Liputan6.com, Jakarta - Kanker paru-paru masih menjadi penyakit mematikan di dunia, termasuk di Indonesia. Berdasarkan data Global Cancer Statistics 2020, dari 2,2 juta kasus kanker paru di dunia, sebanyak 1,8 juta di antaranya meninggal dunia.
Di Indonesia, kanker paru menjadi penyebab kematian nomor satu akibat kanker dan menempati posisi kedua dari jumlah kasus.
Kondisi ini diperparah karena mayoritas pasien datang berobat saat sudah memasuki stadium lanjut, bahkan stadium 4.
Padahal, bila kanker paru terdeteksi sejak dini, peluang hidup pasien bisa meningkat signifikan. "Deteksi dini dapat memperpanjang usia harapan hidup penderita kanker hingga lebih dari 5 tahun," kata Pulmonologi (Paru) Subspesialis Onkologi Toraks dari MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, dr. Linda Masniari, SpP (K).
Dia menambahkan bahwa skrining perlu dilakukan terutama pada orang yang memiliki risiko tinggi, seperti usia di atas 45 tahun, perokok, serta mengalami batuk yang tak kunjung sembuh selama dua minggu hingga satu bulan.
Risiko Kanker Paru Tak Selalu dari Merokok
Meski rokok menjadi faktor risiko utama, nyatanya 25 persen penderita kanker paru bukan perokok dan sebagian besar adalah perempuan.
Faktor risiko lain yang tak bisa dikendalikan antara lain usia, jenis kelamin, serta riwayat keluarga dengan kanker. Sementara itu, faktor risiko yang bisa dihindari adalah paparan asap rokok, polusi udara, asbes, dan radiasi.
Untuk mendeteksi kanker paru secara lebih akurat, kini digunakan metode Low Dose CT Scan (LDCT) yang mampu mendeteksi benjolan atau nodul lebih kecil daripada foto rontgen biasa.
"Foto thoraks hanya bisa mendeteksi benjolan berukuran sekitar 3 cm, sedangkan LDCT dapat melihat benjolan yang jauh lebih kecil," kata dr. Linda.
Program skrining mandiri bernama Naru 'Kenali Paru' dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia juga telah digunakan oleh ribuan orang.
Dari 11.785 orang yang mengisi form screaning tersebut, sebanyak 76 persen memiliki faktor risiko ringan dan dirujuk ke dokter paru, sementara sisanya dengan risiko sedang dan berat dirujuk ke dokter onkologi.
Terapi Kanker Paru Semakin Canggih
Dalam hal pengobatan, kemajuan terapi kanker paru dalam dua dekade terakhir cukup pesat.
Bila pada tahun 2003 pasien kanker paru hanya memiliki opsi kemoterapi dengan usia harapan hidup sekitar tujuh hingga sembilan bulan, kini angka itu jauh meningkat.
"Di tahun 2006 ditemukan terapi target setelah adanya identifikasi mutasi gen pada sel-sel kanker paru. Terapi ini menambah usia harapan hidup pasien menjadi 36–49 bulan," kata Dokter Spesialis Paru Subspesialis Onkologi Toraks dari MRCCC Siloam Hospitals, dr. Sita Laksmi Andarini, Ph.D, SpP(K).
Lebih lanjut, dr. Sita menyebutkan bahwa sejak satu dekade terakhir, telah hadir imunoterapi yang mampu meningkatkan angka kesintasan pasien kanker paru.
"Median rate survival dalam 5 tahun meningkat hingga 40 persen," katanya.
Hal ini diungkap dr. Linda dan dr. Sita dalam diskusi media bertajuk 'Siloam Oncology Summit' belum lama ini. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan MRCCC Siloam yang lebih besar.
Data menunjukkan bahwa 60 s.d 70 persen kasus kanker di Indonesia baru terdiagnosis saat sudah memasuki stadium lanjut, termasuk kanker paru-paru.
Terapi Kanker Paru-Paru
Salah satu terapi modern yang kini digunakan adalah osimertinib, yakni obat untuk kanker paru jenis non-small cell lung cancer (NSCLC) yang memiliki mutasi gen EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor).
Obat ini bekerja lebih spesifik dan memiliki efek samping yang lebih dapat ditoleransi seperti diare dan kelelahan ringan.
"Terapi ini memang membutuhkan waktu lebih lama, sekitar 18 bulan, dibandingkan dengan pengobatan generasi pertama dan kedua, tapi hasilnya lebih menjanjikan," pungkas dr. Sita.