Liputan6.com, Jakarta - Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, menyatakan keprihatinannya terhadap tingginya angka kematian ibu hamil di wilayah terpencil. Penyebab utama kondisi ini adalah minimnya keberadaan dokter spesialis kandungan (obstetri dan ginekologi/obgin) di daerah-daerah tersebut.
Ironisnya, para dokter umum yang bertugas di sana tidak dapat berbuat banyak karena terkendala aturan. Mereka tidak diizinkan menangani kasus kegawatdaruratan obstetri, seperti operasi caesar atau sectio caesarea (SC).
"Pak, sekarang kita tuh enggak boleh secara hukum melakukan itu. Karena kita dibilang tidak kompeten melakukan itu karena tidak pernah dilatih lagi. Sehingga kita menonton ibu-ibu yang hamil itu wafat di daerah," ujar Menkes Budi, menyampaikan curhatan para dokter umum yang diterimanya.
Pernyataan ini disampaikan Budi usai rapat bersama Komisi IX DPR RI pada 14 Mei 2025 malam.
Untuk menjawab persoalan ini, pemerintah mewacanakan perluasan kewenangan bagi dokter umum agar dapat melakukan tindakan medis darurat seperti operasi caesar. Kebijakan ini difokuskan untuk daerah-daerah terpencil yang kekurangan dokter spesialis.
Budi menyebut hal ini termasuk dari task-shifting, yakni pelimpahan sebagian tugas medis kepada tenaga medis nonspesialis yang kompeten.
Langkah ini diharapkan dapat menekan angka kematian ibu di wilayah-wilayah dengan akses layanan kesehatan yang terbatas, seperti Pulau Nias, Pulau Taliabu, dan pedalaman Flores.
"Saya terakhir baru dari Lampung. Bupatinya, gubernurnya, nunjukin video di mana dia mesti menggotong ibu hamil naik perahu, akhirnya tidak terlayani karena tidak ada dokter," kata Menkes Budi, seperti dikutip dari Antara.
Menkes Budi menjelaskan bahwa perjalanan dari daerah terpencil ke rumah sakit rujukan bisa memakan waktu berjam-jam. Sebagai contoh, dari Pulau Nias ke Pulau Sumatera dibutuhkan waktu tiga hingga empat jam, belum termasuk antrean dan proses administratif di fasilitas kesehatan.
Indonesia Harus Belajar dari Pengalaman Negara Lain
Rencana pemerintah ini akan dibarengi dengan pelatihan formal bagi dokter umum melalui pendekatan task shifting atau alih tugas medis. Pendekatan ini telah direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan pernah diterapkan di Indonesia.
Namun, kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra. Dokter sekaligus pengamat kebijakan publik dr. Dicky Budiman, M.Sc.PH., mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dan tidak mengulang kesalahan yang pernah terjadi di negara-negara Afrika.
Menurut pria yang pernah menjadi peneliti di Griffith University Australia ini, pemberian kewenangan operasi caesar kepada dokter umum bukanlah hal baru. Di Australia, misalnya, ada sistem GP obstetrician atau dokter umum dengan kompetensi obstetri.
Namun, pria yang pernah terlibat dalam pembuatan kebijakan kesehatan berfokus pada ibu dan anak bersama United Nations Development Programme (UNDP) dan Bappenas, menegaskan, sistem di Indonesia tidak bisa disamakan dengan Australia.
"Tidak apple to apple. Justru lebih relevan melihat pengalaman negara-negara Afrika yang mencoba sistem ini, dan kebanyakan gagal karena risiko kesalahan medis tinggi serta masih kuatnya stigma terhadap pelayanan berkualitas rendah di daerah terpencil," kata Dicky.
Pelajaran dari Afrika, Komplikasi Meningkat Akibat Task Shifting
Beberapa negara di Afrika telah lebih dulu menerapkan sistem task shifting sejak awal 2000-an. Sayangnya, upaya tersebut justru membawa dampak negatif bagi kesehatan masyarakat.
"Mayoritas menunjukkan peningkatan komplikasi pascaoperasi, bahkan hingga tiga kali lipat. Ini pelajaran penting. Jangan sampai kita mengulang kesalahan yang sama," ujar Dicky.
Dia menjelaskan bahwa WHO memang mengizinkan praktik task shifting dalam kondisi darurat. Namun, implementasinya di lapangan jauh dari mudah.
"Task shifting bukan hanya soal memberi izin, tapi memastikan pelatihan, pengawasan, dan sistem rujukan bekerja dengan baik. Tanpa itu, justru berbahaya," ujarnya.
Guru Besar FKUI: Operasi Caesar Bukan Kompetensi Dokter Umum
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang juga Ketua Terpilih PP Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Prof. Dr. dr. Budi Wiweko, Sp.OG(K), menegaskan bahwa operasi sesar atau Sectio Caesarea (SC) adalah prosedur medis yang krusial dan tidak boleh dilakukan sembarangan.
"Namun, pelaksanaannya tidak bisa dilakukan sembarangan dan harus sesuai dengan indikasi medis yang jelas," katanya saat ditemui Health Liputan6.com di Gedung FKUI pada Jumat, 16 Mei 2025.
Menurut Prof. Budi, tindakan operasi caesar tidak termasuk dalam kompetensi dokter umum. Meskipun dokter umum memiliki sekitar 150 kompetensi dasar, tindakan bedah seperti SC membutuhkan pelatihan khusus yang hanya dimiliki oleh dokter spesialis obstetri dan ginekologi.
"Kalau ditanyakan tentang Sectio Caesarea, itu tidak termasuk kompetensi dokter umum," tegasnya.
Dia juga mengungkap bahwa pada 2010-an sempat ada program 'Dokter Umum Plus', yaitu dokter umum yang dilatih untuk melakukan operasi caesar darurat di daerah terpencil. Namun, program ini telah dievaluasi dan dihentikan.
"Dari evaluasi, kasus SC di daerah sangat jarang. Akibatnya, dokter umum tidak mendapatkan cukup pengalaman lapangan untuk membangun keterampilan dan kepercayaan diri dalam melakukan tindakan tersebut," jelasnya.
Jangan Asal Kebijakan, Harus Ada Kajian
Meski niat pemerintah untuk menyelamatkan nyawa patut diapresiasi, Dicky mengingatkan bahwa kebijakan publik, khususnya di bidang kesehatan, tidak bisa hanya berdasarkan wacana atau tekanan populis.
"Jangan sampai seperti mahasiswa yang tiba-tiba bikin judul tesis tanpa dasar yang kuat. Wacana boleh, tapi itu harus jadi pijakan awal untuk studi literatur," ujarnya.
Dia menegaskan bahwa semua kebijakan harus didasari pada evidence-based policy, yakni keputusan yang lahir dari kajian ilmiah mendalam. Tanpa itu, kebijakan hanya akan menjadi uji coba yang berisiko merugikan masyarakat.
Sejalan dengan itu, Menkes Budi menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan RI akan menyusun regulasi agar dokter umum bisa mendapat pelatihan formal untuk melakukan tindakan penyelamatan nyawa secara legal.
Namun, pelatihan ini tidak mencakup semua jenis operasi, melainkan hanya prosedur tertentu dalam situasi darurat.
"Akan kita buat regulasinya supaya mereka itu bisa diberikan secara resmi. Bukannya kemudian orang bodoh, seperti orang bodoh langsung disuruh boleh, enggak. Mereka akan dilatih secara formal," tambah Menkes Budi.
Deteksi Dini Lebih Penting dari Izin Operasi
Dari sisi epidemiologi, Dicky menekankan bahwa hanya sebagian kecil ibu hamil yang benar-benar membutuhkan operasi caesar. Dengan pemeriksaan rutin sejak awal kehamilan, mayoritas komplikasi dapat dicegah.
"Idealnya, tidak sampai 20 persen dari total persalinan yang memerlukan operasi caesar. Prenatal care yang baik akan sangat mengurangi kebutuhan itu," ujarnya.
Oleh karena itu, Dicky menilai bahwa fokus utama seharusnya bukan pada pemberian izin operasi caesar, melainkan pada peningkatan kualitas layanan antenatal (pemeriksaan kehamilan yang penting dilakukan untuk mengoptimalkan kesehatan ibu hamil dan janin) dan deteksi dini komplikasi kehamilan.
Tingginya Angka Operasi Caesar Perlu Dikendalikan
Prof. Budi mengungkapkan bahwa berdasarkan data BPJS Kesehatan, angka klaim operasi caesar saat ini mencapai sekitar 39 persen dari total persalinan. Padahal, standar nasional hanya sekitar 16,5 persen.
"Banyak tindakan caesar dilakukan tanpa indikasi kuat. Itu yang disebut unnecessary sectio caesarea. Harus ada kendali mutu dan kendali biaya. POGI sangat mendukung agar operasi caesar dilakukan hanya dengan indikasi yang tepat,” ujarnya.
Sebagai solusi, Prof. Budi mendorong penguatan kompetensi dokter umum di layanan primer, terutama dalam melakukan deteksi dini risiko kehamilan menggunakan USG obstetrik terbatas.
"Targetnya, agar saat kehamilan pertama, dokter umum sudah bisa melakukan USG dan memastikan apakah kehamilannya di dalam rahim, ada detak jantung, posisi plasenta normal, dan sebagainya," kata Prof. Budi.
Perkuat Distribusi Dokter Spesialis Kebidanan ke Seluruh Wilayah Indonesia
Daripada memberikan pelatihan caesar pada dokter umum, solusi terbaik menurut Prof. Budi adalah memperkuat distribusi dokter spesialis kebidanan ke seluruh wilayah Indonesia.
Lewat program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS), dokter spesialis ditugaskan hingga ke kabupaten dan RSUD tipe C.
"Kita menjawabnya dengan distribusi. Kabupaten-kabupaten di Indonesia sudah mulai penuh dengan dokter spesialis kebidanan," jelasnya.
Jika kebijakan ini tetap akan dijalankan Dicky menyarankan agar pemerintah menyiapkan sistem pelatihan intensif, sertifikasi, serta pengawasan yang ketat.
Selain itu, dokter umum yang telah dilatih juga harus mendapat insentif layak dan perlindungan hukum agar tidak takut menjalankan tugasnya.
"Sudah dilatih lama-lama, tapi kalau dia stres, takut tuntutan, atau tidak mendapat insentif yang layak, akhirnya bisa enggan menjalankan tugasnya," ujarnya.
Dia menambahkan bahwa dalam manajemen risiko dan komunikasi risiko, tidak boleh hanya melihat dari sisi yang ideal. Semua potensi bahaya harus diidentifikasi, dievaluasi, dan dimitigasi dengan matang.
Daripada memaksakan dokter umum untuk mengambil alih tugas dokter spesialis, Dicky menyarankan solusi yang lebih realistis. Di antaranya adalah:
- Memperluas pemanfaatan telemedisin sebagai pendamping pelayanan primer di daerah,
- Melibatkan aktif dokter spesialis sebagai pembimbing dan pengawas klinis jarak jauh,
- Mewajibkan dokter spesialis untuk bertugas di daerah terpencil pada tahun-tahun akhir masa pendidikan (seperti tahun ke-3 atau ke-4),
- Revitalisasi program dokter keluarga atau SPKKLP untuk menjangkau layanan menyeluruh di masyarakat.
"Kaji dulu program yang sudah ada. Jika tidak efektif, hentikan. Tapi jika potensial, optimalkan. Jangan buang sumber daya yang sudah tersedia," sarannya.
Pendidikan Kedokteran Harus Utamakan Keselamatan dan Kualitas Layanan
Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) sekaligus Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, Prof. Tjandra Yoga Aditama menekankan empat prinsip utama yang harus menjadi dasar dalam pendidikan kedokteran nasional.
Menurutnya, salah satu prinsip paling penting adalah keselamatan dan kualitas layanan. "Pendidikan kedokteran jelas harus menganut prinsip keselamatan 3P Safety, yaitu keselamatan pasien, personel, dan masyarakat (Patient–Personnel–People)," ujar Prof. Tjandra Yoga Aditama saat dihubungi Health Liputan6.com.
Dia menegaskan bahwa setiap proses dalam pendidikan kedokteran harus dilandasi tanggung jawab besar terhadap ketiga elemen tersebut. Hal ini sejalan dengan tujuan global untuk menjamin mutu pelayanan kesehatan yang aman, efektif, dan berorientasi pada pasien.
Pendekatan AAAQ, Pilar Sistem Pendidikan Tenaga Kesehatan
Selain prinsip keselamatan, Prof. Tjandra juga menyoroti pentingnya prinsip AAAQ dalam sistem pendidikan tenaga kesehatan. AAAQ merupakan singkatan dari:
- Availability (Ketersediaan)
- Accessibility (Aksesibilitas)
- Acceptability (Penerimaan)
- Quality (Kualitas)
"Pendidikan kedokteran dilakukan melalui pendekatan AAAQ," tambah Prof. Tjandra.
Sebagai mantan Direktur WHO Asia Tenggara, Prof. Tjandra menegaskan bahwa sistem pendidikan kedokteran di Indonesia harus merujuk pada dokumen global WHO Global Strategy on Human Resources for Health: Workforce 2030.
Strategi ini menekankan pentingnya penyediaan tenaga kesehatan yang sesuai kebutuhan wilayah masing-masing serta mendukung pencapaian cakupan kesehatan semesta (Universal Health Coverage).
Dukung Pencapaian Quintuple AimIa juga menambahkan bahwa pendidikan kedokteran harus selaras dengan konsep Quintuple Aim for Health Care Improvement, yaitu lima sasaran perbaikan dalam layanan kesehatan:
- Meningkatkan kesehatan masyarakat
- Memperbaiki kualitas pelayanan
- Menekan biaya pelayanan kesehatan
- Mendukung kesejahteraan tenaga kesehatan
- Menjamin kesetaraan dalam pelayanan kesehatan
"Prinsip ini penting untuk kita perhatikan, demi menghasilkan dokter dan tenaga kesehatan yang kompeten, beretika, dan mampu menjawab tantangan zaman," ujar Prof. Tjandra.