Liputan6.com, Jakarta - Tuberkulosis (TBC) masih menjadi tantangan besar bagi dunia, termasuk Indonesia. Meski penyakit ini bisa disembuhkan, TBC masih merenggut jutaan nyawa setiap tahunnya, terutama di kalangan usia produktif. Selain berdampak pada kesehatan masyarakat, TBC juga menimbulkan beban ekonomi yang signifikan bagi negara.
Untuk mengatasi persoalan ini, Kementerian Kesehatan RI mengambil langkah strategis melalui program fellowship TBC dan infeksi mikobakterium lainnya. Program ini bertujuan mengatasi kekurangan dokter spesialis paru yang masih menjadi hambatan utama dalam pemerataan layanan TB di seluruh Indonesia.
Mengapa Program Fellowship Penting?
Saat ini, Indonesia baru memiliki sekitar 360 dokter spesialis paru. Jumlah ini jauh dari cukup untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia yang memiliki 514 kabupaten/kota. Bila tidak ada percepatan penambahan tenaga ahli, ketimpangan akses layanan TBC akan terus terjadi, terutama di luar Pulau Jawa.
“Kalau tidak dipercepat melalui fellowship ini, kita tidak bisa mengharapkan seluruh kabupaten kota di Indonesia memiliki dokter spesialis paru,” jelas Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof. Dante Saksono Harbuwono.
Ia menambahkan, penanggulangan TBC merupakan mandat prioritas dari Presiden Prabowo Subianto kepada Kemenkes.
“Kita berupaya menurunkan angka tuberkulosis ini hingga 50 persen,” tegas Prof. Dante, dikutip dari laman Sehat Negeriku, Kemenkes.
Tiga Kota, Satu Tujuan: Pemerataan Tenaga Ahli
Saat ini, program fellowship TBC sudah berjalan di tiga kota besar—Jakarta, Surabaya, dan Medan—dengan output sekitar 10–11 lulusan per semester. Meski jumlahnya masih terbatas, program ini menjadi titik awal penting untuk menjawab tantangan pemerataan tenaga kesehatan di Indonesia.
“Program fellowship ini menjadi program penting terutama bagi masyarakat di daerah untuk menangani TBC secara paripurna,” ujar Prof. Dante.
Langkah ini juga menjadi bagian dari upaya lintas sektor, melibatkan dunia pendidikan, praktisi kesehatan, serta dukungan dari masyarakat dan LSM, untuk bersama-sama menanggulangi TBC.
Dukungan dari Rumah Sakit Pendidikan
RSUP Persahabatan menjadi salah satu institusi kunci dalam penyelenggaraan program ini. Direktur Utama RS Persahabatan, Prof. dr. Agus Dwi Susanto, menyatakan kesiapan institusinya dalam mendukung pelaksanaan fellowship.
“RS Persahabatan telah memiliki laboratorium mikrobiologi yang terstandar dan poliklinik terpadu untuk TBC dan non-TBC dalam satu gedung,” katanya.
Fasilitas yang digunakan pun sudah dilengkapi sistem tekanan negatif dan telah mengantongi akreditasi sesuai standar, sehingga siap menjadi pusat pendidikan dan pelayanan yang mumpuni.
Mikrobiologi Klinik Jadi Pilar Diagnostik
Selain dokter paru, peran mikrobiologi klinik juga tidak bisa diabaikan. Ketua Kolegium Mikrobiologi Klinik, dr. Yulia Rosa Saharman, menjelaskan bahwa keberadaan dokter mikrobiologi klinik sangat penting untuk mempercepat dan memperluas akses diagnosis yang akurat.
“Kami menekankan pentingnya mikrobiologi klinik berjenjang mulai tingkat dasar hingga tingkat lanjut agar diagnosis cepat dan akurat dapat diakses seluruh masyarakat Indonesia,” tuturnya.
Yulia juga mengajak semua pihak untuk mendukung keberlanjutan program ini.
“Kami memohon arahan dan dukungan dari Kementerian Kesehatan agar program bisa berjalan secara berkesinambungan dan menjadi bagian integral dari transformasi sistem pelayanan laboratorium klinis nasional.”
Sinergi Antar Lembaga Jadi Kunci
Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), drg. Arianti Anaya, menambahkan bahwa KKI turut aktif menyusun standar kompetensi dan kurikulum pelatihan TBC bersama kolegium dan rumah sakit pendidikan.
“Program ini dikelola oleh Kolegium Mikrobiologi di bawah KKI, bekerja sama dengan rumah sakit pendidikan seperti RS Persahabatan,” jelasnya. Ia berharap program ini bisa dikembangkan hingga ke jenjang kompetensi yang lebih tinggi sebagai solusi jangka panjang untuk mengisi kekosongan dokter spesialis maupun subspesialis.
Ketua Kolegium Kesehatan Indonesia, dr. Supriyanto Dharmoredjo, menyatakan bahwa fellowship TBC merupakan bagian dari strategi nasional eliminasi TBC 2030. Ia menekankan pentingnya pengembangan SDM berbasis kebutuhan nasional.
“Kami percaya sinergi antar institusi adalah kunci sukses pembangunan kesehatan berbasis SDM yang kokoh dan berkelanjutan,” ujarnya.
Menuju Indonesia Bebas TBC
Dengan pendekatan kolaboratif dan program pendidikan berkelanjutan seperti fellowship TBC, pemerintah optimis dapat mempercepat eliminasi TBC di Indonesia.
Ketersediaan dokter paru dan ahli mikrobiologi yang merata menjadi langkah konkret untuk memastikan seluruh masyarakat, di mana pun mereka tinggal, mendapatkan akses pelayanan TBC yang cepat, akurat, dan berkualitas.