Liputan6.com, Jakarta Peran ayah di masa perubahan sosial dan disrupsi teknologi digital bukan sekadar mencari nafkah dan memberi pengasuhan masa lalu yang seragam.
Dengan globalisasi nilai dan berbagai perubahan yang ada, kini keluarga menjadi ruang perjumpaan lintas generasi sekaligus lintas budaya, dengan tantangan komunikasi yang semakin kompleks.
Dalam konteks ini, peran ayah adalah menjadi figur pengasuhan yang adaptif terhadap perbedaan nilai, ekspresi emosi, serta gaya komunikasi anak-anak generasi Z dan Alpha.
Sosok ayah masa kini dituntut untuk mampu menavigasi dua spektrum besar. Yakni, keberagaman budaya dalam rumah tangga yang sering kali berasal dari latar etnis dan tradisi pengasuhan yang berbeda. Serta spektrum kesenjangan nilai dengan anak-anak generasi digital (Z dan Alpha) yang tumbuh dalam dunia egaliter dan berbasis teknologi.
“Jika tidak dibekali keterampilan komunikasi yang adaptif, jarak emosional dan konflik nilai akan terus melebar dalam keluarga. Maka, pendekatan komunikasi antarbudaya dan antar generasi dalam pembentukan model pengasuhan modern menjadi penting,” kata mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sahid, Jakarta, Retno Dewanti, Selasa (1/7/2025) mengutip keterangan Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN.
Menurut Retno, dalam sistem budaya kolektivistik seperti Indonesia, peran ayah tengah mengalami transisi. Dari yang dulu dominan dan otoriter, kini dituntut menjadi pendengar, pembelajar, dan penjembatan generasi.
Seorang bayi laki-laki terkejut dan menangis histeris ketika melihat penampilan baru dari sang ayah. Bayi itu sampai-sampai tak mengenali sang ayah yang baru saja cukur rambut. Begini reaksinya!
Pergeseran Peran Ayah
Mengutip penelitian Ria Novianti (2023), Retno menunjukkan bahwa pergeseran itu sedang berlangsung di banyak keluarga Indonesia.
Pergeseran ini bukan berarti ayah harus menggantikan peran ibu, tetapi menyelaraskan dan membangun kemitraan pengasuhan yang setara dan saling melengkapi.
“Karena pada akhirnya, keluarga adalah ruang pertama dan utama untuk belajar tentang cinta, toleransi, dan keberagaman,” ucap Retno.
Perkuat Peran Ayah
Memperkuat peran ayah adalah jalan menuju keluarga yang tangguh dan masa depan bangsa yang lebih utuh. Di tengah krisis identitas, kesehatan mental remaja, dan keretakan komunikasi dalam rumah tangga.
Ayah masa kini tidak cukup hanya menjadi baik, mereka harus belajar untuk hadir. Hadir secara emosional, mendengarkan tanpa menghakimi, dan membangun komunikasi yang setara dalam rumah.
Guna memperkuat peran ayah, BKKBN menginisiasi Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI). Gerakan ini mengajak para ayah melampaui simbol peran menjadi pengasuh yang reflektif. Dengan komunikasi yang penuh kesadaran dan adaptif, rumah menjadi ruang belajar lintas generasi, bukan sekadar ruang tinggal.
GATI adalah langkah strategis untuk membangun ketahanan keluarga Indonesia berbasis dialog, bukan dogma; berbasis kesetaraan, bukan hierarki. Dan dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, komunikasi lintas budaya dan generasi bukan pilihan, melainkan kebutuhan. GATI bukan sekadar gerakan tentang ayah, tetapi tentang masa depan relasi dalam keluarga Indonesia.
Ruang Berjumpa Lintas Generasi
Retno mengatakan, di tengah tantangan zaman yang penuh disrupsi, GATI harus menjelma menjadi ruang perjumpaan lintas nilai, lintas generasi, dan lintas budaya.
GATI berupaya agar para ayah mengerti bahwa menjadi seorang ayah teladan berarti belajar, mendengar, dan berubah dengan rendah hati dan penuh cinta.
Keluarga adalah fondasi awal pembangunan karakter bangsa, dan ayah sebagai bagian integral dari sistem keluarga memiliki peran kunci dalam menciptakan generasi yang tangguh, sehat mental, dan berdaya saing.
Maka dari itu, GATI diusung guna memperbaiki peran ayah dan membangun Indonesia dari ruang terkecil yang paling berpengaruh yakni keluarga. Ketika komunikasi dalam keluarga menjadi lebih setara, reflektif, dan responsif, maka dari keluarga-lah sesungguhnya kemajuan bangsa itu dimulai.