Liputan6.com, Jakarta - Dalam memperingati Bulan Alzheimer Sedunia 2025, pemerintah mengingatkan bahwa Indonesia kini menghadapi bonus demografi terbalik dengan meningkatnya jumlah lansia.
Data Kemenkes RI menunjukkan bahwa proporsi lansia akan mencapai lebih dari 20 persen pada 2050, sementara proporsi balita justru menurun.
"Kondisi ini menjadi tantangan besar karena lansia berisiko mengalami penurunan fungsi tubuh dan penyakit degeneratif," ujar Ketua Tim Kerja Kesehatan Lanjut Usia Kemenkes RI, dr. Ari Setyaningrum, Sp.KO, dalam acara diskusi tentang 'Demensia: Setelah Diagnosa, Lalu Apa?' di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta Selatan, pada Rabu, 17 September 2025.
Dalam paparannya, Ari menyebut bahwa lansia berisiko menghadapi penurunan mobilitas, penglihatan, pendengaran, hingga memori.
Sementara itu, Alzheimer Indonesia (ALZI) juga menyebutkan demensia masih kerap dianggap sebagai hal wajar dalam proses penuaan.
Padahal, 45 persen kasus dapat dicegah atau ditunda dengan mengelola faktor risiko seperti hipertensi, kurang aktivitas fisik, pola makan buruk, hingga isolasi sosial.
"Survei ADI menemukan dua pertiga tenaga kesehatan masih keliru menganggap demensia sebagai bagian alami dari penuaan," ujar Direktur Eksekutif Alzheimer Indonesia (ALZI), Asmara Pusparani.
Tantangan Lansia di Indonesia
Indonesia menghadapi tantangan serius dengan meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, saat ini 21 provinsi sudah masuk kategori aging population dengan proporsi lansia di atas 10 persen.
Tren ini diperkirakan meningkat tajam hingga 2050. Menurut Ari, perubahan demografi ini harus diantisipasi sejak sekarang.
Data juga menunjukkan hipertensi menjadi penyakit paling dominan pada lansia dengan prevalensi 63,5 persen, disusul kurang aktivitas fisik yang mencapai 47,9 persen pada kelompok umur 65 s.d 69 tahun.
Selain itu, obesitas, diabetes melitus, hingga masalah kesehatan jiwa turut membebani. Pemerintah menekankan perlunya intervensi promotif dan preventif agar lansia tetap produktif dan mandiri.
"Kalau tidak disiapkan, keluarga dan negara akan menanggung beban ganda dari sisi kesehatan maupun sosial," kata Ari.
Demensia Bukan Bagian Penuaan Normal
Alzheimer Indonesia (ALZI) menjelaskan pentingnya melawan stigma bahwa demensia adalah bagian normal dari menua.
Asmara menyebutkan bahwa kesalahpahaman inilah yang membuat banyak keluarga terlambat mencari diagnosis. "Kita harus paham bahwa demensia adalah penyakit, bukan sekadar lupa karena usia. Jika terdeteksi dini, perawatan bisa membantu mempertahankan kualitas hidup," tambahnya.
Dia, menambahkan, program rehabilitasi kognitif dan dukungan sosial dapat membantu orang dengan demensia tetap mandiri.
ALZI mengembangkan Navigasi Perawatan ALZI (NARAZI), Healthy Aging Centre, serta program terapi musik Melody Memory yang terbukti positif di Indonesia maupun Belanda.
"Stigma, ketidakpedulian, dan menunda diagnosis hanya akan membuat jutaan keluarga berjuang sendiri tanpa dukungan," kata Asmara.
Pesan Untuk Masyarakat
Pesan utama dari kampanye global ini adalah mendorong masyarakat agar lebih peduli terhadap tanda-tanda awal demensia.
"Dengan mengajukan pertanyaan tepat, mendengarkan pengalaman langsung, dan berbagi informasi akurat, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih suportif dan inklusif," ujar Asmara.
Selain itu, keluarga didorong untuk memberi dukungan pasca diagnosis, termasuk aktivitas sosial, waktu istirahat bagi caregiver, hingga terapi kreatif.
Salah satunya melalui musik terapi Melody Memory yang telah diterapkan di Bali, Lombok, dan Belanda.
"Pendekatan ini bukan hanya menjaga fungsi kognitif, tetapi juga memberi harapan dan semangat bagi orang dengan demensia serta keluarganya," tambahnya.