos adalah langkah yang kurang tepat karena sangat diskriminatif.

Bahkan pendekatan Gubernur Jabar tersebut dalam pandangan Wisnu Setiadi, justru berisiko menimbulkan ketidakadilan sosial sementara masih banyak alternatif cara lain yang dapat ditempuh untuk mengurangi kemiskinan.

“Banyak alternatif lain, anak lebih sedikit memang akan mengurangi kemiskinan karena pembagi resource rumah tangga berkurang,” jelasnya di FEB UGM, Senin (5/5/2025) mengutip laman UGM.

Wisnu pun menyampaikan, kelompok keluarga miskin cenderung memiliki anggota rumah tangga lebih banyak dibanding kelas menengah atas. Hanya saja, sambung Wisnu, menjadikan vasektomi sebagai syarat menerima bansos adalah kebijakan yang terlalu ekstrem, berisiko sosial, bahkan menimbulkan kesan pemaksaan terhadap kelompok rentan.

“Niatnya mau membantu, tapi malah jadi eksklusivitas dalam sistem bantuan sosial. Padahal seharusnya kebijakannya inklusif dan berkeadilan,” ucapnya.

Jika kebijakan ini diimplementasikan, Wisnu mengkhawatirkan narasi yang akan berkembang menjadi diskriminatif dan koersif (paksaan) kontrasepsi. Kondisi tersebut pada akhirnya akan menurunkan kepercayaan publik terhadap program bansos dan program pemerintah lainnya ke depan.

MUI Jawa Barat masih berpegang teguh pada fatwa MUI Pusat, bahwa KB bagi kaum laki-laki haram hukumnya. Sementara, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi tetap akan menjalankan gagasannya dimana penerima bansos ini diwajibkan mengikuti program KB terutama...

Cara Menekan Angka Kelahiran di Negara Lain

Menurut Wisnu perlu kiranya menggencarkan kembali Keluarga Berencana. Pemerintah diharapkan menghidupkan kembali program Keluarga Berencana (KB) yang bersifat sukarela seperti di era Orde Baru. Ia menyebut pendekatan tersebut terbukti berhasil menurunkan angka kelahiran tanpa paksaan.

Dia menambahkan, banyak negara menggunakan pendekatan tidak langsung dalam menekan populasi penduduknya. Misalnya, di Amerika Serikat dan United Kingdom yang menerapkan kebijakan pembatasan tempat tinggal yang menyesuaikan jumlah kamar dengan jumlah penghuni.

“Di US dan UK, dibatasi dengan tempat tinggal (2n+1). Rumah 2 kamar maksimal 5 orang. Selain itu, bisa edukasi keluarga berencana dan tawaran alternatif bentuk kontrasepsi lain,” imbuhnya.

Ketika Bansos Jadi Alat untuk Memaksa Keputusan Medis

Dari sisi hak asasi manusia, Wisnu menegaskan bila hak reproduksi merupakan bagian dari hak dasar manusia yang tidak seharusnya diintervensi oleh negara. Menurutnya, negara tidak memiliki hak untuk memaksa warga menjalani tindakan medis seperti vasektomi.

“Yang dibutuhkan adalah edukasi, insentif, dan sosialisasi,” ucapnya.

Iapun mencontohkan India dan Tiongkok pernah menerapkan kebijakan serupa. Hanya saja kebijakan tersebut justru memunculkan berbagai persoalan sosial lanjutan seperti ketimpangan gender dan pelanggaran HAM.  

“Program satu anak di Tiongkok menghasilkan fenomena ‘missing girls’, dan di India terjadi protes besar-besaran saat dilakukan sterilisasi massal pada 1970-an,” jelasnya.

Wisnu juga mengingatkan kemungkinan potensi risiko moral hazard jika bansos dijadikan alat untuk memaksakan keputusan medis tertentu. Akan muncul praktik ilegal seperti surat vasektomi palsu atau klinik gelap.

Usulkan Pendekatan Berbasis Partisipatif dan Edukasi

Untuk merancang kebijakan kependudukan yang manusiawi dan berkelanjutan, ia merekomendasikan pendekatan partisipatif dan berbasis edukasi.

“Misalnya dengan mendorong voluntary family planning, memberikan insentif untuk kepesertaan program keluarga berencana tersebut, edukasi reproduksi yang komprehensif, memperkuat perlindungan sosial, serta inovasi program seperti pemberian voucher kontrasepsi gratis atau sistem berbasis insentif sosial, untuk mencapai tujuan kependudukan tanpa paksaan,” saran Wisnu.

Dalam kesempatan lain, dokter spesialis urologi dari Eka Hospital Depok, Eggi Respati, menjelaskan bahwa vasektomi adalah metode kontrasepsi untuk pria dengan cara memutus atau mengikat saluran sperma yang menghubungkan testis ke penis.

Dengan prosedur ini, saat pria mengalami ejakulasi, cairan yang keluar hanyalah air mani tanpa sperma. Artinya, potensi untuk membuahi sel telur istri menjadi nihil.

Vasektomi termasuk dalam kategori kontrasepsi mantap. Prosedur ini memang ditujukan bagi pria yang sudah yakin tidak ingin memiliki anak lagi di masa depan.

"Vasektomi itu sebetulnya prosedur simpel, tidak terlalu berat, operasi sederhana yang penyembuhannya pun cepat. Cuma vasektomi itu setelah dilakukan, maka tidak akan balik lagi," kata Eggi dalam temu media di Jakarta pada Kamis, 24 April 2025.

Lebih lanjut, Eggi, menambahkan,"Sebenarnya bisa balik lagi tapi butuh operasi tambahan yang lebih sulit," ujarnya.

Dari sisi kesehatan, vasektomi dinilai aman untuk dilakukan dan tidak mengganggu gairah seksual.

Read Entire Article
Helath | Pilkada |