Liputan6.com, Jakarta - Media sosial kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan remaja. Namun, di balik kemudahan berbagi informasi dan mengekspresikan diri, media sosial juga menyimpan risiko serius terhadap kesehatan mental, terutama jika digunakan tanpa kendali.
Psikolog Anak, Remaja, dan Keluarga, Ayoe Sutomo, menjelaskan, ketergantungan pada like dan validasi media sosial dapat berdampak buruk bagi kondisi psikologis remaja.
Menurutnya, banyak remaja saat ini mengalami tekanan sosial untuk terus tampil sempurna demi mendapat pengakuan dari dunia maya.
"Rasanya menyenangkan saat banyak yang menyukai unggahan kita. Ini mengaktifkan sistem reward di otak yang membuat kita ingin terus mendapatkan validasi itu," ujar Ayoe Sutomo kepada Health Liputan6.com melalui aplikasi pesan singkat pada Selasa, 10 Juni 2025.
Like, Komentar, dan Dopamin: Kombinasi yang Bikin Ketagihan
Media sosial memicu pelepasan dopamin, zat kimia di otak yang menimbulkan rasa senang. Dopamin ini dilepaskan saat pengguna menerima like, komentar, atau respons positif dari unggahannya.
Kondisi yang Bisa Menyebabkan Pengguna Media Sosial Depresi
"Dopamin membuat otak merasa senang, dan karena itu pengguna jadi ingin terus mengulang perilaku yang menghasilkan respons positif tersebut," jelas Ayoe. Inilah awal mula ketergantungan emosional terhadap validasi digital.
Namun, ketika respons yang diterima tidak sesuai harapan, seperti jumlah like sedikit atau komentar negatif, pengguna bisa merasa kecewa, sedih, bahkan kehilangan kepercayaan diri.
Jika terjadi terus-menerus, kondisi ini dapat memicu gangguan mental seperti cemas berlebihan, stres, hingga depresi.
FOMO: Takut Tertinggal dan Ingin Selalu Ikut Tren
Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) atau rasa takut tertinggal juga menjadi salah satu dampak negatif dari penggunaan media sosial.
Menurut Ayoe, FOMO berakar dari teori perbandingan sosial. Saat remaja melihat pencapaian, gaya hidup, atau kebahagiaan orang lain di media sosial, muncul dorongan untuk tidak mau kalah atau merasa tidak cukup.
"Kita melihat kehidupan orang lain tampak lebih menarik, lalu muncul keinginan untuk seperti mereka. Dari sinilah FOMO itu berasal," kata Ayoe Sutomo.
FOMO membuat remaja terdorong untuk terus mengikuti tren, bahkan melakukan berbagai cara demi mendapatkan validasi, termasuk yang bertentangan dengan etika dan norma sosial.
Dampak Psikologis Jangka Panjang
Paparan konten media sosial yang mengandung konflik, narasi negatif, atau informasi yang menimbulkan ketakutan juga bisa membentuk pola pikir yang cemas dan tidak sehat.
Otak jadi terbiasa dalam kondisi waspada terus-menerus, yang lama-kelamaan dapat mengubah cara berpikir dan bersikap seseorang.
"Ketika otak terus-menerus terpapar informasi bernuansa konflik dan ketakutan, maka otak akan berlatih untuk selalu waspada. Ini bisa memicu kecemasan kronis," ungkap Ayoe.
Remaja yang belum memiliki kemampuan regulasi emosi yang matang menjadi kelompok paling rentan. Mereka cenderung belum bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang manipulatif di media sosial.
Ayoe menekankan pentingnya pendampingan orang tua dan edukasi literasi digital bagi anak dan remaja.
Remaja perlu dibekali pemahaman bahwa nilai diri mereka tidak ditentukan oleh jumlah like atau komentar di media sosial.
Selain itu, penting bagi keluarga untuk menciptakan ruang diskusi terbuka agar anak merasa aman untuk berbagi perasaannya.
Dukungan emosional yang kuat dari lingkungan sekitar dapat menjadi benteng utama dalam menjaga kesehatan mental di era digital.