Liputan6.com, Jakarta - Orang dengan Human Immunodeficiency Virus (ODHIV) kerap mendapat stigma di tengah masyarakat. Begitu pula orang dengan tuberkulosis alias TBC, mereka juga menghadapi berbagai pandangan negatif dan kerap dijauhi karena orang-orang takut tertular.
Stigma ini justru membuat pengidap TBC enggan mengungkapkan kondisi mereka sehingga pengobatan pun tidak dijalani.
“Memang susah, TB-nya aja udah stigma, HIV-nya stigma, apalagi dikombinasi jadi double stigma dong,” kata Ketua Tim Kerja Tuberkulosis Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr. Tiffany Tiara Pakasi, dalam talkshow peringatan Hari TB Sedunia bersama Stop TB Partnership Indonesia di Jakarta, Senin (28/4/2025).
Maka dari itu, untuk melawan stigma yang ada maka komunitas memiliki peran penting.
“Kita perlu teman-teman komunitas termasuk dari para penyintas.”
Dari sisi layanan kesehatan, Tiara menilai klinik TB sudah lebih maju dibandingkan layanan untuk HIV di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).
“Sehingga kita mau coba, kalau dia one stop service, itu seperti apa, untuk TB dan HIV.”
Sebelumnya, Tiara menjelaskan, Indonesia adalah negara dengan estimasi kasus dan kematian akibat tuberkulosis tertinggi kedua di dunia setelah India. Tak hanya terjadi pada masyarakat dewasa atau tua, anak-anak juga bisa terjangkit.
Beredar klaim tentang meminum air rebusan daun sisik naga bisa mengatasi TBC dan batuk berdarah. Benarkah?
Tuberkulosis pada Anak
Tiara menjelaskan, di Indonesia, kelompok yang paling banyak mengalami TB adalah kelompok usia produktif.
“Memang di antara kasus-kasus yang ternotifikasi di faskes, itu lebih banyak pria. Anak-anak juga ada tapi tidak sebanyak usia dewasa. Di lansia juga cukup tinggi.”
Tiara berpesan, siapapun yang terkena tuberkulosis, maka harus segera ditangani. Mengingat ini adalah penyakit menular, maka orang-orang terdekatnya pun perlu ditindak lanjut seperti pemeriksaan kelompok kontak serumah.
Meski pasien TB terbanyak adalah pria usia produktif, tapi jumlah pasien anak juga tak sedikit.
“Anak-anak juga cukup tinggi, estimasinya 200 ribuan kasus. Ini perlu kita temukan, agar generasi emas ini ketika memasuki usia produktif tidak punya sisa-sisa TBC, misalnya paru-parunya kurang baik dan lain-lain.”
Anak-Anak Bukan Sumber Penularan
Tiara memastikan bahwa anak-anak bukan sumber penularan, maka yang harus dicari adalah siapa yang menulari mereka.
“Kalau ada anak yang sakit (TBC) kita perlu cari mereka tertular dari mana, karena umumnya anak-anak ini bukan sumber penularan.”
“Artinya, kalau ada anak yang sakit tuberkulosis, tujuan kita melakukan investigasi kontak itu bukan cari dia udah nularin ke siapa, tapi mencari sumber penularannya. Intinya semua harus ditemukan dan diobati,” jelas Tiara.
Manfaatkan CKG untuk Cek TBC
Tiara juga menyarankan semua masyarakat untuk memanfaatkan program Cek Kesehatan Gratis (CKG) untuk deteksi TBC.
“Sudah ulang tahun? Manfaatkan CKG-nya, itu juga ada pemeriksaan TB,” katanya.
Selama ini, sambungnya, dalam penemuan kasus TBC, pemerintah kerap memulai dari kelompok berisiko.
“Kelompok risiko itu ibarat kata kita nangkepnya di kolam yang ikannya banyak, nah sekarang dengan adanya kebijakan cek kesehatan gratis yang berlaku untuk seluruh warga negara, artinya ini populasi umum datang untuk segala macam (keluhan).”
“Nah kita mau cari tahu, dia ini kira-kira berisiko TBC atau bahkan sudah terkena TBC atau belum. Dan kalau mereka berisiko ataupun mereka sudah sakit TBC maka tindak lanjutnya adalah diobati sesuai kondisinya,” papar Tiara.