Liputan6.com, Jakarta - Pertanyaan mengenai apakah orang bertubuh pendek cenderung memiliki umur yang lebih panjang kembali mencuat dan menjadi bahan perbincangan menarik.
Menurut Pakar Neurosains Molekuler dari IPB University, Dr Berry Juliandi, yang juga merupakan dosen di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB, klaim bahwa orang pendek berumur panjang tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak bisa digeneralisasi.
"Secara molekuler, memang ada gen pleiotropik yang berperan dalam pertumbuhan di awal kehidupan, tetapi jika terus aktif di usia tua dapat mempercepat penuaan atau bahkan memicu kanker," kata Dr Berry seperti dikutip dari IPB University Indonesia pada Minggu, 18 Mei 2025.
Gen pleiotropik yang dimaksud adalah gen yang memiliki lebih dari satu fungsi. Di masa pertumbuhan, gen ini sangat aktif dalam membentuk tinggi badan dan perkembangan fisik.
Namun, jika aktivitas gen tersebut terus berlangsung hingga usia lanjut, hal ini justru dapat berdampak negatif.
Alasan Lain terkait Klaim Ini
Dr Berry menambahkan bahwa salah satu pendekatan yang telah terbukti memperlambat proses penuaan adalah restriksi kalori, yaitu membatasi asupan kalori harian tanpa menyebabkan kekurangan gizi.
"Restriksi kalori telah terbukti dapat memperpanjang usia pada berbagai organisme model. Gen seperti sirtuin memiliki peran penting dalam proses ini," katanya.
Sirtuin adalah kelompok gen yang terlibat dalam regulasi metabolisme dan proses penuaan, dan bisa diaktifkan melalui pola makan rendah kalori atau olahraga.
Tidak Bisa Dilihat dari Tinggi Badan Saja
Meski terdapat korelasi antara pertumbuhan dan penuaan, Dr Berry menegaskan bahwa tinggi badan tidak bisa dijadikan indikator tunggal umur panjang.
"Kita perlu memahami konsep ukuran relatif. Ukuran tubuh secara absolut belum tentu menggambarkan kondisi biologis yang memengaruhi usia harapan hidup," kata Dr Berry.
Sebagai contoh, bayi memiliki kepala yang proporsional lebih besar dibandingkan tubuhnya, tetapi itu tidak bisa menjadi dasar penilaian umur panjang saat dewasa.
Peran Gaya Hidup dan Dukungan Sosial
Lebih dari sekadar genetik, gaya hidup dan dukungan sosial terbukti memainkan peran penting dalam menentukan usia harapan hidup. Dr Berry merujuk pada konsep blue zone, yaitu wilayah-wilayah di dunia yang dihuni oleh populasi berumur panjang, seperti Okinawa (Jepang) dan Sardinia (Italia).
"Penduduk di wilayah tersebut memiliki pola makan yang seimbang, aktif bergerak, dan menjalin hubungan sosial yang kuat," ujarnya.
Studi yang dikutip dari Stanford University bahkan menunjukkan bahwa dukungan sosial lebih berpengaruh terhadap kebahagiaan di usia tua dibanding kekayaan atau jabatan.
Epigenetik dan Polifenol
Dr Berry juga mengangkat konsep epigenetik, yaitu bagaimana ekspresi gen bisa dipengaruhi oleh lingkungan seperti pola makan, stres, dan aktivitas fisik. Salah satu faktor yang penting adalah konsumsi polifenol, senyawa alami yang banyak terdapat pada tumbuhan.
Polifenol yang berasal dari tumbuhan yang mengalami stres (misalnya tumbuh di kondisi ekstrem) diyakini dapat membantu memperkuat ketahanan tubuh manusia terhadap stres lingkungan, memperbaiki sel, dan memperlambat penuaan.
Tiga Pilar Umur Panjang
Dr Berry menekankan bahwa umur panjang tidak semata-mata ditentukan oleh tinggi badan atau genetik, tetapi merupakan hasil dari interaksi kompleks antara berbagai faktor.
"Tiga hal penting yang selalu ditemukan pada masyarakat di blue zone adalah membatasi asupan kalori, aktif secara fisik, dan hidup dalam lingkungan sosial yang suportif," pungkasnya.
Dia juga mengingatkan bahwa stres yang bersifat sementara, seperti saat berpuasa atau berolahraga, justru bermanfaat untuk memperpanjang umur. Namun, bila stres berlangsung terus-menerus dan tidak terkendali, justru akan berdampak sebaliknya.