Liputan6.com, Jakarta Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) memasukkan ketamin termasuk ke dalam obat-obat tertentu yang sering disalahgunakan (OOT).
Hal ini tertuang dalam Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2025 tentang Obat-Obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan pada 23 April 2025 kemudian diundangkan pada 2 Mei 2025 oleh Kementerian Hukum.
Peraturan ini merupakan pengganti dari Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Obat-obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan.
Masuknya ketamin dalam daftar OOT sebagai respons terhadap meningkatnya angka penyalahgunaan ketamin yang telah menimbulkan kekhawatiran baik secara nasional maupun global.
"Ketamin selama ini digunakan secara legal dalam praktik medis sebagai anestesi dan analgesik, terutama dalam prosedur bedah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, penyalahgunaan ketamin sebagai zat psikoaktif telah meningkat secara signifikan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai negara lain,” kata Kepala BPOM Taruna Ikrar dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com.
Taruna Ikrar menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, penyaluran ketamin ke fasilitas pelayanan kefarmasian mengalami peningkatan. Peredaran ketamin injeksi ke fasilitas pelayanan kefarmasian pada 2022 sebanyak 134 ribu vial, meningkat 75% pada 2023 menjadi 235 ribu vial. Pada 2024 menjadi 440 ribu vial atau meningkat sebanyak 87% dibandingkan tahun 2023.
Penyimpangan Peredaran Ketamin Tertinggi di Lampung
Hasil temuan BPOM juga menunjukkan 7 provinsi di Indonesia yang menjadi lokus penyimpangan peredaran ketamin injeksi sepanjang tahun 2024, yaitu Lampung, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Barat.
Lampung mencatatkan angka penyimpangan tertinggi dengan 5.840 vial ketamin. Sementara itu, tiga provinsi lainnya yang juga menunjukkan angka tinggi adalah Bali dengan 4.074 vial, Jawa Timur sebanyak 3.338 vial, dan Jawa Barat dengan 1.865 vial.
Efek Penyalahgunaan Ketamin: Halusinasi
Ketamin secara legal bisa digunakan sebagai anestesi dan analgesik dalam prosedur bedah. Namun, bila disalahgunakan hal tersebut bisa menimbulkan efek halusinasi hingga gangguan neurologis.
“Penyalahgunaan ketamin dapat menimbulkan efek halusinasi, disorientasi, dan dalam jangka panjang berpotensi menyebabkan gangguan neurologis dan psikologis yang serius," kata Taruna.
Maka dari itu, dengan ketamin menjadi kategori OOT maka obat ini memiliki pengaturan yang lebih ketat terhadap peredaran, penggunaan, serta pelaporan ketamin.
"Ini menjadi langkah strategis dalam pencegahan penyalahgunaan zat ini,” kata Taruna Ikrar.
Apa Itu OOT dan Apa Saja Obat yang Masuk Dalam Daftarnya?
OOT adalah obat atau bahan obat yang sering disalahgunakan dan berpengaruh pada sistem susunan syaraf pusat selain narkotika dan psikotropika.
Pada penggunaan di atas dosis terapi dapat menyebabkan ketergantungan dan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Dalam Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2025 tentang Obat-Obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan yang termasuk OOT adalah:
- tramadol
- triheksifenidil
- klorpromazin
- amitriptilin
- haloperidol
- ketamin,
- dan/atau dekstrometorfan.
Dalam aturan baru, BPOM memberlakukan pengawasan terhadap OOT lebih ketat. Pengawasan dilakukan mulai dari tahap produksi, distribusi, penyimpanan, penyerahan hingga pemusnahan.
Lalu, saat di fasilitas pelayanan kefarmasian wajib mencatat secara rinci setiap transaksi OOT termasuk identitas pasien, dosis, dan alasan penggunaan medis.
Taruna juga mengatakan oengawasan internal juga harus diperkuat dengan kehadiran personil yang kompeten dalam proses penimbangan dan pengemasan ulang pada industri farmasi dan PBF, guna menjamin akuntabilitas dan mencegah kebocoran obat ke tangan yang tidak berwenang.