Liputan6.com, Jakarta - Penggunaan rokok elektrik atau vape kerap dianggap sebagai cara yang lebih aman untuk berhenti merokok. Namun, anggapan ini dibantah oleh Dokter Spesialis Paru Subspesialis Onkologi Toraks dari MRCCC Siloam Hospitals, dr. Sita Laksmi Andarini, Ph.D, SpP(K).
Menurutnya, vape tetap tergolong rokok dan berpotensi menyebabkan kanker paru. "Vaping itu rokok. Efeknya masih kita lihat jangka panjang karena itu teknologi baru," kata dr. Sita kepada Health Liputan6.com usai diskusi media 'MRCCC Siloam Hospitals Semanggi' belum lama ini.
Lebih lanjut, dr. Sita menegaskan bahwa Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) juga sudah menyatakan bahwa vape bukanlah alat bantu berhenti merokok.
Ia juga mengungkapkan bahwa kanker paru-paru tidak lagi terbatas menyerang perokok aktif saja. Kini, kasus kanker paru pada perempuan yang sama sekali tidak merokok juga menunjukkan peningkatan.
"Kasus kanker paru pada perempuan non-perokok juga meningkat. Selain karena paparan asap rokok dari lingkungan, faktor seperti polusi udara dan bahan kimia juga meningkatkan risiko," ujarnya.
Bahkan, data menunjukkan bahwa usia pasien kanker paru di Indonesia rata-rata 10 tahun lebih muda dibandingkan dengan data global. Hal ini menjadi pengingat penting bahwa siapa pun, termasuk mereka yang tidak merokok, tetap memiliki risiko terkena kanker paru akibat paparan zat berbahaya di lingkungan.
Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian acara Siloam Oncology Summit, sebagai wujud komitmen rumah sakit dalam menanggulangi tingginya beban kanker di Indonesia.
Saat ini, sekitar 60–70 persen kasus kanker di Indonesia baru terdeteksi saat sudah memasuki stadium lanjut. Kondisi ini membuat penanganannya menjadi lebih kompleks dan memerlukan biaya tinggi.
Apakah Penyakit Kanker Paru-paru Dapat Menyebabkan Kematian?
Kanker paru merupakan penyebab kematian nomor satu akibat kanker pada pria di Indonesia, dan penyebab kematian kanker nomor enam pada perempuan. Ini menunjukkan perlunya kesadaran masyarakat untuk deteksi dini.
Sayangnya, lebih dari 95 persen pasien kanker paru di Indonesia terdiagnosis dalam kondisi stadium 4. Ini terjadi karena sebagian besar tidak merasakan gejala hingga penyakitnya sudah lanjut.
Oleh karena itu, dr. Sita menekankan pentingnya skrining kanker paru untuk mendeteksi penyakit sejak dini.
"Skrining itu proses menemukan penyakit sebelum ada gejala. Targetnya adalah orang yang berisiko tinggi, misalnya usia di atas 40 tahun dengan riwayat keluarga kanker, atau usia di atas 45 tahun yang memiliki riwayat merokok, termasuk vaping," ujarnya.
Vape memang kerap dianggap sebagai pilihan yang lebih ringan dibanding rokok konvensional. Namun, kandungan nikotin dan bahan kimia lainnya tetap membawa risiko besar bagi kesehatan paru.
Pengobatan Kanker Paru di Indonesia Semakin Maju
Kabar baiknya, pengobatan kanker paru di Indonesia terus berkembang. Bila kanker ditemukan pada stadium awal, pasien masih memungkinkan menjalani pembedahan dengan tingkat harapan hidup 5 tahun yang tinggi.
Namun, jika sudah mencapai stadium lanjut, pilihan pengobatan meliputi terapi target (targeted therapy), imunoterapi, dan kemoterapi. Menurut dr. Sita, hampir semua obat terapi target dan kemoterapi telah ditanggung BPJS Kesehatan.
"Kalau mutasi positif, bisa langsung pakai tablet, tidak perlu kemoterapi. Seperti EGFR TKI atau ALK inhibitor. Kalau negatif, bisa imunoterapi saja atau kombinasi dengan kemo. Sayangnya, imunoterapi belum ditanggung BPJS," katanya.
Meski begitu, seluruh prosedur penegakan diagnosis seperti CT scan, bronkoskopi, hingga biopsi sudah dapat diakses lewat rujukan BPJS.
Ini membuka akses yang lebih luas bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan yang tepat.
Cegah Sejak Dini Kanker Paru
Menurut dr. Sita, ketakutan masyarakat untuk menjalani pemeriksaan dan skrining menjadi salah satu penghambat deteksi dini kanker paru.
"Banyak yang takut periksa karena khawatir ketahuan, lalu bingung mau ke mana dan biayanya bagaimana. Padahal, semakin cepat diketahui, peluang hidupnya lebih besar," katanya.
Untuk itu, dr. Sita mengingatkan masyarakat agar tidak ragu memanfaatkan fasilitas skrining kanker paru, terutama bagi mereka yang masuk kategori berisiko tinggi.
Sebagai langkah pencegahan, dr. Sita menegaskan pentingnya menghindari rokok dalam bentuk apa pun, termasuk rokok elektrik, serta menjauhi paparan polusi udara.
"Satu pesan saya adalah jangan merokok, termasuk rokok elektrik. Dan, jauhi paparan polutan yang bisa merusak paru-paru," katanya.
Dengan meningkatnya angka kejadian kanker paru pada usia muda dan perempuan non perokok, masyarakat Indonesia diimbau untuk lebih waspada terhadap faktor risiko dan pentingnya deteksi dini.