Warrior Diet, Pola Makan Prajurit Kuno yang Dikritik Ahli Gizi Meski Bikin Langsing

1 month ago 19

Liputan6.com, Jakarta - Di tengah gempuran tren diet yang bermunculan, Warrior Diet atau Diet Prajurit belakangan ini kembali ramai diperbincangkan. Diet ini dikenal sebagai salah satu bentuk intermittent fasting yang paling ketat dan ekstrem.

Konsepnya terdengar unik karena terinspirasi dari pola makan para prajurit kuno yang hanya makan dalam waktu tertentu saja. Sayangnya, diet ini justru memicu kekhawatiran para ahli kesehatan. Banyak ahli nutrisi yang menyarankan untuk berpikir dua kali sebelum mencobanya.

Diet ini mengklaim dapat memberikan sejumlah manfaat seperti mengurangi peradangan dan membantu pengelolaan gula darah. Namun, sayangnya, belum ada data ilmiah kuat yang secara khusus mendukung klaim-klaim tersebut.

Pola makan yang terlalu ketat berisiko tinggi menyebabkan gangguan makan, terutama karena siklus membatasi asupan selama 20 jam dan 'pesta' makan selama 4 jam.

Meski beberapa orang melaporkan keberhasilan penurunan berat badan dengan metode ini, banyak pakar menilai manfaat tersebut sulit dipertahankan dalam jangka panjang.

Diet ini dianggap tidak mengajarkan kebiasaan makan yang sehat atau berkelanjutan. Bahkan, sebagian ahli menyebutnya sebagai bentuk pembatasan dan pelampiasan makan yang tidak sehat.

Apa Itu Warrior Diet?

Warrior Diet pertama kali diperkenalkan oleh Ori Hofmekler, seorang mantan anggota militer Israel, lewat bukunya The Warrior Diet yang terbit di tahun 2007.

Meski sudah cukup lama, diet ini kembali populer seiring meningkatnya tren intermittent fasting dalam beberapa tahun terakhir.

Inti dari diet ini adalah meniru cara makan prajurit zaman dahulu yang jarang makan di siang hari dan menyantap hidangan besar saat malam tiba.

Praktiknya, diet ini membatasi asupan makanan selama 20 jam sehari. Makanan yang boleh dikonsumsi pun hanya makanan ringan tertentu, lalu membebaskan kamu makan sepuasnya dalam jeda waktu 4 jam berikutnya.

Diet ini dimulai dengan tiga fase selama tiga minggu, lalu diulang terus. Setiap fase memiliki aturan yang berbeda, mulai dari detoks, menghindari karbohidrat, hingga rotasi antara hari tinggi karbohidrat dan tinggi protein.

Banyak ahli gizi menilai pola ini terlalu ekstrem dan tidak ramah untuk tubuh dalam jangka panjang.

Apa yang Boleh dan Tidak Boleh Dimakan?

Selama periode puasa 20 jam, makanan yang boleh dikonsumsi sangat terbatas. Kamu hanya dianjurkan mengonsumsi cairan seperti jus sayur, kaldu, serta makanan minim kalori seperti buah dan sayur mentah.

Sementara dalam jendela makan 4 jam, kamu diperbolehkan makan lebih bebas, tapi tetap dalam panduan tertentu yang cukup ketat.

Diet ini dibagi ke dalam tiga fase:

  • Fase 1 (minggu pertama) fokus pada "detoksifikasi". Hanya konsumsi cairan dan sayuran mentah di siang hari, lalu makan salad, keju, dan sayur matang di malam hari.
  • Fase 2 menambahkan protein hewani di malam hari, tetapi tetap menghindari makanan bertepung dan gandum.
  • Fase 3 melakukan siklus antara hari tinggi karbohidrat dan hari tinggi protein dalam jendela makan 4 jam.

Setelah tiga minggu selesai, kamu kembali ke fase awal dan mengulanginya. Makanan olahan seperti keripik, kue, atau junk food tidak dianjurkan meski dalam jendela makan karena dianggap bertentangan dengan konsep makanan alami dan bersih yang dianut dalam diet ini.

Apakah Diet Ini Efektif untuk Menurunkan Berat Badan?

Secara teori, membatasi asupan makanan selama sebagian besar waktu dalam sehari bisa menyebabkan defisit kalori yang berujung pada penurunan berat badan. Namun, para ahli memperingatkan bahwa keberhasilan ini cenderung bersifat sementara.

Ketika seseorang berhenti menjalani diet ini, berat badan sangat mungkin kembali naik karena tidak ada kebiasaan makan sehat yang dibentuk selama prosesnya.

Seorang ahli nutrisi dan penulis, Jessica Cording, R.D menyebutkan bahwa diet ini justru menciptakan pola makan berlebihan di satu waktu dan kelaparan di waktu lain. Ini bisa berdampak negatif pada metabolisme tubuh dan psikologis seseorang.

"Diet ini lebih mirip pola makan yang mendorong siklus restriksi dan pesta makan, yang sangat tidak sehat secara mental dan emosional," kata Keri Gans, R.D., seorang ahli nutrisi dan penulis The Small Changes.

Alih-alih membentuk hubungan sehat dengan makanan, diet ini malah bisa memicu rasa bersalah, kelelahan, hingga gangguan pola makan dalam jangka panjang.

Adakah Manfaat Kesehatan dari Diet Ini?

Oleh karena itu, meski angka di timbangan mungkin turun, dampaknya pada kesehatan secara menyeluruh perlu dipertimbangkan dengan matang.

"Beberapa pendukung diet ini mengklaim bahwa Diet Prajurit bisa memberikan manfaat mirip dengan puasa intermiten, seperti pengendalian gula darah, peningkatan fungsi otak, dan penurunan peradangan," tambah Gans.

Namun, penting untuk dicatat bahwa belum ada penelitian khusus yang mengevaluasi efek Diet Prajurit secara langsung. Sebagian besar klaim masih berdasarkan studi kecil tentang puasa intermiten secara umum, bukan diet ini secara spesifik.

"Misalnya, beberapa penelitian pada hewan menunjukkan bahwa puasa intermiten dapat mengurangi penanda peradangan dan berpotensi menurunkan risiko penyakit otak seperti Alzheimer," kata Cording.

Selain itu, studi kecil pada pasien diabetes menunjukkan adanya perbaikan pengendalian gula darah saat mengikuti pola makan puasa. Namun, hasil ini belum tentu berlaku untuk semua orang dan efek jangka panjangnya masih belum jelas.

Apakah Warrior Diet Aman?

Para ahli tetap menekankan bahwa manfaat tersebut sebaiknya dicapai dengan cara yang lebih seimbang dan aman.

Diet yang ekstrem seperti ini cenderung berisiko tinggi dan tidak cocok untuk semua orang, terutama bagi mereka yang memiliki kondisi kesehatan tertentu.

Mayoritas ahli sepakat bahwa Diet Prajurit tidak termasuk dalam kategori diet yang aman, terutama jika dilakukan dalam jangka panjang.

Seorang terapis medis, Scott Keatley, R.D., menyebutkan bahwa metode ini terlalu membatasi dan tidak memberikan asupan energi yang cukup, sehingga justru bisa menyebabkan rasa lemas, gangguan tidur, hingga berkurangnya massa otot.

Risiko lainnya adalah gangguan pola makan. Ketika seseorang dibiasakan menahan lapar lama, lalu diberi izin makan bebas dalam waktu singkat, ini bisa membentuk kebiasaan tidak sehat yang sulit diubah.

"Wanita hamil, menyusui, atau yang merencanakan kehamilan sangat tidak disarankan menjalani diet ini karena kebutuhan gizinya lebih kompleks," tambah Keatley.

Keri Gans bahkan menyindir bahwa 'prajurit sejati mungkin akan lebih cerdas daripada mengikuti diet ini'. Sebab, pola makan sehat seharusnya tidak menyiksa tubuh atau membingungkan secara mental. Makan seimbang dan cukup tetap menjadi fondasi terbaik untuk menjaga kesehatan.

Read Entire Article
Helath | Pilkada |