FOMO hingga Perilaku Ekstrem: Bahaya Tersembunyi Media Sosial pada Remaja

2 days ago 10

Liputan6.com, Jakarta - Media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari remaja. Meski membawa sejumlah manfaat, platform digital ini juga menyimpan risiko tersembunyi yang dapat memengaruhi kondisi psikologis dan perilaku remaja. 

Psikolog Anak, Remaja, dan Keluarga, Ayoe Sutomo, mengingatkan pentingnya mewaspadai dampak media sosial yang sering kali tidak disadari.

Di satu sisi, media sosial dapat menjadi tempat belajar dan berekspresi. Remaja dapat menggali informasi, membentuk komunitas, bahkan berkontribusi dalam gerakan sosial. 

"Media sosial bisa jadi tempat berekspresi, kemudian belajar hal baru, cari informasi baru. Kalau ada komunitas atau dukungan sosial, itu juga bisa sangat bermanfaat," kata Ayoe Sutomo saat berbincang dengan Health Liputan6.com di Hari Media Sosial, 10 Juni 2025. 

Namun di sisi lain, penggunaan media sosial yang berlebihan dapat memicu dampak negatif, mulai dari rasa cemas, stres, hingga perasaan tidak berharga.

FOMO: Takut Ketinggalan dan Merasa Tidak Cukup

Salah satu efek psikologis yang paling sering dialami remaja akibat media sosial adalah FOMO (Fear of Missing Out) atau rasa takut tertinggal dari tren dan aktivitas sosial.

"Kita punya kecenderungan untuk membandingkan diri kita dengan orang lain. Pada akhirnya merasa, ‘aku bernilai oke kalau aku setidaknya sama atau lebih baik daripada orang lain.’ Dari situlah lahir FOMO itu," kata Ayoe. 

FOMO membuat remaja merasa harus terus mengikuti apa yang dilakukan teman-temannya di media sosial, meskipun hal tersebut belum tentu sesuai dengan kebutuhan atau kondisi diri mereka. 

Jika tidak bisa mengikuti, mereka bisa merasa rendah diri atau tidak cukup baik.

Dampak Neurologis: Otak Belum Siap Terima Banyak Stimulasi

Menurut Ayoe, secara neurologis, otak remaja belum sepenuhnya berkembang sempurna.

Prefrontal cortex, bagian otak yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dan pertimbangan moral, masih dalam proses pematangan.

"Prefrontal cortex belum sepenuhnya matang. Jadi ketika banyak simulasi overload dari media sosial, otak belum punya kapasitas cukup untuk memproses semua informasi itu," terangnya. 

Akibatnya, remaja bisa mengalami overstimulasi yang memengaruhi cara mereka berpikir dan mengambil keputusan. 

Dalam jangka panjang, hal ini bisa memicu perilaku ekstrem atau impulsif yang dianggap tidak sesuai oleh orang dewasa.

Konten Negatif dan Cyberbullying Meningkatkan Risiko Mental

Selain FOMO dan overstimulasi, paparan terhadap konten negatif, ujaran kebencian (hate speech), dan cyberbullying juga menjadi ancaman serius. Meski terjadi di dunia maya, dampaknya bisa terasa nyata dalam kehidupan sehari-hari. 

"Efeknya kelihatannya memang ada di dunia digital, tapi sebenarnya nyata di kehidupan kita. Konten ekstrem, perundungan, semua itu berpengaruh pada kondisi diri remaja," tambah Ayoe. 

Konten-konten seperti itu bisa memicu kecemasan, isolasi sosial, bahkan depresi pada remaja yang belum memiliki kontrol emosional yang stabil.

Untuk meminimalkan dampak negatif media sosial, Ayoe menekankan pentingnya peran orang tua, guru, dan lingkungan sekitar dalam mendampingi dan membekali remaja dengan literasi digital dan kontrol emosi.

"Segala sesuatu yang berlebihan pasti berdampak negatif. Karena itu, perlu ada pendampingan agar remaja tahu bagaimana menggunakan media sosial secara bijak," pungkas Ayoe. 

Foto Pilihan

Tim Gates Foundation yang diwakili Senior CMC Advisor Vaccine Development Rayasam Prasad mendapat penjelasan dari seorang staf saat meninjau Laboratorium Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat, Kamis (15/5/2025). (Liputan6.com/Herman Zakharia)
Read Entire Article
Helath | Pilkada |