Liputan6.com, Jakarta Kepala Pusat Kebijakan Sistem Ketahanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Pusjak SKK Kemenkes), dr. Anas Ma'ruf, MKM., menjelaskan bahwa kejadian keracunan kerap terabaikan.
“Kita menghadapi berbagai macam penyakit yang selama ini kita abaikan atau neglected, salah satunya adalah keracunan,” kata Anas dalam webinar “Sosialisasi Kebijakan dan Strategi Tata Kelola Keracunan untuk Provinsi Lampung” Selasa, 10 Juni 2025.6.10
Dia menambahkan, kasus keracunan banyak terjadi di Indonesia. Secara garis besar, kasus keracunan dibagi menjadi dua yakni keracunan alami dan keracunan non-alami.
“Kalau keracunan alami contohnya keracunan yang diakibatkan oleh hewan, tumbuhan, atau makhluk di sekitar kita. Misalnya kalau kita digigit hewan berbisa, ular, kalajengking, tawon, atau hewan-hewan yang ada di laut. Juga tumbuhan beracun, jamur, virus, bakteri, serangga, dan sebagainya,” jelas Anas.
Sementara, keracunan non-alami dapat disebabkan obat, makanan, kosmetik, insektisida, pestisida, logam berat, mikroplastik dan sebagainya.
“Itu semua keracunan non-alami, bisa karena pengelolaan limbah yang tidak tepat, bisa pula karena makanan yang tidak higienis, dan obat yang mengandung zat berbahaya,” papar Anas lewat saluran Youtube Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kemenkes.
Puluhan balita dan ibu hamil di Wolowa, Buton, Sulawesi Tenggara diduga mengalami keracunan makanan usai mengikuti kegiatan pemberian makanan tambahan lokal dari Puskesmas Wolowa.
Angka Keracunan Tinggi
Lebih lanjut, Anas menerangkan bahwa angka keracunan di dunia tinggi.
“Keracunan ini cukup besar kejadiannya. Misalnya, keracunan akibat gigitan hewan berbisa kurang lebih menyebabkan 81 ribu sampai 137 ribu kematian di dunia setiap tahunnya.”
“Nah, di Indonesia sendiri gigitan ular dilaporkan 3000 sampai 6000 dengan kasus kematian kurang lebih 100 sampai 200 orang. Tapi ini kami meyakini banyak yang belum terlaporkan,” ucap Anas.
Indonesia adalah negara dengan beragam hewan, sambungnya, termasuk hewan berbisa. Ditambah potensi keracunan non-alami akibat makanan, obat, kosmetik, dan sebagainya.
Tata Laksana Keracunan di Lampung
Maka dari itu, lanjut Anas, kasus keracunan alami maupun non-alami perlu perhatian karena bisa menimbulkan kesakitan maupun kematian.
“Maka dari itu kita melakukan berbagai kegiatan mulai dari pencatatan, pelaporan, hingga penanganan atau tata kelola keracunan,” kata Anas.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, dr. Edwin Rusli, MKM, menjelaskan tata laksana keracunan di Lampung.
Menurutnya, pasien yang mengalami keracunan akan ditatalaksana dengan dekontaminasi. Ini adalah proses membersihkan racun dalam tubuh. Baik racun di saluran pembuluh darah (pulmonal), mata, kulit, dan gastrointestinal. Cara dekontaminasi tergantung pada lokasi paparan racun, bisa dengan rangsangan muntah atau membasuh organ luar yang terpapar racun.
Tindakan dilanjutkan dengan eliminasi racun, bisa melalui diuresis paksa. Ini adalah tindakan memicu pengeluaran urine dengan pemberian obat diuretik atau cairan intravena.
Tatalaksana juga mencakup pemberian antidotum atau zat penangkal racun serta pertolongan pada keadaan khusus seperti kejang dan koma.
“Terakhir, merujuk pasien dan rujukan spesimen,” kata Edwin.