Liputan6.com, Jakarta - Selama ini, hipertensi atau tekanan darah tinggi kerap dikaitkan dengan orang dewasa dan lanjut usia (lansia). Padahal, faktanya tekanan darah tinggi tidak mengenak usia, bisa dialami oleh siapa saja, termasuk anak-anak--bahkan bayi prematur sekalipun.
"Hipertensi itu enggak kenal usia. Di RSCM sendiri, kami menemukan kasus tekanan darah tinggi pada bayi yang lahir prematur hingga remaja. Sayangnya, selama ini (hipertensi) jarang diperiksa, jadi seringkali tidak terdeteksi," ungkap Spesialis Anak Konsultan dr Reza Pahlevi, Sp.A(K), dari RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta dalam talkshow Bersama Kementerian Kesehatan, dikutip Selasa (17/6).
Tekanan Darah Anak Tidak Sama dengan Orang Dewasa
Berbeda dengan orang dewasa yang memiliki batasan tekanan darah yang lebih seragam, tekanan darah anak bersifat individual, tergantung usia, jenis kelamin, dan tinggi badan.
“Misalnya anak usia 5 tahun dengan tinggi tertentu, tekanan darah normalnya bisa berbeda dengan anak lain seusianya tapi dengan tinggi berbeda. Karena itu, kita tidak bisa memakai patokan 120/80 seperti pada orang dewasa,” tambah dr. Reza.
Anak dikatakan hipertensi bila tekanan darahnya melebihi ambang batas sesuai usianya, seperti melebihi persentil 95 pada kurva pertumbuhan anak.
"Dikatakan hipertensi jika sudah melewati persentil 95," jelas dr. Reza.
Karena tidak mudah mengukur ini secara manual, orangtua bisa mengunduh tabel referensi tekanan darah normal anak yang bisa diakses secara online.
Siapa yang Rentan Mengalami Hipertensi pada Anak?
Ada dua jenis penyebab hipertensi pada anak, yaitu hipertensi primer dan sekunder.
"Hipertensi pada anak bisa disebabkan oleh dua hal, primer dan sekunder," ujar dr Reza.
Hipertensi primer biasanya terjadi tanpa adanya kelainan organ, dan sering kali berhubungan dengan faktor keturunan atau gaya hidup. Kondisi ini lebih sering ditemukan pada anak usia remaja, khususnya mereka yang mengalami obesitas atau memiliki riwayat keluarga dengan hipertensi.
Hipertensi sekunder lebih sering terjadi pada anak-anak yang lebih muda, bahkan bayi. Kondisi ini disebabkan oleh penyakit lain, seperti:
- Penyakit ginjal
- Kelainan hormon seperti hipertiroid
- Penyakit jantung bawaan
- Bayi lahir prematur atau dengan berat lahir rendah
“Anak-anak dengan penyakit ginjal atau hormonal memiliki risiko lebih besar. Bayi yang lahir prematur pun cenderung punya risiko hipertensi karena ginjalnya belum berkembang sempurna saat lahir,” ujar dr. Reza.
Ciri-Ciri Hipertensi pada Anak
Sama seperti pada orang dewasa, hipertensi pada anak sering kali tidak menunjukkan gejala khas, terutama pada kasus primer. Namun ada beberapa tanda yang perlu diwaspadai:
- Anak tampak obesitas – salah satu indikator risiko tinggi.
- Keluhan pusing – ini bisa jadi tanda awal hipertensi ringan.
- Jantung berdebar
- Pandangan kabur
- Sesak napas
- Sakit kepala hebat
- Kejang atau penurunan kesadaran – biasanya terjadi pada hipertensi berat atau krisis hipertensi.
Jika hipertensi disebabkan oleh penyakit lain, gejala tambahan bisa muncul sesuai kondisi tersebut. Misalnya, anak dengan penyakit ginjal bisa mengalami pembengkakan atau keluhan saat buang air kecil, sementara anak dengan gangguan jantung bisa tampak mudah lelah atau sesak saat beraktivitas ringan.
Mengapa Hipertensi pada Anak Sering Terlewatkan?
Menurut dr. Reza, salah satu penyebab hipertensi pada anak kerap tak terdeteksi adalah karena tekanan darah jarang diperiksa secara rutin. Padahal, pemeriksaan tekanan darah bisa menjadi langkah deteksi dini yang sangat penting.
“Kami pernah menemukan kasus hipertensi saat skrining sebelum vaksin COVID-19 pada remaja. Anak tersebut sebelumnya tidak ada gejala sama sekali,” jelasnya.
Karena itu, ia menyarankan agar orangtua rutin memeriksakan tekanan darah anak, minimal setahun sekali saat kontrol ke dokter, terutama jika anak mengalami obesitas atau punya riwayat penyakit lain.
Apa yang Harus Dilakukan Jika Anak Diduga Mengalami Hipertensi?
Langkah pertama adalah konsultasi ke dokter anak, terutama untuk memastikan apakah hipertensi yang dialami bersifat primer atau sekunder.
“Karena pada anak, sebagian besar hipertensi bersifat sekunder, kita harus mencari penyebab utamanya dulu. Apakah ada penyakit ginjal? Atau masalah hormon? Ini penting karena pengobatannya akan tergantung dari penyakit yang mendasarinya,” tegas dr. Reza.
Selain itu, perbaikan gaya hidup seperti mengurangi konsumsi garam, menjaga berat badan ideal, aktif berolahraga, dan istirahat cukup juga menjadi bagian penting dalam penanganan dan pencegahan.